Starbucks UI

Saya gamang.

Sepanjang siang saya ngobrol dengan beberapa kawan tentang Indonesia dan wilayah perbatasan. Kami menertawakan kegetiran, ketidaktahuan, dan kehebohan cara berpikir anak Jakarta dalam memandang wilayah Indonesia yang di luar jauh. Ngobrol sana-sini itu berujung pada keinginan mampir ke Perpustakaan Pusat UI yang baru dibangun. Banyak orang bilang, ini perpus raksasa di Asia Tenggara.

Sampailah saya di sana. Lalu saya gamang.

Di Perpus Baru kampus biru ini, sebuah tulisan hijau menyala silau. Sekejap saja, hati merah saya berdarah resah. Teringat saya ucapan kawan saya dari Universitas Pattimura Ambon, kampus ini terlalu sombong ketika membawa nama Indonesia. Kampus ini lupa membungkuk bahwa beban yang dibawanya berat. Seberapa kenal kampus ini dengan Indonesia? Baru saja saya dan teman-teman membahas susahnya pendidikan di Indonesia luar, lalu sekarang di mata saya pendidikan Indonesia dicerminkan dengan tulisan Starbucks yang mentereng.

Mungkin saya yang tidak gaul, tidak modern, sebab cuma bisa nongkrong di warkop pinggir kampung. Tapi saya benar-benar resah dengan gerai kopi milik asing ini berdiri gagah menempel di bangunan UI. Semacam parasit. Saya pikir anak-anak UI cukup pintar memahami apa arti brand ini dan kesan yang ditimbulkan olehnya. Beli kopi seharga tujuh kali kopi warkop, mainkan komputer Apple Imac yang tersedia di ruang dalam perpus ini, dan kamulah anak kampusnya Indonesia. Atau sebaliknya, pinjam buku harus repot-repot ke sini sebab buku itu tak lagi ada di perpus fakultas, lalu tengok kantong saku tinggal sisa lima ribu, tak cukup telepon ibu di pulau seberang, dan kamulah anak kampusnya Indonesia.

Saya menatap gedung dengan nanar. Di sebelah saya ada Irwanto, mahasiswa UI asal Kepulauan Riau. Ia memegang segelas plastik kopi yang dibeli dari pedagang jinjing yang lewat depan kami, gelengan kepalanya lemas.

Saya melenggang pulang. Lagu Kampus Depok yang ditulis Bimbim Slank di tahun 1993 terngiang. Lagu dari album “Lagu Sedih” itu pas dengan hati saya. Kata Bimbim, lirik ini “meletup di perjalanan habis manggung di UI” dan saya baru memahaminya sekarang.

Banyak orang bicara tentang kebebasan
Banyak orang bicara tentang keyakinan
Dan banyak orang bicara tentang keadilan
Banyak orang bicara tentang perubahan

Semuanya cuma dalam bisikan
Semuanya nggak berbuat apa-apa
Semuanya hanya tutup mata saja
Semuanya nggak berbuat apa-apa!!

50 thoughts on “Starbucks UI”

  1. saya merasa sangat malu. jujur, saya seumur2 gak pernah minum kopi starbak, kecuali tester yang disodorkan waiternya jika saya lewat kafenya di mol. ngapain mesti bangga sih ke SBux yang kopinya juga dari Indonesia? dan buat saya pribadi (dan ini adalah isu sensitif), keuntungan SBux untuk sesuatu yang sangat saya tentang (mungkin ada yang paham dengan apa yang saya maksud).

    ketika perpus baru ini mulai dibangun, jujur saya bermimpi. jika ada semacam kedai sebagai tempat nongkrong, yang tersedia tuh wedang jahe, bir pletok, kue apem, serabi solo… bukan malah SBux!!!

    maaf jika saya terlihat norak, sok idealis, kuper, lebay dan menyedihkan. saya malu pada diri sendiri karena tak bisa berbuat apa pun… apalagi untuk negara ini…. maafkan saya…

    1. Mbak Andiana, mungkin bisa terangkan ke anak-anak kamu, cintai Indonesia itu dimulai dari sensitif pada merek. PIlih yang bukan sekadar ada di Indonesia, tapi yang berpihak pada Indonesia. Sebagai coffeeholic, kamu pasti lebih tahu harus gimana bersikap terhadap warung kopi ini. Salam! πŸ™‚

  2. mungkin maksudnya karena perpus ini akan didatangi juga oleh para pengunjung dari mancanegara maka disediakan gerai kopi yg sudah terkenal di seluruh dunia, harusnya kalaupun ada kedai kopi Starbuck ya diimbangi juga dengan kedai kopi khas indonesia agar pengunjung dari mancanegara itu bisa juga merasakan nikmatnya nongkrong di warung kopi khas indonesia,, πŸ™‚

  3. terlalu berat dan terlalu negaif dengan mengatakan bahwa hanya dengan starbuck UI sudah dipandang sebelah mata, tidak menghargai bangsa dll. lihatlah semua mall yang ada starbucknya, berarti kita sudah lama tidak mengahrgai negara sendiri. dan jangan bawa2 UI di sini. saya mahasiswa UI dan UI masih peduli pada mahasiswa yg tingkat ekonominya rendah dengan memberikan biaya kuliah hanya 100rb per semester. dengan adanya starbuck biarlah mereka yg memiliki uang banyak yg masuk, macam mahasiswa kelas internasional yg kaya. Kami, mahasiswa biasa juga tau kok, kalau tidak punya uang ya tidak usah datang ke kafe tanpa harus berkomentar sinis. dengan memindahkan seluruh koleksi perpustakaan ke perpustakaan pusat yg baru, tidak harus menganggap bahwa UI menyusahkan mahasiswanya. bagi anak daerah teman2 saya yg mungkin di sakunya hanya tinggal 5000 rupiah, tidak harus naik ojek.di UI ada kok sepeda gratis dan tidak salah juga dengan hanya berjalan kaki. semua dilakukan pasti ada alasannya, dan kami sadar mungkin UI adalah cermin tempat belajar orang2 intelek di negeri ini jadi kami tidak sebodoh itu meremehkan bangsa sendiri. karena meremehkan bangsa tidak hanya diukur dari pembangunan kedai kopi mahal yg remeh. kami tidak terlalu bodoh untuk melakukan sesuatu hanya demi menyusahkan orang lain. Tulisan Anda cukup bagus untuk mengkritik maaf jika ada salah kata. terima kasih πŸ™‚

    1. Saya bahagia kamu adalah mahasiswa peduli dan tidak sebodoh itu meremehkan bangsa sendiri. Semoga kamu terus begitu. Salut! πŸ™‚

      Sebagai tambahan pengetahuan, coba kamu baca lagi sejarah dan perkembangan Starbucks yang bukan sebuah hal remeh di dunia kita. Juga coba baca link ini sebagai tambahan ide: http://iphank-dewe.blogspot.com/2011/06/pattimura-tidak-butuh-starbucks.html.

      ABC, siapapun kamu, teruslah cinta Indonesia dengan betul-betul memahaminya. Salam. πŸ™‚

  4. Temen-temen coba kita berandai-andai, andaikan ada sebuah kedai kopi bernama A yang didirikan dan dimiliki oleh warga Indonesia. Kedai A begitu sukses sehingga sampai saat ini kedainya sudah buka di lebih dari 20 negara.Juli ini kedai A akan mengadakan grand opening kedai barunya di perpustakaan Harvard Univ. Kira-kira tanggapan teman-teman apa?

    1. Hai, Daud, salam kenal. πŸ™‚

      Mari berandai-andai Indonesia sudah menjadi negara besar dan kaya raya di dunia. Mungkin saya akan bahagia juga jika kedai kopi saya masuk perpustakaan Harvard, sebuah perpustakaan milik negara yang masih kacau sehingga dengan mudah diekspansi produk asing. Saya akan dapat banyak uang dari keuntungan maha lipat dari kantong mahasiswa kaya di sana.

      Atau, saya mungkin juga akan senang kalau kedai kopi Indonesia yang merambah pasar internasional bisa masuk kampus di negara maju. Namun saya yakin betul, keberadaan kedai saya hanya sebagai alternatif, sebab jika bukan hanya pilihan, berarti Indonesia sudah jadi negara adidaya di dunia.

      Sejauh ini yang saya tahu, ada konsep perpustakaan cafe di Universitas Harvard, yaitu di Lamont Library Cafe. Ada Starbucks di sana dan sejauh ini tidak ada kedai kopi atau warung makan negara lain di cafe itu. Selain itu, di Harvard, ada fasilitas fitness yang memang sangat berguna untuk kesehatan mahasiswa, tetapi itu diletakkan di pusat olahraga, bukan di gedung perpustakaan pusat. Kampus UI punya gymnasium dan itu adalah tempat bagus untuk membangun fasilitas kebugaran.

      Sementara itu, bioskop film di kampus Harvard ditempatkan di fakultas studi film. Jika dibandingkan di sini, semacam Cinema XXI yang terletak dekat kampus IKJ. Untuk kebutuhan suka-suka atau komersial, mahasiswa UI selama ini bisa pergi ke bioskop di mal-mal sekitar UI seperti Depok Town Square atau Margocity.

      Demikian. Teman-teman ada tanggapan?

  5. Beruntung saya bukan mahasiswa dari kampus kuning ini. Jika iya, pasti saya sudah menjadi salah satu mahasiswa yang gaul di sini. Secara, sekarang ada Starbucks gitu lho!
    Sejak dulu, saya memang lebih berminat untuk kuliah di kampus yang menggunakan kata “Jakarta” daripada “Indonesia”.
    Mungkin pemikiran Taufiq Ismail yang mengatakan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia ada benarnya juga.
    Nanti kalau di UI dibangun diskotik atau tempat prostitusi diam-diam, tolong beritahu saya ya. πŸ™‚

    Sedikit kutipan dari puisi Taufiq Ismail.
    “Hari depan Indonesia adalah bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian.”

    1. Hai RayaBilly, kamu pun anak gaul di kampus seni milik Jakarta itu ya. Saya pikir, ini jadi semacam boleh ya jika Jakarta berhedon-hedon ria, sementara kalau bawa nama Indonesia tidak boleh hedon, mengingat banyak wilayah Indonesia lainnya yang tidak gaul dan kaya serupa Jakarta.

      Saya ingin Indonesia pakai lampu neon hemat listrik. πŸ™‚

  6. Ketika saya mendapatkan undangan pembukaan cafe ini, jujur ada perdebatan batin dalam hati. Entah apalah namanya yg saya rasa saat itu.. Gak cuma jenis kedai nya saja yang bikin resah, tapi saya jadi berpikir.. akan semakin jauh ‘jarak’ di Universitas yang katanya milik Indonesia itu..

  7. untuk mendatangi sebuah cafe itu pilihan, mau dateng ya silakan, nggak suka ya silakan. ada baiknya pembangunan seperti ini sekali2 dilihat dari sisi positifnya : sekarang ada perpustakaan terpusat yang bisa menampung informasi yg dibutuhkan mahasiswa satu universitas, ada fasilitas komputer yg canggih yg bisa digunakan oleh semua mahasiswa, mampu atau tidak mampu. seperti kata @daud, apakah komentar kalian akan sama seperti ini kalau hal tsb benar terjadi?
    daripada resah2 terus, sedih2 dengar puisi terus, gimana kalo coba datangi perpusnya terus belajar di perpus menggunakan teknologi2 yg tujuannya pasti mempermudah kinerja belajar. siapa tau, ketika lulus nanti, bisa bikin Indonesia bangga akan ciptaannya, seperti negara2 barat itu bangga akan hasil karya mereka.

    πŸ™‚ cheers.

    1. Hai K, senang dengar kamu masih bisa berpikir positif. Teruslah semangati teman-temanmu juga, manfaatkan segala fasilitas keren agar hasilnya bisa bikin Indonesia makin keren dan tetap mempertahankan lokalitas budaya kita. πŸ™‚

  8. Hi Arnellis,

    nice share from you.
    I think there’s a positive and negative that follow this decision that bring Starbucks open in UI new library. As you told before, no failures, and I do agree, but it’s better that you also write from the other point of view. So, we can compare it precisely.

    thank you, keep in share πŸ™‚

    1. Hai Alfa, saya memang menempatkan diri di posisi tidak mendukung. Saya berharap, teman-teman lain yang setuju dengan keberadaan Starbucks di Perpus UI bisa memberikan tanggapan. Anyway, thank you for retweeting it. πŸ™‚

  9. Perlu diketahui bahwa keuntungan dari starbucks yang ada di Indonesia sepenuhnya tidak ke negara asalnya, PT. Mitra Adi Perkasa hanya membeli nama dan izin lisensi nya saja pada awal pembukaan. Jadi jangan menyalahkan sbux indonesia. Lagipula apa salahnya kita punya starbucks? Ambil sisi positifnya, banyak mahasiswa UI yang kurang mampu bisa melamar kerja sebagai part time disana. Kalau anda tidak setuju, mengapa anda masih makan McDonald atau KFC ? Kenapa kita masih pakai Honda ataupun Toyota? Kenapa kalian pakai Blackberry dan Nokia? Itu semua sama saja.

    1. Hai, Biel. πŸ™‚ Terima kasih ya sudah kasih info tentang PT MAP yang memang telah lama dikenal sebagai pembeli lisensi berbagai produk asing yang mengisi pasar Indonesia. Saya tidak membahas keberadaan produk itu ketika mereka berada di dalam mal atau sebuah pusat perbelanjaan. Diskusi akan meluas jika kita asyik melempar pertanyaan balik kenapa kita pakai ini-itu barang asing dan kenapa pemerintah tidak berusaha keras menggalakkan pemakaian produk dalam negeri.

      Kalau dipaksa cari-cari manfaat pendirian Starbucks di UI ya memang bisa saja ada. Namun, yang saya lihat, sebetulnya masih banyak yang bisa dilakukan UI untuk mencari dana dengan lebih etis dan mengingat lokalitas bangsa Indonesia.

      Terima kasih atas masukanmu ya. πŸ™‚

  10. Hi Arnellis, I’m writing here as a respond to your tweet πŸ˜‰ I appreciate this blog post of yours. You post a fair point. Buat saya, yang ditawarkan Starbucks Coffee adalah pilihan. Konsumen selalu punya pilihan: mau kopi secangkir 3000 rupiah atau 30.000 rupiah. Mau duduk di warkop, atau duduk di Starbucks. Kasarnya sih, kalau Starbucks UI sepi pengunjung dan penjualannya pun payah, sooner or later, it will most likely close down. Aturan retail-nya begitu. It’s a coffee shop. Tidak kurang, tidak lebih – okelah, mungkin lebih mahal dikit (or banyak!!) *cengir. Kenapa harus buka di UI? Mungkin bag. real estate yang bertugas cari lokasi berpikir lokasinya cocok, mungkin karena mereka harus kejar kuota jumlah toko yang harus dibuka sesuai kontrak franchise-nya. Apapun itu alasannya, saya cukup yakin mereka tidak bermaksud ‘mengintimidasi’ warung kopi lokal yang usianya sama dgn UI dan jadi tempat nongkrong favorit anak2 UI. Apalagi mengintimidasi mahasiswa dari luar Jakarta/Depok yang kuliah di UI dengan ‘susah payah’. Atau ada maksud2 lain yang lebih mendalam, lebih politis, lebih apalah daripada hanya sekedar jualan kopi (dan suasana). It’s just a coffee shop. Mau duduk dan minum kopi didalamnya apa tidak sepenuhnya adalah pilihan para warga UI. There some good, proud Indonesian working there lho btw πŸ˜‰ …selling overpriced Indonesian coffee beans…huahahaha *nyengir gede* *jail*

    1. Hai, Bebe! πŸ™‚ Tulisan saya memang hanya pemicu untuk mendapat respon seru kayak kamu gini. Semua barang dagangan memang pilihan calon pembelinya, “dipilih… dipilih… ” begitu istilahnya. Saya melihat ini bukan “its just a coffe shop”, tetapi lebih besar sebagai sebuah merek asing yang punya efek besar selain masalah perdagangan. Saya lebih berharap UI lebih cerdas memilih merek-merek yang kemudian mencerminkan bangunan apa yang sedang dibangun itu, apakah sebuah perpustakaan atau sebuah tempat dagang?

      1. Nah, berarti berarti UI (siapapun decision maker-nya yang mengiyakan keberadaan Starbucks) yang seharusnya berani bilang ‘Tidak, terima kasih. Sepertinya Starbucks bukan konsep kedai kopi yang cocok untuk berada di gedung perpustakaan kami.”
        Anyway, karena sebentar lagi buka, mungkin menarik juga disimak apakah memang ‘kekhawatiran’ Arnellis terbukti. You should probably write another blog post setelah mengamati bagaimana raksasa coffee shop ini mempengaruhi dinamika kehidupan UI *caelah ;D

      2. Bebe, ide bagus itu, adalah PR saya dan juga orang-orang yang peduli masalah ini untuk mengamati apakah efeknya di kehidupan kampus UI nanti. πŸ™‚

  11. Yang saya pahami dari tulisan ini, pendapat Anda hanya terpapar pada kalimat
    “Tapi saya benar-benar resah dengan gerai kopi milik asing ini berdiri gagah menempel di bangunan UI. Semacam parasit.” kan ya?

    Jika kurang tepat atau ada yang terlewat, mohon dikoreksi πŸ™‚ Jika tepat, saya rasa Anda telah membuat tulisan yang membiarkan pembaca mengartikan apa yang mereka baca. Give your conclusion clearly please πŸ™‚

    Kenapa saya minta lebih jelas? Karena Anda cuma bilang resah dan SB semacam parasit. Mungkin boleh dijelaskan lebih jelas apa yang Anda maksud parasit di tulisan ini πŸ™‚

    Salam dari gedung bundar πŸ™‚

    1. Hai Yunus dari Gedung Bundar πŸ™‚

      Tulisan ini memang hanya pemicu untuk menghasilkan reaksi dari teman sekalian. Saya memang menyatakan pendapat yang tersirat melalui beberapa kalimat yang seharusnya bisa disimpulkan arahnya ke mana. Jika difrontalkan, saya tidak setuju dengan keberadaan Starbucks di Perpus Pusat UI itu. Saya sepertinya akan mudah kalah jika menilik hukum pembangunan toko tersebut mengingat UI telah menjadi BHMN sehingga begitu kerepotan mencari dana pembiayaan kampus. Saya menilik pada masalah etika. Sebuah kampus yang membawa nama Indonesia seharusnya lebih sensitif ketika menggandeng sebuah merek internasional yang mempunyai kesan konsumerisme tinggi. Parasit adalah sebuah metafora yang bisa Anda tafsir sebagai sebuah penghisap, bisa menghisap ekonomi (tetapi ini wajar) dan menghisap rasa kebangsaan kita. Toko kopi itu menurut saya adalahs ebuah lambang hegemoni asing, dan ketika ia menempel besar-besar di gedung pendidikan yang membawa nama Indonesia, saya sungguh gamang.

      Semacam inilah. Silakan tanggapan Anda. πŸ™‚

      1. Oh begitu toh. Terima kasih atas penjelasan yang telah diberikan. Begini, saya rasa sebelum dibilang bahwa SB merupakan parasit, perlu ditilik terlebih dahulu bagaimana proses bisnis / hubungan antara UI dengan SB. Saya yakin keduanya memiliki kerja sama yang saling menguntungkan (yang saya sendiri juga tidak tahu apa tapi saya yakin sekali bentuk kerja sama itu ada).

        Perlu ditilik lebih lanjut bagaimana bisa SB bisa secara mentereng muncul di Perpustakaan UI. Mungkin saja UI sudah menyelenggarakan semacam sayembara, tapi ternyata sekian banyak yang melamar, hanya SB yang memenuhi kriteria (mungkin).

        Merk yang mentereng di perpus baru bukan hanya SB saja kan? Ada BNI juga. Nah kok bisa BNI? Kenapa bukan Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia? Di sini saya kira UI memiliki alasan tersendiri kenapa BNI bisa masuk menjadi salah satu merk yang mentereng di situ. Begitu pula dengan hadirnya SB.

        Hm, saya penasaran nih. Menurut Anda merk apa yang seimbang dengan SB namun milik anak bangsa? πŸ˜‰ Terima kasih

        Notes below: Ngomong-ngomong, mungkin Anda perlu edit tulisan Anda dengan mencatumkan keresahan Anda secara jelas πŸ™‚

      2. Hai Yunus. πŸ™‚
        Jelas kampus UI dan Starbucks dapat keuntungan masing-masing, namanya juga kerjasama. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping secara etika dan psikologi terhadap para civitas kampus, terutama mahasiswa. Pendapat Ken Miryam tentang Ampera di bawah patut diperhatikan, juga tulisan ini http://iphank-dewe.blogspot.com/2011/06/pattimura-tidak-butuh-starbucks.html. Saya pikir inilah yang terlupa oleh pihak penentu kebijakan tersebut.

        Merek yang seimbang dengan Starbucks? Seimbang dari segi apa? Kebesaran nama di dunia internasional? Ada banyak toko kopi asli Indonesia yang bisa kamu cari di internet. Salah satu yang terkenal adalah Coffe Toffee, perusahaan lokal Indonesia ( http://coffeetoffee.co.id/company-profile/company-profile/ ).

        Catatan: Tidak ada yang perlu saya sunting dalam tulisan saya. Itu adalah gaya saya menulis. Terima kasih masukanmu ya. πŸ™‚

  12. Membeli atau tidak membeli, kopi mahal atau kopi murah, memang merupakan pilihan. Tapi dengan membuka kedai kopi asing seharga berkali-kali lipat kopi warkop, kampus ini secara (mungkin) tidak sadar telah membantu memperlebar jarak, mendukung gaya hidup yang semakin mahal, dan terus terang saya kasihan pada mereka di bawah saya yang mungkin akan semakin sedikit mengenang kehidupan kampus yang serba sederhana. Benar kata temanmu dari Universitas Pattimura — kampus ini terlalu sombong ketika membawa nama Indonesia.

  13. OK. Ternyata saya jadi semakin sering terhenyak ketika berhadapan dengan respon massa atas sebuah kabar (yang menurut saya) buruk dibanding ketika saya mendengar kabar buruk itu sendiri. Untuk saya, Starbucks di UI adalah kabar buruk. Alasannya? Akan ada persoalan kesenjangan antara mahasiswa yang mampu beli kopi starbucks dan ada yang tidak. Untuk sebuah kluster di satu entitas pendidikan, pembagian itu akan menjadi hal yang konyol. Masih terngiang, ketika saya menjadi mahasiswa baru UI di tahun 2000 silam, ketika Genderang UI membahana di balairung. “…Kami mahasiswa, pengabdi cita / ‘Ngejar ilmu pekerti luhur untuk nusa dan bangsa / Semangat lincah gembira, sadar bertugas mulia / Berbakti dalam karya mahasiswa / Universitas Indonesia, perlambang cita / Berdasarkan Pancasila, dasar negara / Kobarkan semangat kita, demi ampera.” Teman-teman masih ingat apa itu ampera? Jika yang tak tahu, sila teroka dulu maknanya di google. Yang pasti starbucks dan ampera tidaklah berada pada kutub nuansa makna yang sama. Saat ini, cukuplah saya gamblangkan dulu reaksi pertama saya. Pertanyaan saya akhirnya sederhana saja. Tegakah seorang mahasiswa mengeluarkan uang untuk secangkir kopi yang harganya mampu mencukupi biaya makan selama 1 minggu dari seorang mahasiswa lain yang sedang merantau dari kampung, nun jauh di luar Jakarta/Depok sana? Itu saja dulu. Jika teman-teman sebelumnya banyak yang bicara soal pilihan, izinkan saya juga tawarkan sebuah pilihan jawaban atas pertanyaan saya di atas: ya atau tidak.

  14. Jadi masalahnya di mana? Karena milik asing? Karena mahal? Kalo terus Starbucks-nya rame, berarti mahasiswa2 UI ternyata senang kopi racikan asing dan punya cukup uang untuk membelinya. So what?

  15. Maaf mba Arnellis, arah keresahan anda ditujukan kemana ya? UI? Starbucks? Mahasiswa UI? Supaya tidak melebar respon dari pembaca.

  16. Halo Arnellis,

    Saya dapat link tulisanmu ini dari tweet teman, dan setelah baca jadi tertarik ikut berpendapat.

    Sebelumnya, disclaimer dulu. Saya alumni UI. Masuk D3 Sastra Inggris tahun 94, setelah lulus lalu nyambung ke Ekstension Fisip UI. Setelah kelamaan bikin skripsi, akhirnya lulus tahun 2004. Sekarang bekerja jadi konsultan humas di perusahaan PR global, yang salah satu klien globalnya adalah Starbucks. Tapi saya sendiri belum pernah menangani Starbucks secara langsung. Disclaimer ini penting, agar saya tak dianggap membela kepentingan Starbucks. Saya di sini sebagai alumni UI yang kenyang kuliah di sana, dan suatu hari nanti ingin balik lagi untuk melanjutkan S2. Moga-moga ada uang πŸ™‚

    Disclaimer lainnya: saya pecinta Apple computers πŸ™‚

    Pertama, saya setuju dengan beberapa komentar di sini yang bilang bahwa kamu kurang jelas menyampaikan keberatanmu. Memberikan link dari tulisan orang lain mungkin di satu sisi bisa menjelaskan, tapi alangkah lebih baik bagi pembaca kalau kamu juga bisa menjelaskan dengan jelas keberatan-keberatanmu.

    Kalau posting yang singkat dan memancing ini memang terkait gaya menulismu, saya akan lebih senang kalau kamu bisa menjabarkan argumentasimu dengan lebih jelas. Gaya menulis dan argumentasi yang jelas tentu tak perlu jadi hal yang bertentangan kan? πŸ™‚

    Apakah karena segelas kopi di Starbucks harganya mahal? Merek internasional? Karena ada merek-merek lokal lain yang lebih pantas hadir di sana?

    Dulu saya sering menghabiskan waktu bikin skripsi malam2 (selain di kos) di kafe kecil yang menyenangkan, BukuKafe. Cappucino-nya murah, Rp9.000 segelas (seingat saya) karyawannya ramah2, nggak melotot kalo saya di sana berjam-jam. Sayang, biaya sewa tempat yang mahal waktu itu (depan Kos Marsini) membuat tempat ini sulit berkembang. Rupanya cappucino seharga 9000 perak, disain tempat yang nyaman, harga makanan yang sedikit lebih mahal dari warteg, membuat tempat itupun dianggap sebagian teman sebagai tongkrongan borju. Saya sempat disindir, “Ah, lu nongkrongnya di tempat mahasiswa borju tuh.”

    Begitu ya? Gaji yang saya dapat susah payah, dan ingin saya gunakan untuk sedikit kenyamanan sepulang kerja saat bikin skripsi di BukuKafe, membuat saya dicap “borju.” Nggak apa-apa juga sih. Uang saya kan? Nggak ngemis orang lain?

    Sepuluh tahun kuliah di UI, maaf kalau saya tidak gampang terpesona dengan kata-kata seperti, “amanat penderitaan rakyat”, “kesenjangan sosial”, “gaya hidup mahal”, “etika”, “merek lokal”, “merek global”, dan konsep-konsep indah lainnya.

    Saat kuliah di D3, sudah biasa saya dengar cap “mahasiswa borju,” hanya karena uang kuliah saya saat itu lebih mahal (di tahun 94, satu semester Rp750.000) dari mahasiswa reguler. Uang yang bahkan buat saya pun mahal, sampai harus ijin ke Subak untuk bayar nyicil πŸ™‚

    Buat saya, UI adalah tempat belajar dan berteman. Ilmu dan jaringan pertemanan yang saya dapatkan di sini adalah bekal saya saat bekerja. Fasilitas-fasilitas yang menambah kenyamanan dan kemudahan bagi saya untuk belajar, akan saya sambut dengan senang hati.

    Dalam sehari dulu saya bisa menghabiskan waktu 4 sampai 5 jam hanya untuk belajar di perpustakaan2 di UI. Apalagi setelah kerja, dan kuliah sambil kerja, tambahan fasilitas (dan buku-buku) serta secuil dua cuil kenyamanan yang memungkinkan saya bisa menyelesaikan tugas, akan saya terima dengan senang. Karena kenyang berjam-jam tenggelam dalam buku di perpus Sastra, Fisip, dan Pusat (dalam sehari saya bisa ke 3 tempat itu, saya senang sekali setelah tahu bahwa perpus Pusat sekarang sudah jadi sedemikian bagus dan mentereng, dengan iMac pula. Wah!

    Apakah yang masuk Starbucks, McDonalds, atau merek-merek lainnya, tergantung kepada sikap mahasiswanya. Nggak usah jauh-jauh ke merek global dulu deh. Persaingan pengusaha kantin yang mau berdagang di kantin-kantin fakultas aja udah bisa jadi topik skripsi yang menarik. Siapa yang monopoli, siapa yang mengendalikan kualitas makanan (kalau ada), siapa yang berkuasa kasih tender ini dan itu. Apakah selama ini ada yang pernah mengangkat soal ini? Seingat saya sih nggak. Kita udah senang bisa makan murah di kantin, tanpa peduli konflik-konflik di balik ekonomi kantin itu. Mungkin juga kuatir, kalau kualitas makanannya kelewat baik, sistem tendernya kelewat transparan, malah jadi mahal buat kantong mahasiswa.

    Kalau ada kritik dari saya soal Starbucks dan iMac ini, paling-paling ini:
    1. Untuk pihak kampus, daripada habis uang beli iMac banyak-banyak, kenapa nggak perbanyak aja koleksi buku di perpusnya? Kenapa uangnya nggak dipakai untuk biayai mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, mungkin dengan membuat student loan? Kalau dulu ada sistem student loan, oh alangkah indahnya.
    2. Untuk mahasiswa: daripada pusing mikirin kenapa ada Starbucks di sana, kenapa nggak belajar sekuatnya agar bisa punya bisnis sebesar itu? Kalau kemahalan, kan ada coffee shop lainnya di lingkungan kampus, dan di seputar UI? Apa bedanya nongkrong di Starbucks di luar kampus, dengan nongkrong di Starbucks di dalam kampus? Saat melihat teman-teman saya sekarang yang sibuk bikin start up dan berlomba cari investor (tak peduli dalam atau luar negeri), persoalan merek lokal atau asing kok jadi nggak penting ya?

    Eh maaf ya, kalau jadi kepanjangan. Maklum, alumni yang kangen kampus, gampang kepancing kalau ada topik menarik tentang kampus. Saya stop dulu. Nanti nyambung komentarnya ya.

    Nice blog you have here πŸ™‚

    1. Hai, Waraney dari duniahitam! πŸ™‚

      Terima kasih ya atas semua masukanmu. Saya masih perlu belajar menulis lebih banyak lagi. Apalagi setelah mampir ke blogmu yang hitam seru itu.

      Kapan-kapan harus kopdar di UI nih. Ngobrol langsung dan lepas kangen kampus ya. πŸ˜‰

Leave a Reply to arnellis Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.