Saya selalu percaya, mendengar adalah sebuah kebaikan. Memberi telinga kita kepada orang lain, menampung cerita, adalah sebuah amal yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Mendengar penting dilakukan manusia kepada sesama. Apalagi bagi anak-anak. Mereka pun manusia yang harus didengar suaranya. Saya percaya, mendengar cerita anak-anak (dan remaja) adalah salah satu cara mudah untuk menyelamatkan anak bangsa.
Sebutlah istilah mendengar cerita dengan kata ‘curhat’. Anak dan remaja dalam usianya yang penuh gejolak perkembangan, tentu menyimpan segudang cerita yang ingin dicurhatkan. Cerita ini dapat disimpan dalam hati mereka, atau dapat mereka bagi ke teman sebayanya. Orang tua mendapat kewajiban utama sebagai orang yang harus tahu curhat anak. Mendengar curhat anak adalah wujud kasih sayang mendasar sebab itu adalah bentuk perhatian sederhana yang tulus.
Tidak hanya orang tua yang bisa mendengar cerita anak. Setiap dari kita pun bisa, sebab tidak ada alasan tidak bisa, kecuali memang tidak ingin peduli pada anak. Kita bisa dengar cerita adik kecil kita, saudara sepupu, adik pacar, anak tetangga, anak penjual koran, murid sekolah, atau pengamen anak di jalanan. Ketika niat mendengarkan sudah ada, kita tinggal ciptakan sapaan, kemudian pertanyaan.
Dengan mendengar curhat anak, kita bisa mengetahui pengalaman yang telah dilaluinya. Cerita bisa menjawab pertanyaan guru di kelas, di-bully teman sekolah, tak bisa main bola di tanah lapang, atau kurang setoran ke bos ngamen, bisa kita peroleh ketika curhat. Telinga yang kita pasang akan sangat berharga untuk anak sebab mereka mendapat tempat untuk mengeluarkan masalahnya. Keluhan anak itu merupakan cerminan masalah negara pula. Anak menjadi subjek utama di sekolah. Kebaikan dan kekurangan yang terjadi dalam sistem sekolah bisa dilihat dalam cerita anak. Tidak tersedianya lahan bermain atau tidak punya waktu bermain sebab harus bekerja di jalan juga merupakan masalah sosial negara. Seringkali kita mendapati permasalahan sosial pendidikan anak yang diangkat dalam wacana pemerintahan bersumber dari pemikiran orang dewasa saja. Padahal masalah sebenarnya harus kita dengar langsung dari anak sebab merekalah yang mengalami keterlibatan utama.
Jadilah teman curhat anak. Saat anak mendapat rasa nyaman, pembelajaran dapat masuk dengan lebih mudah. Kita semua tentu percaya, belajar dapat dilakukan di mana saja, tak harus didapat di bangku sekolah formal. Pelajaran yang tertulis dalam rangka akademis pun bisa disisipkan di sesi curhat anak itu. Nasihat hidup bisa dibagi saat mengobrol sebelum tidur. Kisah ilmu alam atau matematika bisa diceritakan ketika jalan-jalan. Saya pikir, kuncinya adalah bersabar untuk jadi teman anak. Hubungan yang terbuka dan akrab antara anak-anak (dan remaja) dengan orang dewasa akan memudahkan kita menyelamatkan keseluruhan bangsa Indonesia.
Di sebuah kelas bahasa Indonesia, saya melempar tanya, apa itu sastra?
Sastra adalah upil. Kotoran hidung yang dianggap jorok itu mempunyai rasa yang khas. Asin. Rasa itu menambah bumbu dunia, sama seperti makanan. Upil juga diasosiasikan seperti emas, yang harus digali di kehidupan. Emas juga melambangkan benda berharga yang harus dicari manusia, begitu ujar salah satu murid kelas 10.
Saya tertawa. Saya senang. Murid saya yang berusia 15 tahun itu telah berusaha menyampaikan pendapatnya tentang apa itu sastra. Bagi sebagian besar murid SMA kelas satu di tahun pelajaran baru ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang menggunakan kurikulum asing mungkin dianggap bukan pelajaran penting. Lalu ketika mereka mendapati ada kewajiban membaca karya sastra, sebagian besar murid keburu cemas, sebab membayangkan novel yang tebal, puisi yang sulit dimengerti, atau drama maha absurd.
Maka, saya ajak mereka bermain di awal pertemuan pelajaran. Setelah berkenalan dan mencoba mengingat nama murid satu kelas, saya ajak mereka mengingat kembali, apa sebenarnya sastra itu? Apa benar sastra itu sesuatu yang aneh, sulit, dan tidak menarik untuk dipelajari? Nyatanya, mereka sudah punya konsep tentang sastra, meski sulit merangkainya dalam kalimat. Mereka tahu sastra itu cerita, sastra itu pantun, sastra itu pentas drama. Saya kemudian meminta mereka membuat gambar yang mengilustrasikan pemahaman mereka tentang apa itu sastra. Hasilnya ternyata menarik sekali. Gambar yang mereka buat lucu-lucu.
Ada murid yang menambahkan sifat sastra dalam penjelasan gambarnya. Pemahaman ini dituangkan dengan metafora yang menarik.
Dan sebagian besar murid akan menuliskan kecemasannya tentang sastra, bahwa sastra itu sesuatu yang absurd, atau juga melukiskan manfaat sastra dalam kehidupan.
Dari gambar-gambar ini saya mendapat lebih dari jawaban apa itu sastra. Coretan mereka saya pindai dan jadi penilaian awal sejauh mana pemahaman mereka tentang sastra, sehingga saya bisa menentukan target pencapaian pemahaman berikutnya. Dari kegiatan ini saya juga jadi kenal pribadi mereka. Buat saya, mengenal pribadi murid itu penting agar guru bisa tahu cara yang tepat untuk menyampaikan ilmu kepada berbagai karakter dalam satu kelas. Kesenangan murid pada Spongebob tadi misalnya, bisa saya jadikan bekal untuk menggunakan tokoh-tokoh Bikini Bottom ketika membuat contoh dalam pelajaran berikutnya nanti. Saya perlu menyiapkan cara yang sebisa mungkin dapat dipahami sebagian besar anak, yang dipahami anak yang menggunakan metafora bunga atau yang menggunakan metafora monster.
Saya percaya, gambar mereka tadi berangkat dari apa yang dekat dengan diri mereka. Lucunya, hal itu terbukti pada kisah murid yang mensimilekan sastra seperti upil tadi. Teman-teman anak itu tertawa sambil membocorkan rahasia di depan kelas, bahwa murid saya itu memang suka mengupil. Si anak hanya tertawa, sambil mendekatkan jari ke arah hidungnya. 🙂
Saat berkenalan kita akan menemukan pola. Dengan sadar, pola yang saya buat selalu sama. Pertanyaan pertama, nama. Lalu disambung, mengajar pelajaran apa. Kemudian pertanyaan berikutnya, tinggal di mana. Penciptaan pola tersebut tergantung pada situasi apa saya berada. Kebetulan minggu ini adalah minggu pertama saya memasuki lingkungan pekerjaan baru di sebuah sekolah di Serpong, Banten.
Saya berusaha sebisa mungkin untuk membuat pertanyaan terbuka. Maksudnya supaya aman. Pertanyaan terbuka tidak menjustifikasi jawaban sebelum si-yang-ditanya menjawab. Aman, sebab banyak dugaan bisa salah, jadi lebih baik membiarkan si-yang-ditanya memberikan jawaban. Aman, supaya tidak malu jika dugaan kita salah karena seenaknya menerka di awal tanya.
Astrid. Ekonomi High School. Puspita Loka.
Intan. Bahasa Indonesia High School. BSD City.
Saya membuat pola itu, maka pola yang sama akan berbalik ke saya. Nah, ternyata saya sendiri kerepotan membuat jawaban ringkas.
Arnellis. Bahasa Indonesia High School. Kampung dekat gerbang belakang Binus.
Jawaban ketiga saya biasanya memancing pertanyaan selanjutnya. Menjelaskan daerah tempat kos-kosan saya berada sebetulnya tidak begitu sulit. Namun, membuat orang berhenti mengejar jawaban dan menuntaskan dengan ooo panjang itu tak mudah ternyata.
Saya sadar, jawaban saya kemudian menciptakan praduga berikutnya. Maka saya seharusnya tidak perlu kaget ketika kejadian ini datang. Suatu hari sepulang saya mendapatkan kamar kos-kosan, seorang lelaki paruh baya menegur. Kami berbicara berseberangan di tepian jalan Lengkong. Saya baru saja beranjak meninggalkan kamar yang sudah saya bayar.
“Mbak, jadi ambil kosan situ?” tanyanya lantang agar terdengar saya yang ada di seberang jalan.
“Iya, Pak!” Saya ikut melantangkan suara.
“Kerja di Binus ya?”
“Iya, Pak.”
“OB?”
Saya tak segera menjawab. Si lelaki itu memperjelas.
“Cleaning Serpis?”
Oh! Saya menjawab tak lagi lantang.
“Mmm, guru, Pak.”
Lelaki itu terkejut sedikit, lalu kikuk. Saya juga.
“Oh, ngajar? Saya kira.”
Beberapa hari kemudian saya baru tahu bahwa tetangga sebelah kos-kosan saya umumnya adalah buruh pabrik, satpam, atau pekerja cleaning service di mal atau sekolah di Serpong. Maklum jadinya jika lelaki itu menduga saya pun salah satu dari mereka. Harga kos-kosan dan kontrakan di kampung tempat saya tinggal itu umumnya di bawah 400ribu rupiah per bulan. Kata teman, saya telah merusak pasar. Kenapa? Karena ternyata umumnya guru yang mengajar di sekolah internasional itu tinggal di perumahan sekitar sekolah semacam Serpong Park atau Bumi Serpong Damai. Kalau mengontrak rumah, sewanya sekitar 1 juta per bulan plus-plus. Kata teman, saya mengacaukan dugaan warga kampung. Kenapa “guru” yang dipikir mereka tentu bergaji jauh lebih besar dari petugas cleaning service ini malah tinggal di kontrakan kampung?
Alasan sederhananya karena tentu saya mencari tempat tinggal yang murah. Semua harga sesuai dengan fasilitas dan keadaan yang tersedia. Ada teman yang menilai daerah kos-kosan saya itu terlihat kotor sebab tidak berkonblok atau aspal. Saya malah menyukai tanah padat dan rumput liar. Ada teman yang bilang kelihatannya daerah kos-kosan saya rawan maling. Saya yakin maling pun senang mencuri di perumahan elit. Teman bilang, daerah saya berisik sebab biasanya orang kampung senang menggerombol siang atau malam. Itu benar. Tetangga saya, ada yang merupakan sekelompok buruh pabrik yang mengontrak bersama. Mereka tidak punya televisi. Ketika ingin menonton bola, mereka beramai-ramai ke rumah tetangga depan kamar saya dan menonton bersama di televisi yang ditaruh di ruang tamu. Atau kalau sedang tidak ada yang ingin ditonton, mereka akan berkumpul di teras rumah kontrakannya, lalu memutar lagu-lagu dangdut dari ponsel 500ribuan. Mereka tampak senang. Saya senang-senang saja, selama mereka tidak dengan sengaja ingin mencuri-curi lihat dalam kamar saya yang berjarak dua hasta dari teras mereka.
Saya perlu tinggal di kampung. Itu alasan sok filosofis mungkin. Saya merasa perlu menjaga keseimbangan diri saya sendiri dari jungkat-jungkit kelas sosial yang selalu saya hadapi tiap hari. Rumah orang tua saya juga ada di kampung. Lalu saya bekerja di sekolah yang murid-muridnya mungkin bahkan tak pernah menginjak tanah kampung. Berdirilah saya di tengah, antara kampung dan kota, yang memang begitu nyata berdampingan di tanah Banten ini.
Ah, semoga tempat tinggal ini bisa terus membuat saya peka atas ketimpangan Indonesia yang tampaknya masih betah terjadi ini.
Anak-anak berkuku hitam bergigi gompal tertawa riang.
Mereka bebas main bersama teman, bukan lagi di jalan.
Kalimat itu saya kirim ke akun @kotakhitam_ di twitter tepat setelah melihat anak-anak jalanan di hadapan saya kemarin lalu. Saya begitu yakin gambaran itu akan segera jadi kenangan berharga. Saya bersyukur dapat bertemu anak-anak yang selama ini hanya saya lihat di berita televisi. Anak-anak yang bekerja di lampu merah jalan raya, atau bermain dan tertawa di pinggir sungai dan rel kereta.
Kepada Sahabat Anak (@sahabatanak) saya harus berterima kasih. Saya dapat kesempatan bermain dengan anak-anak itu di Jambore Sahabat Anak XV tanggal 2-3 Juli lalu. Ini adalah kesempatan pertama saya bergabung dengan teman-teman relawan lain. Saya digabungkan dengan Sahabat Anak Tanah Abang. Lompat Karet nama tenda jambore mereka. Ada sekitar 30 anak di tenda ini. Saya tidak hapal semua karena banyak yang baru berkenalan di saat acara, kecuali setidaknya tiga anak manis ini: Nita (14 tahun), Yuniar (10 tahun), dan Yani (12 tahun). Nama-nama tenda adalah nama permainan anak-anak. Ada 29 kelompok tenda di JSA tahun ini dan semuanya menggunakan nama permainan, seperti congklak, engrang, atau hompimpa. Tema jambore jadi teraplikasi walau tak semua permainan itu bisa dilakukan anak-anak pada saat jambore berlangsung.
Tema “Bermain” ini mengakomodasi hak anak Indonesia yang pertama. Saya pikir ini menjadi poin yang begitu penting dan mendasar mengingat anak-anak ini sebagian besar telah mengalami kehilangan waktu bermain seperti anak-anak seharusnya. Kalau kata Iwan Fals, anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, dipaksa pecahkan karang padahal lemah kepal jarinya. Anak-anak kecil itu telah terbebani dengan keharusan mencari nafkah untuk pemenuhan diri sendiri atau membantu kebutuhan orang tua mereka. Sahabat Anak telah berusaha menanamkan pengertian hak bermain ini kepada anak-anak binaan. Saat belajar bimbel harian, mereka sering diingatkan apa saja 10 poin Hak Anak Indonesia (HAI). Di rumah Sahabat Anak poster dipajang. Pada saat jambore lagu HAI dibuat dan dinyanyikan bersama. Manfaat bermain itu pun ditulis besar-besar di punggung kaos kegiatan.
Hamburan pujian banyak terlimpah untuk Sahabat Anak yang sudah menyelenggarakan acara jambore ini kesekian kali. Saya sangat mengapresiasi kebaikan hati mereka semua. Betapa ini adalah hal mulia yang sebetulnya bisa dilakukan banyak orang. Ada sekitar 600 orang mahasiswa dan pekerja yang menjadi pendamping adik-adik ini. Ada pula sejumlah orang yang sibuk menjadi panitia yang repot bekerja sejak empat bulan sebelumnya. Para donatur dan pihak pemerintah, sejumlah artis ibukota, juga keluarga yang bergabung di hari H acara, tentu semua punya niat baik untuk sekitar 1100 anak-anak ini. Tentu nilai-nilai baik pula yang ingin kita ajarkan kepada anak-anak bukan? Misalnya, perihal sopan santun, semangat sekolah, menolong orang, hidup bersih, dan juga kedisiplinan.
Sebab itulah saya gemas ketika acara ini mengalami keterlambatan atau kekurangan fasilitas yang mendukung tujuan baik itu. Saya dan adik-adik dari SA Tanah Abang berangkat pukul lima pagi dari Tanah Abang ke Pasar Minggu. Mereka bahkan sudah bersiap dan berbaris sejak pukul empat pagi. Semangat mereka sangat menggebu. Lalu kami tiba di Kebun Binatang Ragunan pukul 5.30 dan menunggu. Setelah registrasi, kami masuk ke dalam Kebun Binatang dan menjadi yang pertama berfoto kelompok dan masuk ke arena panggung pembuka. Kami lalu menunggu kedatangan 28 kelompok tenda lain yang datang beriringan satu persatu ke lapangan rumput depan panggung itu.
Matahari mulai meninggi. Rangkaian acara pembukaan memakan waktu lama. Sambutan sana-sini, pelepasan balon, menyanyikan yel-yel berurutan, absensi, hiburan, doa pembuka, tanda tangan artis, semua itu menghabiskan banyak waktu. Acara Amazing Race (berkeliling Ragunan sambil menyelesaikan permainan di tiap trek) yang seharusnya dijadwalkan mulai pukul 8 pun harus mundur hingga pukul 10. Anak-anak mengeluhkan kepanasan dan mulai tidak tahan untuk tidak berlarian. Berkali-kali mereka bertanya kapan acara main dimulai dan kapan pergi ke tenda. Ini adalah sebuah hal yang wajar. Sebagian besar peserta JSA adalah anak usia sekolah dasar. Di kelompok tenda saya saja ada dua anak usia 6 tahun. Karena Amazing Race dimulai pukul 10 itu, beberapa anak mulai kelelahan. Meski begitu, semua tertutup semangat untuk melihat binatang-binatang idola dalam kebun binatang. Keterlambatan berikutnya menyusul ketika acara jalan kaki secara ular naga menuju lokasi kemah Ragunan. Iring-iringan 1700 orang tentu butuh pengaturan luar biasa. Kelompok tenda kami meminta untuk jalan lebih dulu mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Anak-anak kecil ini sudah lelah. Sementara mereka masih harus berjalan satu kilometer dari Kebun Binatang ke Bumi Perkemahan. Namun, saya berterima kasih kepada tim dari Tagana yang membantu kelancaran perjalanan kami sepanjang ruas jalan raya Ragunan.
Yang patut menjadi catatan evaluasi adalah panitia dan semua pihak yang terlibat wajib ingat bahwa peserta jambore ini anak-anak dan remaja dengan rentang usia 5/6 tahun yang belum bersekolah hingga usia 17/18 tahun yang baru saja lulus sekolah menengah. Kegiatan yang dilakukan memang sudah diusahakan panitia memenuhi semua kebutuhan anak ini. Namun, ada baiknya jika beberapa kegiatan dipisahkan sesuai kebutuhan usia anak. Anak usia SD akan lebih sulit menunggu dan diminta diam selama sekian jam sebab mereka adalah anak usia aktif bergerak. Berbeda pula dengan anak remaja yang menginginkan jenis permainan yang sesuai usia mereka. Sementara itu, saya mengesampingkan kebutuhan kakak pendamping sebab itu bukan prioritas yang harus dipuaskan dalam jambore ini.
Terkait itu pula, saya bingung sekali ketika pada malam hari di panggung hiburan muncul artis pendatang baru Emily Laras dengan pakaian dress seksi yang mengingatkan saya pada Syahrini. Penonton di sana adalah semua anak peserta jambore dan juga kakak pendamping tentunya. Lalu Emily Laras menyanyikan lagu “Dont Sleep Away” Daniel Sahuleka itu yang dengan miris kocak bertentangan dengan Janji Peserta JSA nomor tiga. Saya menyukai kedatangan band yang saya lupa namanya menyanyikan lagu Laskar Pelangi atau Kepompong, juga dongeng musik Kak Resa yang kelihatan disukai anak-anak kecil. Isi acara untuk anak, maka wajib hukumnya setiap detil acara untuk memenuhi kebutuhan anak, sesuai dengan kebutuhan psikologis anak dan juga mendidik kebaikan untuk anak. Sebaiknya panitia memilah urutan acara. Acara dongeng dan lagu anak ditaruh di jam awal sehingga bisa dinikmati anak kecil. Ketika memasuki acara remaja dan dewasa, anak-anak usia kecil bisa diajak pulang dan tidur di tenda. Dengan begitu, kebutuhan hiburan anak remaja tetap bisa terpenuhi tanpa melanggar hak anak yang lebih kecil.
Ohya, masalah besar berikutnya adalah masalah air dan kebersihan. Begitu sampai di tenda, acara mandi jadi agenda repot untuk anak-anak dan pendamping sebab ternyata kamar mandi yang berfungsi baik hanya kurang dari 10 saja. Lampu tak ada di beberapa kamar mandi. Panitia menyediakan bilik mandi semacam di lokasi pengungsian, tetapi tak ada ember dan air. Jadi, sebagian besar anak dan kakak kreatif sekali memakai keran di masjid untuk keramas dan sikat gigi. Yang menyedihkan, ada anak kecil yang mencoba buang air besar di selokan tempat wudu yang kecil itu. Dari sini saja adik-adik dan kakak mulai kesulitan menaati janji JSA nomor delapan. Urusan kebersihan sampah memang bisa tertangani dengan baik. Anak-anak paham dimana sampah harus dibuang dan acara operasi semut adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan bersama. Kritik saya untuk pengelola Buper Ragunan, seharusnya segala fasilitas diperbaiki dan dipersiapkan untuk menampung kebutuhan penyewa lokasi. Ini penting demi kenyamanan bersama.
Kegiatan permainan hari Minggu sangat ditunggu. Sembilan pos permainan yang disiapkan panitia sangat menarik dan disukai anak-anak. Anak usia SD, SMP, dan SMA, serta kakak pendamping juga terlibat dalam permainan bersama-sama. Saya bisa merasakan bahagianya tawa anak-anak di balik keringat semangat mereka. Saya yakin perasaan saya sama dengan kakak pendamping lain, terutama yang baru pertama kali ini punya kesempatan bergaul bersama anak jalanan. Kamilah yang sangat beruntung mendapat pengalaman tidur di terpal tenda sementara selama ini tidur santai di kasur empuk. Kami yang dapat pengalaman tidak mandi dan kesulitan buang air dengan nyaman. Pengalaman kebersamaan sosial itulah yang coba dibangun. Kebersamaan anak berkuku gompal hitam bersandal kotor dan kakak bersepatu kets dan berkulit kaki halus.
Kepada Sahabat Anak saya berterima kasih, dan kepada anak-anak itu saya sangat berterima kasih. Belajar dan bermain dan hidup layak adalah hak mereka.