Kambing

Aku menyudahi waktu kuliah di kelas terakhir dengan waktu penuh. Bahkan lebih. Tadi beberapa mahasiswaku berteriak, mengingatkan bahwa waktu kuliah sudah selesai. Saat aku melihat jam di tangan, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 14.40. Berarti lewat 10 menit dari jatah waktu belajar yang tersedia.

Kebetulan materi yang harus aku sampaikan hari itu memang banyak. Hari ini pertemuan terakhir sebelum ujian tengah semester dimulai. Jadi, aku harus mengejar beberapa ketertinggalan. Aku bahas sejumlah materi yang belum sempat disampaikan dan membahas soal ujian dua tahun lalu. Tak lupa aku memberikan kisi-kisi materi yang akan keluar di ujian nanti, sesuai dengan permintaan mereka. Kisi-kisi itu masih terlihat seperti topik secara garis besar saja. Aku hanya menambahkan penjelasan dengan contoh-contoh soal yang mungkin akan keluar nanti.

Aku hanya tertawa ketika para mahasiswa lagi-lagi mengatakan bahwa saat ini sebetulnya kisi-kisi sudah tidak zaman. Yang lagi zaman sekarang adalah soal asli plus jawabannya. Aku hanya tertawa. Aku tahu itu lelucon. Lelucon mahasiswa yang iseng mengemis soal dan jawaban ujian dari dosennya. Lelucon yang sudah kesekian kali aku dengar sejak musim ujian hampir tiba. Aku hanya tertawa saja mendengar itu. Toh itu hanya lelucon.

Saat keluar gedung, sejumlah bayangan putih melintas. Kambing. Ya, beberapa ekor kambing menyergapku di jalan. Mereka berdiri dengan tenang, mengunyah daun-daun tanaman yang ada di sepanjang jalan. Seekor kambing yang terlihat paling besar makan dengan rakusnya. Tampaknya ia sanggup menghabiskan seluruh pucuk daun tanaman hijau yang ada di kampus itu. Seekor kambing kecil menyerobot pucuk daun yang baru diendus si kambing besar. Kambing kecil itu melahapnya dengan cepat. Kambing besar tidak peduli dengan itu. Ia melengos saja dan mengambil pucuk daun lainnya.

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Jo ternyata.
Kambing di depan mbak.
Saya di belakang mbak.

Saat itu juga aku menoleh ke belakang. Mataku sibuk mencari-cari sosok ceking itu dari kerumunan mahasiswa yang berada di belakangku. Ternyata Jo sedang duduk di salah satu bangku semen lingkar lobi gedung. Ia nyengir sambil melambai-lambai. Seorang mahasiswa di sampingnya ikut tersenyum.

Aku menghampiri Jo dengan sedikit ragu. Di lobi itu masih ada banyak mahasiswa. Aku sungkan saja. Rasanya tidak enak jika aku terlihat bersemangat menghampiri seorang mahasiswa yang baru saja memanggilku dengan tampang sok akrab. Tapi aku terus saja melangkah. Keraguan itu tiba-tiba saja runtuh.
“Suka sama kambing ya, Mbak?”

Jo masih saja tersenyum-senyum nakal. Ia tampak senang. Seperti mengetahui satu fakta baru tentangku. Mata bundarnya terlihat mencari jawaban di mataku. Aku yang semula mengira itu hanya pertanyaan basa-basi, berusaha menjawab dengan nakal pula.
“Kambingnya yang suka saya.”

Sambil tertawa, Jo beranjak dari duduknya. Laki-laki di sampingnya juga ikut berdiri. Dia itu yang tadi ikut tersenyum sewaktu Jo melambai-lambaikan tangan padaku. Wajahnya terlihat menyenangkan. Aku terkesan dengan kulitnya yang bersih. Tidak putih, tetapi bersih. Gayanya biasa saja. Anak Jakarta pasti akan dengan mudah mengenalinya sebagai anak daerah.

“Oh ya, Mbak, ini Fajar,” kata Jo memperkenalkan laki-laki itu.
Fajar tersenyum. Ia dengan segera menyorongkan tangannya di depanku. Badannya sedikit membungkuk. Sekian detik, aku tidak juga membalas ajakan berkenalan itu. Aku menatap Fajar dengan agak lama. Kecondongan punggung mahasiswa ini tidak berlebihan. Tanda bahwa ia menunjukkan kesopanan padaku. Bukan gaya perayu yang seperti dilakukan beberapa mahasiswa lain. Namun, aku tak pernah malas untuk menanggapi mahasiswa dengan gaya paling tidak menyenangkan sekalipun.

“Ya… Saya Anne.”
“Fajar, Mbak.”
“Teman Jo?”
“Iya, teman sekelas. Teman Bas juga.”
“Oh ya?”
“Iya, teman satu kosan.”

Sepanjang perjalanan meninggalkan gedung kelas akhirnya dilewati dengan kejutan yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Daun kelor ternyata masih seukuran dunia. Ternyata Fajar teman Bas. Sama-sama asal Malang. Arema. Ia juga bertetangga dan berasal dari satu sekolah dengan Bas di Malang. Fajar terus bercerita mengiringi perjalanan mereka menuju taman gedung tiga.

Sore menjelang. Panasnya mulai merayapi sela jalanan yang tak terlindungi pepohonan. Namun, taman gedung tiga tak peduli dengan itu. Pohon-pohon besar di taman ini cukup banyak sehingga tak membiarkan panas sore jatuh ke kaki kami. Pohon-pohon itu berusia tua. Batangnya besar-besar. Beberapa ada yang terlihat rapuh. Kurasa aku tak akan tahu bahwa pohon itu seusia dengan pohon di depan gedung 9 yang kemarin roboh saat hujan.

Kami terus mengobrol di bangku semen yang melingkari pohon-pohon yang berada di tengah taman. Bangku itu terasa dingin saat diduduki. Kerasnya semen tak berpengaruh kalau sebuah pembicaraan berlangsung dengan menyenangkan. Itu yang terjadi pada kami. Aku pun tidak peduli ketika beberapa mahasiswa dari kelas lain memperhatikan kami. Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang setelah mengajar. Ngobrol-ngobrol bersama mahasiswaku sendiri. Dan aku pikir apa yang kulakukan masih dalam taraf wajar.

Dari kejauhan terlihat Bas berlari kecil menghampiri kami. Wajahnya riang seperti biasa. Tas selempangnya menimbulkan irama dengan ritme teratur saat terlempar dan terjatuh ke pantatnya. Kemeja salemnya sudah tak lagi rapi. Di tangannya terlihat kertas yang tidak dilipat.

“Woi, nih buat lu, Jo!”
Jo segera menangkap bundel kertas yang dilemparkan Bas ke arahnya.
“Tekbang nih?” tanya Jo dengan muka mengharapkan jawaban ya meluncur dari mulut Bas.
“Yoi!” Bas menjawab dengan wajah cengengesan. Jo lalu berwajah sama. Fajar ikut-ikutan juga. Aku justru menekuk bibir dan jidat. Aku tak paham apa yang tengah mereka cengengesi.

Rasa ingin tahuku memburu. “Apa itu?”
“Ini tren zaman sekarang, Mbak! Soal UTS sekaligus jawabannya!” Bas menjawab dengan lugas. Ia kemudian tertawa-tawa bersama Jo dan Fajar.
Kertas itu langsung kurebut. Aku mencari-cari kebenaran ucapan Bas dalam kertas fotokopian tiga lembar itu. Di sana kudapati ada sepuluh soal esai mata kuliah Tekbang. Di bawah soal itu terdapat rincian jawaban. Beberapa jawaban dilengkapi gambar pendukung uraian. Mataku benar-benar menyipit membacanya. Otakku tak lagi terang. Aku buru-buru melihat baris teratas di kertas itu. Ada nama seorang mahasiswa di sana berikut asal kelas dan nomor NPM-nya. Aku mengenali anak itu.

“Dari mana kamu dapat soal ini?”
“Ya dari dia.” Bas menunjuk nama di kertas itu. “Dia dapat soal langsung dari dosennya. Kan memang dikasih tahu di kelas. Soal plus jawabannya lho, Mbak. Makanya Mbak gitu juga dong…”

Mataku menyipit sejadi-jadinya. Sepertinya ada sekelereng debu yang tiba-tiba meluncur ke mataku. Tapi rasa pedihnya bukan di mata. Aku tak mengatakan apa-apa. Otakku mati seketika. Ia tak bisa memerintahkan mulut untuk bereaksi atas apa yang tengah kupegang kini. Mataku jalang membacai tulisan yang tertera di kertas itu. Aku membaca, tapi tak kubaca. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi beberapa detik itu.

Tiba-tiba aku ingat Dira. Temanku yang juga dosen di kampus keuangan milik pemerintah ini. Kami berdua memulai karier pengajaran bersama. Tentu kami ingin memberikan yang terbaik sehebatnya. Aku ingat ketika aku menginap di rumahnya selama beberapa hari sekitar tiga bulan lalu. Kami berdua bergumul bersama tumpukan buku-buku yang kami cari setengah mati untuk memenuhi materi yang ada di silabus kuliah. Banyak buku yang tak dijual di toko buku. Banyak dari buku itu yang akhirnya harus kami dapatkan sendiri dari dosen pengajar lain atau dari perpustakaan kampus yang tak lengkap itu. Kami sibuk memilah-milih materi yang akan diajarkan. Kami berbagi tugas untuk membuat ketikan materi untuk dijelaskan di kelas nanti. Kami berdiskusi, berbagi pendapat, dan bersama-sama menyamakan pemahaman tentang sebuah bahan. Kami tak ingin ada yang terlewatkan untuk kami bagikan pada mahasiswa nanti. Yang terbayang di benak kami saat itu hanyalah: mahasiswa harus betul-betul paham.

Kini aku benar-benar tak tahu apakah guna yang telah kami lakukan itu setelah aku memegang kertas ini. Tidur menggalang mimpi tentu lebih asyik daripada bergadang menyiapkan materi. Aku benar-benar tak memahami ini.

Rasa tak nyaman kemudian menyergapku. Wajah lugu anak-anak mahasiswa ini seketika menghilang dari pandangan. Seorang demi seorang seperti bergiliran merias diri bak banci. Cengengesnya tak lucu lagi.

Dengan bermuka dua akhirnya aku ikut tersenyum dan mengatakan akan segera pulang. Untungnya kulihat mereka tak menaruh curiga apa-apa. Angin pun tiba-tiba bertiup kencang mengabarkan mendung yang mulai datang. Aku jelas semakin ingin segera pulang.

Aku pergi meninggalkan mereka. Langkahku gamang. Pandanganku tak terang. Beberapa meter di depanku dua ekor kambing dewasa mengembik dengan lantang. Dua ekor kambing kecil berlari mengejar kambing dewasa itu. Kambing-kambing kecil itu juga mengembik dengan suara tak kalah keras. Rengekan mereka sahut-menyahut. Tiba-tiba saja aku merasa amat tidak suka pada kambing. Kambing itu putih, tetapi bau.

September 2009

4 thoughts on “Kambing”

  1. fiuh!
    setelah membaca tulisan ini, rasanya lebih bangga terhadap murid dari Jepang yang belajar mati-matian dan tidak memilih ‘menyontek’ sebagai solusi ketika ujian. sorry to say.

    meskipun demikian, saya percaya masih ada pelajar berkebangsaan Indonesia yang tahu dan sepenuhnya paham serta menyadari pentingnya belajar dan bekerja keras.

  2. Akh, baru baca, Nel!

    Gue pernah jadi satu-satunya pengulang di salah satu mata kuliah wajib. Kenapa? Karena gue ga bisa ngerjain soal ujiannya dan memilih untuk ga ikut-ikutan nyontek kayak temen-temen yang lain.

    Dan ternyata nilai ujian itu ‘porsinya’ besar sekali. Langsung drop nilai gue.

    Biar deh, gue jadi yang paling bego karena dapet D sendiri. Sebodo amat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.