Buat Apa Sekolah?

Suatu malam, saya bersama dua teman zine ini nongkrong bareng. Kami ngobrol macam-macam, tapi ada satu cerita yang paling melekat sampai saya pulang. Salah satu teman saya menceritakan betapa parahnya sekolah SMP dia dulu. Seberapa parah?  Mari ikut saya membayangkan. Di sekolah dia dahulu, daerah Tangerang udik di awal tahun 1990-an, kegiatan berantem itu adalah semacam kegiatan rutin serupa upacara bendera. Hampir tiap hari ada saja anak yang berantem fisik habis-habisan. Tawuran antar kampung dengan senjata tajam kadang-kadang masuk ke dalam area sekolah. Bayangkan cerita ini juga: Ada anak yang terancam tidak naik kelas, ia justru membawa bapaknya datang ke sekolah. Si bapak akan mendatangi Bu Guru dengan membawa golok, mengancam supaya anaknya bisa naik kelas. Ini lagi yang lebih gila: Anak-anak itu biasa mempertontonkan kegiatan seks di kelas. Bukan nonton video porno, tapi nonton langsung temannya berbuat seks di kelas!

Saya tahu ada banyak hal ajaib yang bisa muncul di sekolah, tapi yang seperti cerita teman saya itu… wah itu sangat gila. Saya langsung berpikir, buat apa sekolah kalau kelakuan masih barbar begitu? Saya syok sekali membayangkan sebuah institusi pendidikan yang seharusnya mengajarkan moral justru malah jadi tempat pembangkangan moral. Sekolah menjadi tidak ada artinya. Saya tanyakan pada teman saya itu, bagaimana kondisi sekolah itu di tahun-tahun sekarang? Kabarnya, fasilitas sekolah sudah lebih bagus, pendidikan juga sudah lebih baik. Tapi saya curiga, kehancuran moral di sana cuma berubah bentuk, sebab si teman ini bercerita bahwa sekolah itu berdiri dekat lokasi rumah bordil yang diamini warga sekitar.

Fungsi Sekolah

Semua orang sudah paham bahwa sekolah adalah tempat mendidik orang. Kebanyakan anak di dunia akan memasuki institusi formal semacam ini, sejak kecil usia 6 tahun hingga usia sebelum 20. Kemudian sekolah dilanjutkan lagi ke institusi lanjutan bernama universitas. Sejak anak lahir, orang tua biasanya sudah memikirkan adegan “menyekolahkan anak” ini. Begitulah, sekolah jadi sebuah keharusan dalam hidup.

Dulu sekali di masa sebelum Masehi, anak belajar hidup dari orang tuanya di rumah. Namun kemudian, orang tua dirasa tak mencukupi bekal ilmu anak. Ada ilmu yang perlu didapatkan dari orang lain. Muncullah sekolah, sebuah konsep sederhana berupa menggabungkan beberapa orang yang butuh ilmu lebih dalam suatu tempat. Kata ‘sekolah’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani  σχολή (scholē) yang artinya ‘masa senggang’ atau ‘kemewahan’. Arti itu berkembang menjadi ‘sekumpulan orang yang mendapat pendidikan dari seorang guru’. Di masa Socrates, nyatanya memang hanya orang kaya yang bisa mengisi masa senggangnya dengan berguru ilmu baru. Sementara anak lainnya mesti bekerja dan berguru pada orang tua sendiri.

Sekolah dalam bentuk formal kemudian berkembang di banyak kebudayaan kuno seperti Yunani, Roma, India, dan Cina. Kebudayaan Islam juga mulai memunculkan madrasah di abad 9 Masehi. Semuanya punya prinsip dasar sama, menciptakan sebuah sistem yang mengajarkan pendidikan dan pengetahuan untuk generasi penerus. Bentuk pengajaran dari sistem itu adalah anak akan diajarkan ilmu matematika, ilmu alam, ilmu sosial, dan tambahan ilmu sesuai promosi setiap sekolah.

Kembali lagi ke cerita teman saya tadi, jadi apa fungsi sekolah jika di dalamnya seorang anak tidak mendapatkan ilmu pembentukan moral? Memang anak tetap mendapatkan sesuatu, setidaknya ilmu berhitung dan pengetahuan umum. Anak dapat banyak teman karena memang sekolah menjadi tempat mengumpulkan orang. Namun, kalau sekadar tahu ilmu umum, anak bisa saja mendapatkannya lewat koran, buku, atau internet. Tak perlulah bersekolah formal.

Saya jadi teringat Septi Peni Wulandari, teman yang baru saya kenal di suatu acara pendidikan. Ia adalah seorang perempuan mandiri berlabel ibu rumah tangga profesional (cek www.ibuprofesional.com). Ia bersama suami mendidik sendiri tiga orang anaknya di rumah. Bukan homeschooling, melainkan home educating, lebih dari sekadar bersekolah di rumah. Darinya saya tahu, bukan berarti institusi sekolah formal tidak berguna, tapi pendidikan keluarga adalah yang paling penting untuk mengembangkan karakter anak. Ia bahkan menciptakan sendiri kurikulum yang harus dijalankan anaknya di rumah, dengan jadwal yang teratur layaknya di sekolah formal. Hasilnya, dua orang anaknya yang berusia belasan sudah menjadi pengusaha dan bahkan bisa memberi pekerjaan warga sekitar rumahnya.

Dari cerita teman-teman itu saya belajar lagi, pendidikan yang terpenting tetaplah berasal dari rumah. Pendidikan sekolah hanya pelengkap. Ilmu pengetahuan itu penting, dan ilmu moral karakter itu lebih penting. Karena kalau cuma sekadar berseragam dan berkumpul di kelas, hmm… buat apa sekolah?

*artikel ini ditulis untuk zine SlaveMade #2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.