Sex Education di Kelas Sastra

Wanita itu meraihkan lengannya, di bawah tengkuk Gadis Pantai, mendudukkannya, merapikan rambutnya yang kacau balau, membenahi baju dan kainnya yang lepas porak-poranda, menarik-narik seprai yang berkerut di sana-sini.
“Ooh! Mas Nganten tidak sakit,” katanya bujang sekali lagi, dan menurunkannya dari ranjang.
“mBok,” sepantun panggilan dengan suara lembut.
“Tidak apa-apa Mas Nganten. Yang sudah terjadi ini takkan terulang lagi.”
“Apa yang sudah terjadi, mBok?”
Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjuk pada seprai yang dihiasi beberapa titik merah kecoklatan, berkata, “Sedikit kesakitan Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklah apa-apa.”
(Gadis Pantai, 2003: 73)

Murid-murid kelas 10 SMA antuasias sekali ketika saya bercerita bagian roman Pramoedya di atas. Mereka melongo, sambil cekikikan juga. Tentu saja yang cekikikan itu saya tembak pertanyaan, apa dugaan kamu tentang peristiwa yang baru saja terjadi?

Ada yang menduga Gadis Pantai baru saja menstruasi, ada pula yang menduga baru saja terjadi hubungan intim persetubuhan. Reaksi kelas tentu saja seru, beberapa lelaki tertawa-tawa, perempuan meringis. Saya atasi keriuhan kelas dengan berkata, “tenang, ini bukan bokep.” Kelas malah kembali tertawa.

Saya bilang, inilah asyiknya belajar novel, ada banyak cerita yang bisa kita pakai belajar hal-hal di luar sastra. Kita sedang belajar biologi reproduksi. It’s sex education! Murid dipersilakan menyampaikan apa pengetahuan mereka kepada teman lain di kelas. Tentu saja guru berperan untuk mengatur diskusi panas ini. Murid berpikir, apa yang terjadi pada seorang gadis usia 14 tahun jika ia melakukan hubungan seks dalam keadaan tak sadar? Mengapa ada luka dari tubuh si Gadis? Mengapa si Gadis kemudian mempertanyakan kecantikan dirinya? Apa yang terjadi pada psikis anak itu?

Ada murid yang bisa bilang bahwa Bendoro telah memperkosa Gadis Pantai. Ada juga kemudian yang bisa menyimpulkan bahwa luka tubuh bisa juga mengakibatkan luka batin. Ya, analisis bagus lahir dari pemahaman nalar yang baik. Nalar yang baik bisa ditempa di kelas sastra, yang isinya membaca karya dari rasa beragam ilmu lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.