Belajar Narasi dengan Minidrama

Menurut KBBI V, narasi adalah…

Setelah tahu pengertian, lalu bagaimana menerapkan cara membuat narasi? Ini saya bagi kegiatan yang sudah pernah saya lakukan bersama siswa kelas 10 SMA ya.

  1. Ajak siswa membaca contoh narasi langsung. Bisa gunakan novel, atau cerpen jika rencana pelajarannya hanya sebentar. Minta siswa memahami betul-betul cerita yang dimaksud.
  2. Temukan unsur pembentuk narasi. Siswa akan melihat bahwa dalam narasi terdapat: Tokoh, Aksi, dan Alur. Kisah dibawakan dalam sebuah Sudut Pandang. Ini penting agar siswa paham ketika membuat narasi mereka sendiri.
  3. Menulis narasi baru dengan mengganti sudut pandang. Ajak siswa mengubah cerita yang sudah mereka baca itu menjadi cerita dengan sudut pandang tokoh lain. Contoh: Saya dan murid sedang menggunakan novel Genduk karya Sundari Mardjuki. Sudut pandang yang digunakan adalah Genduk, seorang anak gadis. Nah, tantangan siswa adalah menceritakan ulang salah satu fragmen cerita dengan sudut pandang Sapto, teman lelaki Genduk. Atau sudut pandang Yung, ibu Genduk. Siswa bisa tulis ulang kalimat per kalimat dengan mengubah “kata ganti tokoh”. Misalnya, dalam novel disebutkan Sapto menawariku kue nastar diubah menjadi Aku tawari Genduk kue nastar yang kubawa.
  4. Menambahkan pikiran tokoh. Ini bagian asyiknya. Siswa bisa menduga dan menciptakan cerita tambahan versinya sendiri. Misalnya, Genduk tidak tahu mengapa Sapto menawarinya kue nastar, maka siswa boleh memberi tahu pembaca bahwa ternyata Sapto menyukai Genduk.
  5. Membacakan dan memerankan narasi. Hasil naskah narasi baru yang berbeda sudut pandang itu kemudian dipentaskan dengan sederhana di kelas. Minidrama! Secara berkelompok, siswa berbagi tugas menjadi narator, Genduk, dan Sapto. Lalu narator akan membacakan tulisan narasi versi mereka. Siswa yang berperan sebagai Genduk dan Sapto akan melakukan apa yang dibacakan narator. Saat ada bagian dialog, pemeran Genduk dan Sapto akan mengucapkan dialognya. Kira-kira seperti di foto ini contohnya.
Adegan Genduk dan Sapto bertemu usai acara Wiwitan. (Gideon, Jessica, Kemal, 10M 2017)

Contoh lain misalnya ini.

Adegan Yung memarahi Genduk usai acara Wiwitan. (Anli, Keisha, Mario, 10M 2017)

Bagaimana guru menilai? Boleh gunakan rubrik dengan aspek penilaian:

  1. Perubahan sudut pandang baru pada naskah narasi
  2. Koherensi kalimat pada naskah narasi
  3. Ejaan dan tanda baca pada naskah narasi
  4. Vokal dan akting pada pembacaan narasi
  5. Intonasi dan pelafalan pada pembacaan narasi
  6. Properti/Kostum pendukung pada pembacaan narasi

Kegiatan ini bisa dilakukan dalam waktu 4 x 40 menit durasi pelajaran. Lama pentas per kelompok cukup 5 menit saja. Respon yang saya dapatkan, mereka bilang minidrama ini seru dan asyik. 🙂

Belajar Lagi dari Ahmad Tohari

SAM_1148

Agak sulit saya menulis cerita panjang tentang pengalaman memandu acara Author Talk tanggal 1 Juni lalu. Itu hari yang terlalu menyenangkan. Jelas saja, bisa berbincang kembali dengan Ahmad Tohari yang terkemas dalam acara sekolah yang asyik. Jadi, yang akan saya bagi di sini adalah kesan-kesan utama saja.

Saya membuka sesi Bincang Pengarang itu dengan kalimat, “Terakhir kita mengobrol seperti ini tahun 2007 ya Pak, waktu saya nulis skripsi (Sensor Atas Karya Sastra). Sekarang, bahagia sekali saya bisa membawa Bapak untuk mengobrol santai lagi, tidak hanya dengan saya, tetapi juga dengan murid-murid saya…”

Saya lalu bercerita bahwa malam sebelumnya (31/5), kami (Heny, Roys, saya) menjemput Pak Tohari di Bentara Budaya Jakarta. Kami tidak tahu bahwa malam itu ada acara Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015. Kami juga tidak tahu bahwa cerpen pemenangnya adalah “Anak Itu Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari. Acara belum usai, ia justru buru-buru pulang dari acara dan ikut kami pulang ke Serpong. Saya tanya, “Mengapa Pak? Padahal Bapak bintangnya malam itu.” Beliau menjawab sederhana, “Saya sudah membuat janji dengan kalian akan menuju Serpong jam 9 malam. Ya, saya harus penuhi janji saya.” Teringat piala patung Nyoman Nuarta yang terbungkus kardus di jok belakang mobil jemputan saya malam itu, saya kembali mengejar, “Lalu, seberapa penting sebuah penghargaan untuk Bapak?” Jawabnya, “Saya tidak mengejar penghargaan. Tugas saya menulis. Jika kemudian ada yang memberi penghargaan, tentu saya apresiasi.”

Sebelumnya, acara sudah dimulai dengan pementasan drama fragmen novel Ronggeng Dukuh Paruk oleh kelas 11. Saya duduk di sebelah Pak Tohari persis, jadi saya bisa lihat dia senyum, tertawa pada adegan yang lucu, dan juga saat dia dua kali mengambil tisu untuk mengusap haru di matanya.

SAM_1054

Setelah pentas drama itu selesai, Pak Tohari dengan sigap langsung menuju panggung dan mengajak para pemain berfoto. Lalu, dia menghampiri para pemain, menyalaminya satu persatu dengan hangat.

SAM_1121

Kembali lagi ke sesi tanya jawab. Setelah menjawab satu dua, Pak Tohari memutuskan untuk berdiri. Penonton bertepuk karenanya. Mungkin Pak Tohari merasa ucapannya akan lebih terasa jika disampaikan dengan penuh karib. Ada banyak yang dia sampaikan, beberapa tentang hal-hal yang sudah saya ketahui sebelumnya dari wawancara dulu dan beberapa literatur. Satu yang sangat saya suka hari itu, dia mengajak murid (dan juga guru atau siapapun) untuk mulai menulis. Katanya: Tulislah kisah cinta yang cengeng, tidak apa-apa… Tulislah puisi cengeng, tidak apa-apa… Yang penting kamu mulai menulis…

SAM_1175

Malam sebelumnya, saya bilang padanya, besok ada sesi tanda tangan. Kalau Bapak nanti lelah, mungkin cukup beberapa buku saja. Saya bisa buatkan kuis, pemenangnya boleh minta tanda tangan Bapak. Namun, dia langsung jawab, tidak… saya akan tanda tangani semua bukunya selama saya bisa. Dan benar saja, setumpuk buku milik murid dan guru ludes dia tanda tangani semuanya.

SAM_1189

Ya, begitulah. Saya belajar banyak lagi dari lelaki ini. Seorang sederhana yang tak membela siapapun selain rasa kemanusiaan, ajaran Tuhan yang paling hakiki.

 

Lala Tak Lagi Sombong

Ini naskah drama pendek yang pernah saya buat dan saya sutradarai untuk pentas drama bulan Ramadhan di Sekolah Dasar. Cocok untuk belajar drama anak usia 6-10 tahun. 🙂

LALA TAK LAGI SOMBONG

Tokoh:
Narator, Lala, Ibu, Bapak, Ibu guru, Bapak guru, enam orang Teman

Layar dibuka. Semua pemain berada di posisi atas panggung.

Narator : Inilah kisah tentang Lala.
Seorang anak cantik jelita.
Sungguh beruntung nasib dirinya.
Sudah jelita, pandailah pula.

Lala : Lala lalala… Lala lalala…
Akulah Lala, si cantik jelita!
Wajahku manis seperti manggis.
Otakku pintar seperti Aljabar.

Narator : Saat di rumah bersama bapak ibu.
Lala terlihat sungguh angkuh.

(Lala berjalan menuju bapak ibu.)

Lala : Assalamu’alaikum, bapak dan ibu.
Inilah Lala putri cantikmu.

Bapak, Ibu: Wa’alaikumsalam, Lala anakku.
Ayo masuk dan tutup pintu.

Lala : Wahai Ibu, lihatlah aku!
Kian hari, kian cantik selalu.

Ibu : Kau memang cantik, anakku.
Maka bersyukurlah untuk itu.

Lala : Wahai bapak, lihatlah aku!
Kian hari, kian berilmu.

Bapak : Kau memang pandai, anakku.
Maka bersyukurlah untuk itu.

Ibu : Jangan sampai kamu lupa.
Semua itu dari Allah Taala.
Bersyukurlah atas semua.
Dengan berdoa sepanjang usia.

(Lala berjalan ke tengah panggung.)

Narator : Lala juga seorang manusia.
Seringkali ia lupa.
Segalanya jadi sia-sia.
Jika ia lupa berdoa.

Lala : Lala lalala… Lala lalala…
Akulah Lala si cantik jelita.
Tak apalah kalau lupa berdoa.
Wajahku tak’kan jadi buruk rupa.

(Lala berjalan menuju bapak ibu guru.)

Lala : Assalamu’alaikum, bapak ibu guru.
Inilah Lala, murid pandaimu!

Bapak, Ibu guru: Wa’alaikumsalam, Lala.

Ibu guru: Ada perlu apa, Lala?
Bermainlah dengan teman-temanmu.

Lala : Saya malas main dengan mereka.
Mereka tak pandai seperti saya.

Bapak guru: Lala, jangan bicara begitu.
Mereka semua adalah temanmu.
Bodoh dan pandai sama saja.
Semua ciptaan Allah Yang Kuasa.

Lala : Ah, saya malas main dengan mereka.
Mereka tak cantik seperti saya.

Ibu guru: Lala, jangan sombong begitu.
Mereka semua adalah temanmu.
Cantik atau tidak sama saja.
Semua milik Allah Yang Perkasa.

(Lala berjalan ke tengah panggung.)

Narator : Lala oh Lala…
Semakin sombong saja dia.
Dengan penuh keangkuhan.
Ia menemui teman-teman.

(Lala berjalan menuju kelompok teman.)

Teman 1 : Hey, kita main kucing dan tikus, yuk!
Teman 2 : Ayo! Aku jadi kucingnya, ya!
Teman 3 : Iya. Aku jadi tikusnya, ya!

Lala : Aku ikut main, ya!
Tapi aku harus jadi kucingnya.
Karena aku paling cantik.
Aku tak mau jadi tikusnya.

Teman 2 : Ah, sombong sekali kamu!
Siapa saja boleh jadi kucingnya.

Teman 1 : Iya, betul itu.
Kalau kamu gak mau, ya sudah
gak usah ikut saja.

Teman 3 : Iya, main sama yang lain saja.

(Lala kesal. Ia berjalan menuju kelompok teman yang lain.)

Teman 4 : Oke, kita main bola ya sekarang!
Teman 5 : Oke, aku jadi strikernya, ya!
Teman 6 : Tapi kita masih kurang orang, nih!

Lala : Hey, aku ikut ya!
Teman 4 : Boleh. Kamu bisa main bola, kan?
Lala : Aku belum pernah sih. Tapi aku pasti
bisa, aku kan pintar.
Teman 5 : Wooo, sombong sekali kamu!
Kamu harus berlatih untuk bisa main
bola.
Lala : Ah, gak usah latihan aku juga bisa.
Aku kan jago!
Teman 4 : Wooo, memang sombong kamu ya!
Kalau mau jago bola, kamu harus
banyak berlatih dulu.
Teman 6 : Udahlah, kita cari teman-teman yang
lain aja yuk!
Teman 4,5: Iyalah! Yok!

(Lala kesal. Ia kembali ke tengah panggung.)

Lala : Kenapa gak ada yang mau main denganku ya?

Narator : Lala bersedih hati.
Ia bingung sekali.
Mengapa tak ada yang mau main
dengannya?
Padahal ia pandai dan cantik jelita?

Tiba-tiba,
Lala mendengar suara ibunya.
Lala mendengar suara bapaknya.
Lala mendengar suara ibu gurunya.
Lala mendengar suara bapak gurunya.

(Ibu, Bapak, Ibu Guru dan Bapak Guru, berada di sisi panggung, seperti bersuara dari awang-awang.)

Ibu : Ingat-ingat, Lala.
Bersyukur atas apa yang kau punya.

Bapak : Ingat-ingat, Lala.
Semua makhluk milik Allah Taala.

Ibu guru: Ingat-ingat, Lala.
Orang sombong tak disukai teman.

Bapak guru: Ingat-ingat, Lala.
Orang sombong tak disukai Tuhan.

Narator : Ingat-ingat, Lala.
Tak ada makhluk yang sempurna.

Lala : (menutup muka sejenak)

Ohh, jadi itulah sebabnya.
Mengapa aku tak berteman.
Ohh, maafkan aku wahai semua.
Mengapa aku menjadi alpa.

Sekarang ini aku berjanji.
Aku tak akan sombong lagi.

Narator : Itulah kisah tentang Lala.
Seorang anak cantik jelita.
Sungguh baik sikap hatinya.
Sudah jelita, tak sombong pula.

Layar tertutup. SELESAI.

Simbah

Saat cemas menunggu kabar dua orang kawan saya yang menjadi relawan di Merapi, saya menuliskan drama ini. Secara kebetulan, drama ini kemudian dipentaskan di acara sekolah untuk donasi Merapi. Drama singkat ini lalu dimainkan oleh murid-murid kelas 8. Apresiasi mereka apik. Penonton pun baik. Melalui cara lelang, drama ini mengumpulkan donasi yang lumayan besar dari orangtua murid.

Saya menuliskan naskah ini dalam cemas dan berselubung misteri. Maka yang tercipta ternyata kisah misteri pula. Ya, hidup itu kan memang misteri?

SIMBAH

Suasana di sebuah posko pengungsi bencana Gunung Merapi. Siang hari penuh debu. Tampak banyak orang beristirahat. Beberapa orang menahan sakit. Mereka berusaha melepas kecemasan.

Di sudut ruangan, seorang petugas jaga sibuk di meja. Seorang relawan datang terburu-buru ke arahnya.

Relawan     :    Masih ada satu!

Petugas      :    (kaget) Apa?

Relawan     :    Ya, masih ada satu di Cangkringan!

Petugas      :    Satu apa? Coba bicara yang jelas.

Relawan     :    Masih ada satu orang tertinggal di Cangkringan.

Petugas      :    (kaget lagi) Lho, bagaimana bisa?

Relawan     :    Ya, dia tertinggal. Lebih tepatnya, sengaja meninggalkan diri.

Petugas      :    (bangkit berdiri) Coba kamu tenang. Lalu coba jelaskan.

Relawan     :    Ya, aku baru dapat info tadi. Ada seorang nenek yang tertinggal di desa itu. Aku tahu langsung dari cucunya.

Petugas      :    Keluarganya ada di sini?

Relawan     :    Ya. Mereka mengungsi dua hari lalu. Satu bapak, satu ibu, dan satu anak kecil. Aku nggak sengaja ngobrol sama mereka. Lalu anaknya yang kecil itu bilang, simbahnya masih ada di Cangkringan.

Petugas      :    Lho, waktu mereka ngungsi, apa simbah itu ndak diajak?

Relawan     :    Itulah. Kata mereka, ndak mau.

Petugas      :    Hmm… (berpikir)

Relawan     :    (tidak sabar) Gimana? Kita harus samper, kan? Aku akan minta tim SAR balik ke sana. Siang ini.

Petugas      :    Tapi di sana masih bahaya. Tadi aku dapat info sore ini mungkin awan panas turun lagi.

Relawan     :    Berarti kita harus cepat!

Petugas      :    Hmm, baik. Nanti aku coba koordinasi dulu dengan tim. Coba kamu tanya dimana rumah simbah itu. Minta anaknya ikut.

Relawan     :    Ya! (beranjak pergi cepat)

Petugas      :    (mengerutkan dahi, bingung sendiri) Hmm, aneh, kenapa dia ndak mau ngungsi?

 

Sang relawan berjalan terburu-buru menuju seorang ibu yang sedang memijat suaminya. Mereka terlihat lelah. Mereka tidak sadar ada seseorang yang datang.

Bapak         :    Menil tadi kemana?

Ibu              :    Lha kan tadi diajak sama mbak-mbak. Bajunya merah. Diajak belajar katanya.

Bapak         :    Hoo… Yaa…

Relawan     :    Permisi, Pak, Bu.

Bapak         :    (menengok) Ya? Eeeh, mas.

Relawan     :    Ya, Pak. Kita harus ke rumah Bapak sekarang.

Bapak         :    Sekarang?

Relawan     :    Ya, mumpung masih bisa.

Bapak         :    Tapi saya ndak bisa ajak. Pokoknya Mas saja yang ajak. Saya ndak bisa.

Relawan     :    Iya, Pak. Saya akan ke sana dengan tim siang ini. Bapak ikut untuk kasih tau jalan. Bisa kan, Pak?

Bapak         :    (menghela napas berat) Bukan saya ndak mau, Mas. Tapi saya memang ndak bisa. Saya ndak bisa maksa ibu saya. (istri mengangguk-angguk)

Relawan     :    Tapi ini demi kebaikan bersama. Biar saya yang urus.

(Bapak menatap ibu. Ibu mengangguk memberi isyarat.)

Bapak         :    Yo wis, Mas.

Relawan     :    (tersenyum) Mari, Pak.

(Relawan dan Bapak berdiri, lalu pergi.)

 

Waktu berlalu. Siang hari. Suasana sepi. Desa Cangkringan tampak seperti desa mati. Semua tampak pucat, putih, dan tidak berdaya. Rumah-rumah tertutup abu tebal. Beberapa pohon tampak tumbang. Tidak terdengar suara apapun.

SAR 1         :    (sambil melihat ke arah kaki) Masih panas!

SAR 2         :    Ini sudah mending ketimbang kemarin.

SAR 3         :    Sepatuku mulai meleleh.

SAR 2         :    Masih untung pakai sepatu.

SAR 1         :    Dimana simbah itu?

SAR 3         :    Kita sisir hutan.

(terus berjalan mencari-cari)

Relawan     :    Biasanya kemana, Pak, kalau siang begini?

Bapak         :    Ngangon kambing. Atau cari kayu. Lha tapi kalau begini, ndak tau juga saya.

Relawan     :    Rumah kosong. Sekitar halaman nggak ada.

Bapak         :    Koyo’e di hutan. Biasanya cari-cari di sana, Mas.

Dari kejauhan, mereka melihat sesuatu. Salah seorang dari mereka berteriak tiba-tiba.

SAR 1         :    Itu!

SAR 3         :    Mana? Ah, iya itu!

SAR 2         :    Itu bukan, Pak?

Bapak         :    Mana? Mana? Oh ya, mak! Mak! (berteriak)

Mereka berjalan bergegas. Terlihat seorang nenek tua kaget melihat rombongan datang.

SAR 3         :    Simbah! Dari mana, Mbah?

(mendekat dan berusaha menggandeng)

SAR 2         :    Ayo, Mbah. Turun. Wes ra aman di sini.

Simbah       :    Emoh! (ketus)

SAR 1         :    Nanti selak weduse turun lagi, Mbah. Simbah harus ngungsi sekarang. Ben slamet. Ayo, Mbah.

Simbah       :    Emoh!!!

Relawan     :    Simbah, ini ada Pardi. Ayo, Mbah, turun. Kalau di sini bisa nggak selamat nanti.

Simbah       :    Emoh!

SAR 2         :    (merayu, sambil mencengkeram tangan Simbah ) Tapi Simbah harus turun. Nanti boleh balik lagi kalau sudah aman. Ayo, Mbah.

Simbah       :    Emoh! Emoh!

 

Tim SAR memaksa Simbah untuk dievakuasi. Simbah meronta-ronta, kukuh menolak untuk pergi dari desa. Dua orang memegang tangannya, menggiringnya ke dalam mobil. Relawan dan Bapak mengikuti dengan cemas.Mereka berjalan menuju mobil.

SAR 2         :    Sudah, Simbah aman di sini. Kita turun sekarang.

Simbah       :    Kulo sibuk! Kulo sibuk!

Relawan     :    Sibuk apa, Mbah?

Simbah       :    Among tamu!

Relawan     :    Among tamu? Terima tamu?

SAR 2         :    Tamu siapa? Sudah ndak apa orang di sini, Mbah.

Simbah       :    Simbah among tamu. Masih rame dari Atas.

Relawan     :    Atas? (bingung)

Simbah       :    Kulo harus balik! Tamune banyak.

SAR 2         :    Ya, Mbah. Nanti.

Relawan     :    (bertanya pada SAR 2) Terima tamu siapa?

Relawan masih bingung dengan keterangan Simbah tadi. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba datang. Siapa tamu dari atas yang dimaksud Simbah? Relawan memperhatikan wajah kukuh Simbah. Ada keyakinan dalam wajah tua itu.

Bapak         :    Mas?

Relawan     :    Ya, Pak?

Bapak         :    Jangan dipikirkan.

Relawan     :    Among tamu.Terima tamu siapa maksudnya?

Bapak         :    Sudah Mas. Ndak usah dipikirkan. Makanya, saya ndak bisa maksa dia.

Relawan     :    (mengerutkan dahi) Kenapa?

Bapak         :    Mas, Emak saya ndak waras!

Relawan     :    Ooh!

Mobil terus melaju meninggalkan desa itu. Tidak ada suara apapun, kecuali deru mobil menggilas debu. Desa itu makin sepi. Tanpa penghuni.

 

Selesai