Pendidikan Seks Lewat Sastra

Kaget. Hari ini masih ada guru yang nggak mau menyinggung topik seksualitas di kelas. Padahal tujuannya untuk pendidikan. Lagipula ini topik yang tak terhindarkan. Ayolah, remaja bisa akses topik itu di media sosial. Dari line today sampai lambe turah. Jadi daripada sembunyi baca tak terarah, kan lebih baik didiskusikan di kelas bersama orang dewasa?

Untung masih ada kelas sastra ya. Kita bisa diskusi topik apa saja dalam metafora bahasa. Seperti hari ini, aku dan murid bahas cerpen tentang topik kemiskinan Jakarta yang bikin perempuan sampai jual diri, lalu murid nyeletuk membandingkan dengan kasus prostitusi artis VA yang lagi rame itu.

Guru sudah seharusnya bisa menyambungkan materi ajar dengan konteks kehidupan sehari-hari. Jadi murid paham, buat apa sih aku capek-capek baca novel tebal, atau buat apa sih aku kerjakan soal-soal trigonometri yang susah ini. Murid bisa kita ajak untuk punya bayangan bagaimana teori pelajaran itu berfungsi di dunia nyata. Dari cerpen “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari yang sedang kupakai di kelas 11 ini misalnya, murid bisa kita ajak diskusi, mengapa bisa ada kemiskinan di ibukota, mengapa ya ada perempuan yang menjual berahi demi makan sehari-hari, mengapa juga ada artis yang sudah kaya tapi masih menjual berahi juga? Nah, dari teori sastra yang ada, siswa menganalisis, lalu kemudian mencari apa fungsi analisis itu buat mereka. Misalnya dari analisis tokoh, kita tahu bahwa ternyata si tokoh juga enggan melacur. Atau misalnya, meskipun tokoh abai pada moralitas dari pelacur, setidaknya dia menjaga moralitas di sisi lain. Si tokoh mengembangkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dari analisis itu kita dapat memahami maksud cerita, kemudian memahami bahwa kehidupan sekejam itu, lalu bisa ambil amanat buat kehidupan kita sendiri. Lebih jauh lagi, guru juga bisa ajak murid memikirkan untuk menciptakan solusi atas masalah itu.

Sekali lagi, guru harus bisa mengajak murid memahami teori pelajaran dan bagaimana fungsinya dalam dunia nyata. Misalnya, guru fisika minta murid untuk kerjakan satu rumus, lalu bilang nah itu salah satu hitungan yang digunakan untuk membangun jembatan lho. Simpel, kan? Tapi yang simpel ini sering kali lupa guru sampaikan. Guru sering asyik dengan teori saja, kerjakan latihan-latihan saja. Atau bahkan mungkin gurunya yang enggan jelaskan kaitan semua teori itu dengan dunia nyata?

Ini pengingat buat kita semua wahai guru, nggak usah takut bahas topik apapun dengan siswa, termasuk topik seks. Bahas aja dengan SERSAN, serius tapi santai. Yakin deh, kelas akan jadi asyik, pelajaran tetap masuk di hati.

Belajar Tsunami di Inamura-no-Hi no Yakata

Sedih banget waktu dengar kabar ada tsunami di Palu. Iya, seperti yang sudah kutulis di postingan sebelumnya, beberapa bulan lalu aku main ke Jepang dan belajar tentang tsunami di sana. Makanya jadi sedih banget pas dengar ada tsunami lagi di Indonesia.  🙁

Di Jepang kemarin, aku beruntung bisa berkunjung ke Inamura-no-Hi no Yakata Hamaguchi Goryo Archives and Tsunami Educational Center di Hirokawa, Wakayama. Siapa itu Goryo? Dia adalah seorang lelaki yang kisahnya menginspirasi United Nations untuk menjadikan tanggal 5 Nov sebagai Tsunami Awareness Day.

Hamaguchi Goryo dan Kisah Inamura-no-Hi

Alkisah pada tahun 1854, Jepang (Kota Hiromura) dilanda gempa besar yang dikenal dengan nama gempa Ansei Nankai. Gempa itu memicu tsunami. Hamaguchi Goryo ini menyerukan warga untuk menyelamatkan diri ke tanah yang lebih tinggi.

Namun, masih banyak warga yang belum juga tiba di lokasi aman. Maka Goryo berinisiatif membakar inamura (daun padi/jerami) agar jadi petunjuk bagi para korban menuju lokasi aman. Inamura ini berhasil menyelamatkan nyawa orang-orang dari bencana tsunami itu.

Di kemudian hari, Goryo melontarkan ide untuk membangun tembok laut di desanya. Panjangnya 600 meter, lebarnya 20 meter, dan tingginya 5 meter. Semua warga desa bahu-membahu membangun tembok pengaman tsunami itu. Dengan dana pribadinya, Goryo membiayai pembangunan tembok laut itu. Sejak saat itu, tembok laut itu telah meminimalisasi dampak tsunami yang menyerang kota.

Kisah Goryo ini memberi kita pelajaran tentang kesiagaan menghadapi bencana. Kisah ini juga disebarkan di buku pelajaran anak SD Jepang di masa dulu.

Di Museum itu aku dapat beberapa pelajaran. Misalnya:

– ortu dan anak haruslah bersama-sama menyiapkan survival kit. Bentuknya tas yang gampang diambil kilat saat gempa terasa di rumah. Menyiapkan bersama ini penting banget karena semua anggota keluarga sadar apa yang harus dipersiapkan saat bencana terjadi.

– ortu dan anak sama-sama berjanji untuk menyelamatkan diri sendiri langsung di mana pun sedang berada. Jangan tunggu-tungguan. Langsung ke muster point atau titik aman. Ini penting untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat terlalu lama saling mencari hingga kurang waktu untuk menyelamatkan diri sendiri.

– edukasi siaga bencana itu dilakukan sejak dini. Anak-anak TK udah sering dilatih drill gempa. Dan terus dilakukan saat SD SMP SMA. Anak jadi terbiasa dan tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan ada juga drill yang dilakukan lingkungan, kayak per RT gitu. Bagus banget deh, semoga Indonesia bisa coba juga ya mulai latihan evakuasi serius per lingkungan macam itu.

Beberapa foto informasi tentang museum tsunami itu bisa dilihat di bawah ini ya.

I love this idea. Make an icon, a hero, so kids would love to learn more about the topic.

They have this audio visual room. We use 3d glasses to watch two short film about tsunami.

Silakan juga tengok website mereka di: Tsunami Educational Center.

 

Belajar di Wakayama Jepang

Ini tulisan khusus buat yang nanya kenapa aku kemarin ke Jepang. Iya, ke Jepang kemarin dalam rangka kerja. Aku bertugas menemani murid yang jadi perwakilan Indonesia dalam Asian and Oceanian High School Students’ Forum 2018. Acaranya tanggal 24-28 Juli. Tapi aku di Jepang dari 23-30 Juli, karena ada bonus jalan-jalan di Wakayama, tempat forum ini berlangsung.

Enak ya kerja sambil main? Iya, alhamdulillah banget aku dapat kesempatan ini. Bisa kenalan dengan negeri matahari terbit dan guru-guru dari 20 negara peserta, belajar banyak budaya baru, juga berkunjung ke situs andalan daerah Wakayama. Dan semuanya dibiayai oleh pemerintah Jepang! Big thanks to the organizers: Wakayama Prefectural Government, Wakayama Prefectural Board of Education, Organizing Committee of the forum, and ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia).

Discussion and Cooperation with the World

Acara ini pada dasarnya mengajak murid-murid untuk berdiskusi. Meskipun kadang diskusi agak tersendat karena kendala bahasa (ada beberapa yang tidak menguasai bahasa Inggris, baik murid ataupun guru), acara ini menurutku tetap sukses membuat murid-murid usia 15-18 tahun ini bisa saling berbagi ide.

Ada empat tema diskusi yang dibahas di forum ini, yaitu: measures against tsunami and other disasters, environmental issues, tourism and culture, and education. Indonesia yang diwakili oleh murid Binus School Serpong, Kayla Anasya Afriandy, kebagian membahas tsunami. Jadi Kayla bergabung bersama murid dari negara-negara lain membahas topik itu dalam sectional meeting dan general meeting. Ohya, di awal saat opening ceremony, Kayla juga presentasi tentang budaya Indonesia.

Menarik banget deh dengar presentasi perkenalan budaya dari tiap negara. Materinya sebetulnya banyak yang sudah aku tahu karena mudah ditemukan di google, tapi tetap menarik karena dibawakan oleh anak murid dari negara masing-masing itu, dengan bahasa Inggris campur logat khas dan seragam sekolahnya yang bermacam-macam. Nih kusebutkan semua ya berdasarkan abjad. Australia, Brunei Darussalam, Cambodia, China, Hong Kong, India, Indonesia, Republik of Korea, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, New Zealand, Philippines, Singapore, Taiwan, Thailand, Turkey, Vietnam. Juga ada murid-murid dari enam prefecture di Jepang: Miyagi, Kanagawa, Aichi, Osaka, Nagasaki, Wakayama.

Di bagian sectional meeting, setiap murid mempresentasikan hasil riset mereka. Ada moderator siswa dan moderator guru (keduanya dari Jepang) dan setiap peserta lain dalam grup itu boleh bertanya. Penonton (guru dan murid-murid undangan dari SMA sekitar) juga dipersilakan bertanya, walau ternyata lebih banyak yang diam saja. Sekali lagi, kendala bahasa.

Dari sectional meeting per grup discussion itu, mereka berdiskusi lagi membahas pertanyaan yang diajukan moderator. Misalnya, grup Tsunami A berdiskusi tentang “apa yang bisa dilakukan kita semua sebagai komunitas untuk mengatasi bencana alam?”

Hasil diskusi ini kemudian dibawa ke General Meeting yang diadakan di Cultural Hall Wakayama City. Siswa per grup duduk di panggung dan menyampaikan ide-idenya. Siswa dari kelompok lain menyimak dan boleh juga bertanya atau berkomentar. Diskusi ini juga disimak oleh peserta satu hall, siswa dan guru SMA Jepang dan bapak ibu undangan. Ada juga konsulat Indonesia yang hadir, dan sempat ngobrol dan berfoto bareng juga.

Acara ditutup dengan Reception bersama governor Wakayama. Semua sibuk ngobrol dan makan-makan, tapi aku sibuk dandanin Kayla karena Indonesia jadi salah satu performer di stage resepsi. Ada anak Myanmar nyanyi, ada anak Filipina dan Mongolia main musik. Sementara Kayla nari Yamko Rambe Yamko Papua. Wooo… langsung dong dia jadi artis. Kuturut bangga sebagai guru yang ngajarin narinya. 😁

Homestay with Japanese Family

Dari pengakuan Kayla dan juga suasana yang aku rasakan, acara ini sukses menyatukan para peserta murid. Anak-anak dari berbagai negara ini langsung kelihatan akrab. Mungkin memang batch 2018 ini kebetulan anak-anaknya klik banget, kenalan trus bisa langsung hangout bareng ketawa ketiwi sampai dini hari. Jangankan mereka ya, aku aja udah langsung friend dengan beberapa murid Jepang di Instagram!

Highlight yang aku salut banget dari forum ini adalah kegiatan homestay. Jadi, murid dari 20 negara ini menginap satu hari di rumah murid Jepang. Pagi hari orangtua murid Jepang itu menjemput di hotel, lalu murid asingnya diajak jalan-jalan ke Donki atau Aeon Mall, lalu makan dan tidur di rumah mereka. Kayla muridku diajak masak barbekyu dan main kembang api oleh anak Jepang host family-nya. Besoknya pas perpisahan, Kayla dibekali banyak banget oleh-oleh dan jajanan Jepang. Ibu host family sampai nangis pas berpisah. Aku yang kebagian ceritanya aja ikut senang lho dengan part ini. Keren!

Sementara itu, guru-guru juga dapat waktu jalan-jalan. Kuceritakan di post berikutnya aja deh yaa! 😁

 

 

 

Wisata Sastra yang Memperkaya Jiwa (2)

Aku lanjut ya cerita di hari kedua, Jumat 23 Maret 2018. Cerita hari pertama bisa kamu baca di sini.

Gedung Agung dan Benteng Vredeburg

Tahun lalu pas survei, aku cuma bisa berfoto di depan gerbang luar. Akhirnya kesampaian juga foto di halaman istana presiden Yogya alias Gedung Agung ini. Di pos pengamanan, kami diminta menitipkan tas. Ponsel dan kamera boleh dibawa, tapi hanya bisa dipakai memfoto area luar istana. Oya, harus berpakaian sopan atau formal ya.

Kami dipandu oleh petugas berpakaian batik. Dia menunjukkan ruangan mana yang dipakai Panglima Soedirman menghadap Soekarno, saat minta izin pergi gerilya. Dulu gedung ini adalah tempat tinggal Soekarno. Merinding rasanya membayangkan waktu Agresi Belanda 1948 Teto dan pasukannya datang dan menangkap Soekarno Hatta di situ.

Kami lalu diajak melintasi ruangan yang dipakai presiden bekerja. Pintunya disegel lambang “secure”, tanda bahwa ruangan itu telah diamankan. Kami lihat juga ruang makan presiden dan tamu negara, sambil bayangkan Pak Jokowi pesan oseng-oseng mercon. :))

Di Museum Istana Yogyakarta, kami lihat lukisan koleksi presiden yang harganya miliaran. Persis di tangga menuju lantai dua ada lukisan Nyai Roro Kidul karya Basuki Abdullah yang kayaknya ngeliatin kita gitu. Huhuu. Ada banyak juga karya pelukis Raden Saleh, Dullah, Affandi, Sudjojono, dll.

Dari Gedung Agung kami ke Benteng Vredeburg, lihat-lihat diorama situasi Agresi Militer 2. Pokoknya aku cari-carilah semua yang ada hubungannya dengan Teto dan Atik. Nggak lama kami di situ, karena harus makan siang dan menuju…

Akademi Angkatan Udara

Cuss kami ke lokasi Teto mendarat dengan Dakota saat menyerang Jogja. Lapangan Meguwo. Sekarang ada Akademi Angkatan Udara di sana.

Aku nggak menduga ternyata kami diterima dengan formal oleh pihak AAU. Dan… ada taruna taruni juga. Langsunglah murid-murid diajak ngobrol taruni dan taruna, sementara menunggu rombongan sekolah dari Jambi yang juga akan datang.

Rupanya kunjungan sekolah dari Jambi itu adalah university trip. Makanya kakak taruna taruni menjelaskan tentang cara masuk AAU dan kehidupan kampus. Beda dong ya dengan tujuan wisata napas tilas sastra kami. Maka aku nekatlah bertanya kayak di foto ini. Maunya sih nanya “Kak Taruna boleh pacaran nggak?” atau “Itu kakak ngegym apa bisa perutnya singset dan pantatnya bulet?”. Tapi ya karena acaranya formal makanya aku nanya “Bisa diceritakan nggak kisah Lapangan Meguwo ini waktu Agresi Militer Belanda? Atau adakah materi pelajaran sejarah AU terkait ini?” Sayangnya… pak komandan langsung ambil alih, taruna taruni lagi persiapkan jawaban padahal. Baiklah.

Eh tak kuduga tak kusangka. Rupanya ada dua kakak taruna yang antarkan kami pulang sampai gerbang depan. Mereka naik ke bus kami, sambil memandu lihat-lihat kompleks. Sekalianlah aku tanya-tanya: Posisi AU Indonesia dibanding luar negeri gimana? Taruna boleh makan indomie nggak? Maksudnya 3M (Militer, Mahasiswa, Model) itu apa? Kalau lagi pelesir main ke mal juga? Karena kakaknya ganteng makanya muridku (ciwiciwi) anteng dan nyimak. Heuu. Di ujung gerbang, mereka menutup sambil kasih tau… akun Instagram mereka. Yeah, kami pun follow berjamaah. 😁

Hari berikutnya aku disiram berkah di Sekolah Mangunan. Ceritanya menyusul di part 3 yaa!

 

Wisata Sastra yang Memperkaya Jiwa (1)

Serius. Wisata sastra Burung-Burung Manyar yang kemarin kulakukan benar-benar memperkaya jiwa. Sejak awal, perjalanan ini sudah jadi mimpi kami, para guru Bahasa Indonesia pencinta sastra. Kami bahkan mensurvei lokasi di akhir tahun 2017, seperti yang kutulis di  sini (klik ya untuk curi ide itinerary-nya). Makanya puji Tuhan akhirnya Miss Heny dan Mr. Roys jadi mewujudkan trip ini, dan aku diculik serta untuk ngangon murid. :))

Akademi Militer Magelang

Pada dasarnya aku suka mempelajari kasus-kasus sejarah yang berurusan dengan militer. Makanya aku antusias dengan sekolah yang mendidik tentara ini. Di dalamnya kami dibawa keliling kompleks dan museum. Kami akhirnya melihat bukti seragam papi Teto waktu sekolah di Akademi Militer Breda Holland. Kayak ini.

Lihat koleksi seragam, tanda pangkat, alat musik, tempat tidur taruna, foto-foto taruna terbaik, patung Gatot Soebroto yang konon katanya satu-satunya tentara Indonesia yang berjenggot, foto-foto jenderal (yang paling gede adalah foto SBY), dan yang terkeren adalah lihat koleksi senjata (termasuk senjata berlapis emas).

Seorang murid bertanya padaku. Dari info yang kami dapat, seorang tentara bisa mencapai pangkat tinggi haruslah melalui “sekolah” atau pendidikan tambahan lagi. Lalu, gimana dengan yang nggak bisa lanjut, atau sebetulnya cerdas tapi tidak ada peluang untuk naik pangkat? Bisa jadi akan stuck di suatu posisi belasan tahun, dong? Ya… nyatanya begitulah. Ada juga yang mungkin pintar cari koneksi hingga akhirnya bisa dapat pangkat tinggi. Kalau hitung-hitungannya uang, tentara rendahan banyak cerita sedihnya. Namun kalau diukur demi pengabdian pada negara, bisa jadi mereka cukup puas dengan apa yang mereka terima. Aku dan muridku itu berdiskusi panjang dan akhirnya kami keluar kompleks AkMil dengan perasaan haru.

Rumah Sakit Jiwa Kramat atau RSJ Soerojo

Masih di Kota Magelang, kami melipir ke latar tempat Marice, mami Teto, ditemukan. Kami diterima di aula dan diberi penjelasan tentang sejarah RSJ Prof. Dr. Soerojo lewat film hitam putih koleksi Belanda. Cerita menariknya bisa kamu baca di situs ini.

Petugas sekaligus perawat yang menerima kami juga bercerita. Zaman penjajahan Belanda dulu, pasien gangguan jiwa diobati dengan hydrotherapy, pasien dibungkus handuk basah, atau dicelup ke air hangat atau air dingin. Efektif menyembuhkan atau enggak, entah. Coba baca ini deh: artikel tentang Charles Darwin coba terapi ini. Serem bayanginnya.

Kami kemudian diajak berjalan melihat-lihat bangsal perawatan. Sebelumnya kami diingatkan untuk tidak mengambil foto atau video demi privasi pasien dan keluarganya. Sebaiknya juga tidak mengumbar pegang ponsel, karena katanya suka ada pasien yang mau pinjam, kangen dengan keluarga yang jarang menjenguknya. 🙁

Sepanjang jalan kami melihat pasien yang dirawat di bangsal yang luas dan berteralis. Ada juga pasien yang berjalan-jalan di luar kamar bangsal, mengiringi kami jalan. Ini berarti dia pasien yang dianggap cukup bisa berinteraksi secara aman dengan orang lain. Murid-muridku sempat canggung dan takut juga mau bersikap gimana.

Kami mampir ke bangsal rehab, bertemu beberapa pasien yang menjalani konseling dengan perawat. Ada empat pasien ibu-ibu di sana dengan pemicu sakit yang berbeda-beda. Ada yang akibat gagal balik modal setelah usaha salak pondohnya jatuh harga, ada yang karena ditinggal mati anaknya. 🙁

Perawat di sana memperlihatkan langsung ke kami bahwa pasien gangguan jiwa kebanyakan tidak berbahaya. (Yang berbahaya juga ada, tapi mereka ditempatkan di bangsal khusus). Kita harus lebih bisa berempati, ajak mereka bicara, agar lebih cepat sembuh dan kembali hidup normal di masyarakat.

Pulangnya aku dan Miss Heny membeli prakarya buatan pasien. Ada topeng dan sarung bantal batik. Ada banyak lagi pernak-pernik lain sebagai bentuk terapi jiwa pasien. Aku juga sempat lihat alat-alat musik dan kostum tari. Rupanya pasien dan petugas juga sering pentas seni pertunjukan. Keren ya! Sekali lagi ini adalah wujud nyata moto RS ini: bersama menjadi bintang. Artinya pasien, perawat, dokter, dan semua petugas RS bersama-sama mewujudkan cita-cita pasien untuk hidup sehat jiwa raga dan bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan. ❤

Ini cerita hari pertama (Kamis, 22 Maret 2018). Cerita hari kedua boleh lho diklik di sini. 🙂

Ngomel Demi Kejujuran (Catatan Hardiknas 2017)

Suatu hari di kelas 10, kelas dimulai dengan pembicaraan seperti ini.

Murid: Miss, kita belajar apa hari ini?

Saya: Saya mau ngomel dulu.

Murid lain: Miss Arnel mana bisa marah. Eh, bisa sih marah, kalau lagi latihan nari.

Ya, jadi memang saya pada dasarnya tidak mudah marah lalu ngomel-ngomel. Namun, bukan berarti saya nggak bisa marah. Saya bisa marah juga, terutama pada hal-hal mendasar berhubungan dengan moral. Kalau pas latihan nari itu bukan marah sih, itu galak tegas aja, karena nari adalah sesuatu yang akan dipentaskan. Saya nggak mau pentas tari yang cuma 4 menit itu jelek dilihat nanti. :))

Akhirnya saya bilang di depan kelas 10 itu, apa yang membuat saya marah. Saya mulai dengan bahas bahwa mengapa selama ini guru selalu mengingatkan murid untuk bekerja dengan jujur. Tentu ada waktunya belajar bersama, diskusi, yang memang perlu bekerja sama. Tapi jika waktunya diminta bekerja mandiri, maka bekerjalah mandiri. Bentuk kerja mandiri itu ya dengan berusaha sendiri, menggunakan kemampuan untuk menganalisis dan mengkreasikan sesuatu sendiri.

Saya juga guru yang sangat menghargai usaha siswa yang telah bekerja jujur dan mandiri. Saya akan beri apresiasi lebih jika saya lihat murid mau berjuang menyampaikan ide dan pemikirannya. Makanya, saya marah betul ketika membaca salah satu tugas menulis puisi buatan seorang siswa yang saya tahu betul itu bukan karya dia.

Saya lanjut mengisi kelas yang hening dan kaget karena melihat gurunya ini nahan geram. (Iya, saya nggak bisa ngomel merentet, paling cuma ketus jatuhnya, hehee). Saya jabarkan mengapa menyontek atau plagiarisme itu sangat menyepelekan beberapa hal.

1. Plagiarisme itu menyepelekan sekolah dan guru. Pelaku seolah meremehkan sekolah yang sudah berusaha mendidik dengan beragam moral value, tapi dia seolah malah menganggap remeh niat memupuk nilai-nilai baik itu. Lalu, dia juga seolah meremehkan guru yang dianggap mudah dibodohi dengan karya palsunya. Seorang guru bahasa bisa dengan mudah lho melacak apakah benar ini karya si murid atau bukan. Guru ‘kan tahu gaya bicara si murid sehari-hari, gaya kalimat tulis dia, gaya dia merangkai kata, seberapa dalam analisisnya, seberapa cerdas pendapatnya, seberapa banyak koleksi diksi yang dia sampaikan. Jadi ketika suatu waktu ada murid yang mengambil karya puisi orang lain di internet, dan gaya bahasanya jauuuh dari kemampuan si murid, ya gampang banget ketahuanlah.

2. Plagiarisme itu menyepelekan kerja orang yang ditiru. Membuat puisi itu tidak mudah lho (dia pasti ngerti itu tidak mudah makanya dia cari cara mudah dengan mengkopi). Penyair membuat karya dengan pengetahuan dan hatinya. Maka ada hak cipta yang sudah menjadi miliknya. Dan sudah sewajibnyalah kita menghargai hak itu.

3. Yang paling penting, plagiarisme itu menyepelekan diri sendiri. Dia menyepelekan kemampuan berpikirnya sendiri. Dia tidak percaya bahwa otaknya mampu bekerja. Dia menganggap dirinya makhluk sepele yang tidak bisa menyusun kata-kata sendiri. Wah, ini sangat bahaya! Pikiran yang tidak boleh dipupuk. Karena kalau disetujui, itu akan semakin merendahkan kepercayaan pada diri sendiri.

Kejadian ini jadi pelajaran lagi buat saya. Bahwa mendidik bukan sekadar mengajar. Iya, bukan sekadar ngomel. Mendidik harus memberikan pemahaman. Mendidik itu juga membangun hati manusia dan merawat jiwa baik yang ada di sana.

 

Oya, SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!

– Dari guru kece yang terus belajar

Karya Farah Hafizah, kelas 10, 2017

 

Kita Bisa Asalkan Mau

Kayaknya selalu deh setelah kegiatan nari aku membuat refleksi “semua orang bisa mempelajari sesuatu asalkan MAU”. Yaa gimana enggak, setiap kali ada proyek nari di sekolah, hal ini pasti selalu terbukti.

Dua minggu lalu aku dikasih tugas Pak Level Head untuk mengurus murid kelas 10 mementaskan satu tarian dengan lagu mandarin untuk acara Chinese New Year 2017. Aku akhirnya colek beberapa murid yang sudah pernah menari sebelumnya di acara lain. Tapi ternyata ada anak-anak lain yang bilang MAU ikutan. Jujur, pikiranku waktu itu picik banget (maafkan saya ya…). Aku sempat berpikir dalam hati: Hmm, apa kamu bisa, gerakan kamu kaku banget gitu? Apa kamu bisa, kan kaki kamu flat feet? (FYI, dia nggak bisa jongkok). Badan kamu besar, apa bisa nari lincah? (Mungkin ini karena aku pernah punya murid yang kegemukan sampai nggak bisa jinjit).

atas: Hellena, Alya, Diani, Callista       bawah: Khalisha, Danella, Akiela, Metari (Grade 10 – 2017)

Lalu aku ingat, apa sih yang nggak bisa kita lakukan asalkan ada kemauan? Lagipula setelah ngobrol aku baru tahu bahwa ternyata anak-anak ini punya pengalaman nari sebelumnya, pernah nari Ratoh Jaroe dan Panji Semirang. Malu aku pernah berpikir nggak adil. Aku kubur prasangka negatif dan mulailah kami berlatih. Total cuma tiga kali pertemuan. Setiap latihan direkam dalam video, share di line group, jadi mereka bisa buka ulang dan periksa mana gerakan yang masih harus diperbaiki. Selebihnya aku minta mereka latihan sendiri di rumah dan minta mereka bayangkan sampai masuk ke dalam mimpi.

Drama kecil jelang hari H

Pas GR sehari sebelum hari H, ada drama kecil. Satu penari sakit. Aku lumayan cemas karena kalau dia tidak bisa datang di hari H, berarti pola lantai tariannya akan berbeda. Artinya harus berubah lagi. Artinya harus penyesuaian lagi. Akhirnya waktu GR, aku rekam video mereka dan jadinya anak yang sakit itu bisa belajar blocking di rumah. Dan… thank God, dia bisa datang di hari H.

Yang penting mau

Pentas nari 4 menit itu terjadi juga. Ada kesalahan minor sih, tapi buatku itu gapapa banget mengingat latihan yang cuma tiga kali itu. Dan yang penting, mereka mau dan mereka bisa! Terutama anak-anak yang sempat kuragukan dalam hati itu, mereka mematahkan pradugaku (so proud of you, girls! ❤). Kalau waktu latihan bisa lebih lama, aku yakin deh mereka bisa persembahkan yang jauh lebih bagus.

Jadi sekali lagi aku harus garis bawahi: Mempelajari atau melakukan apapun akan sangat asyik dijalani kalau kita MAU dan NIAT. Juga ingat lagi apa kata PAT: Adil sejak dalam pikiran.

Our mirror selfie after perform :)) Thank you so much for “the lesson” :*