Saya ingat, pertama kali mengenal Brilliant Yotenega pada tengah tahun 2011 di Obsat. Ia terlihat sebagai orang yang tenang dan percaya diri. Saya diberitahu teman bahwa ia mendirikan nulisbuku.com, sebuah perusahaan online selfpublishing. Ia tampak tertarik dengan saya. Dugaan saya, karena dia tahu saya guru yang tentunya punya banyak murid, saya berpeluang untuk bekerja sama dengannya terkait penulisan buku. Namun, rupanya ada hal menarik lain yang membuatnya tersenyum terus. Ada nama anaknya dalam nama saya: Arne.
Sejak itu sesekali kami berbincang di chat media, membicarakan kemungkinan penerbitan buku untuk murid saya. Sayang, sampai sekarang belum juga terwujud. Lalu tiba-tiba 2013 ini, saya lihat di twitter, Ega (begitu ia biasa disapa) menerbitkan buku. Segera saya kontak, ingin memiliki buku itu. Rupanya memang ia begitu baik, ia malah memberikan cuma-cuma pada saya.
In The Eye of The Storm rupanya adalah kisah hidup Ega, persisnya kisah kebangkrutannya. Membaca buku kecil ini cukup menyenangkan rasanya. Saya kan tak tahu banyak tentang Ega, jadi membaca buku ini rasanya seperti dipercayakan untuk mendengar curhat Ega langsung. Persis dalam sekali pertemuan, saya jadi tahu badai apa yang menyulitkan hidup Ega di awal pernikahannya.
Mulanya saya merasa, di buku ini Ega agak melebih-lebihkan penderitaan yang ia alami. Di awal menikah, ia bangkrut dan jadi pengangguran. Tapi ia masih punya mobil, masih bisa sewa kos 2,1 juta per bulan. Info itu sontak mengganggu saya. Menurut saya itu belum menderita amat. Saya yang tak punya mobil dan sewa kos sepertiga uang kos Ega, masih tidak merasa menderita. Sekarang pun saya sedang di masa awal pernikahan, dan suami saya tidak bekerja formal di kantor.
Saya tuntaskan buku itu. Lalu saya merenung. Hei, setiap orang kan punya penderitaan masing-masing. Badai hidup tiap orang tidak sama besarnya. Buat Ega, badai itu memakan hidupnya dengan lumat. Buat saya, ada juga badai besar, yang mungkin tidak seberapa bagi orang lain. Ega dan saya masih beruntung, masih bisa makan dan punya fasilitas hidup lumayan. Sementara itu, masih banyak orang lain yang mengalami badai yang teramat parah, terlalu parah.
Buku ini mengajak saya berpikir lagi. Menceritakan badai hidup kita rupanya bisa jadi berguna untuk orang lain. Meski berat rasanya berbagi kisah sedih. Seperti kata Ega di awal buku: “Ini adalah sebuah kisah yang tidak mampu saya ceritakan sebelumnya.” Namun sesudah badai itu berlalu, kita bisa membaginya, mengambil pelajaran darinya.
Ega menaruh kutipan-kutipan menarik di tiap bab buku ini. Satu yang menarik ada di akhir buku, yang membuat saya belajar kembali saat menghadapi hidup yang penuh badai: Sebab ketika aku menjadi lemah, pada saat itulah aku kuat. – St. Paul