Pertama Kali Bertemu Eka Kurniawan

Dari twitter aku menemukan ada kelas menulis bersama Eka Kurniawan. Agak mepet aku memutuskan untuk ikut. Satu, harganya lumayan. Dua, sudah ada jadwal mendongeng di kampus FIB pada tanggal itu. Untunglah dua hal yang bikin ragu itu masih bisa dikompromikan. Maka, siang 17 Desember itu aku mengejar ke Kemang ditemani babang gojek.

kelasmenuliseka

Aku harus sangat bersyukur akhirnya memilih untuk hadir. Begitu datang aku bertemu dengan Eliza Vitri Handayani dari Intersastra sang penyelenggara acara. Darinya aku tahu bahwa kelas ini akan jadi kelas privat. Rupanya peserta hanya lima orang. Nyam, eksklusif! Bahkan jauh lebih privat ketika tahu akhirnya hanya ada tiga peserta yang sukses datang. Satu peserta adalah Melissa Rampen, seorang dokter spesialis penerbangan (iya, langka!), dan satu lagi Sandi, seorang peneliti dari UI.

Eka Kurniawan membuka kelas dengan mengajak kami berkenalan. Lalu, usai semua menyebutkan sedikit keterangan tentang diri, aku mulai bersiap memegang hape untuk mencatat. Semacam bisa membaca pikiran, Eka mulai berbicara bahwa sebaiknya kami tidak usah mencatat. Jauhkan gadget. Belajar mengingat. Kemudian dia menjelaskan bahwa sesungguhnya menulis adalah pekerjaan berpikir. Penjelasan panjangnya bisa dibawa di salah satu tulisan Eka di sini: Apa yang Harus Diajarkan di Kelas Menulis.

Ada beberapa hal yang bisa aku tuliskan dari penjelasannya yang panjang di hari itu. Ya, ia terlihat senang berbicara. Tenang, serius, dan tampak banyak sekali ide yang melintas di kepalanya. Eka mengatakan menulis sesungguhnya adalah:

  1. Mencatat
  2. Berbagi
  3. Berkreasi

Ia mempersilakan pertanyaan datang dan kemudian ia menjelaskan kembali dengan banyak contoh. Aku menyimak sambil terus mengangguk-angguk dalam hati. Eka yang berbicara ini persis seperti Eka yang menulis: mampu mengisahkan cerita dengan alur yang penuh cabang, juga mampu kembali ke gagasan awal. Meskipun begitu Eka lebih asyik menulis saja deh. Aku tidak mengantuk saat membaca bukunya, tetapi menyimaknya berbicara panjang dengan tempo yang cenderung monoton, hmm… aku mesti menahan bosan dan rasa gatal bertanya. :))

img_20161217_202629_resized

Kemudian ia menggambar segitiga gagasan seperti dalam foto di atas. Ia tinggalkan kami lima menit, memesan minuman di cafe bawah dan mempersilakan kami memikirkan gagasan (sebuah masalah) yang kami pilih untuk menjadi bahan tulisan. Ini berguna untuk memastikan tulisan tidak melenceng kemana-mana.

Misalkan begini: cerita tentang rambut keriting. Perhatikan apa gagasan lain yang setara (horisontal) dengan gagasan itu. Sebutlah: rambut lurus, botak, rambut berwarna. Pastikan kita hanya menceritakan tentang masalah rambut keriting, bukan masalah lain. Kemudian, perhatikan juga apa gagasan yang mendukung (vertikal) pengembangan gagasan itu. Misalkan: rambut keriting sulit diatur, rambut keriting membuat malu, rambut keriting tidak bikin pede.

Waktu tiga jam rasanya belum cukup. Masih banyak yang kepengen diobrolkan dengan Eka. Tapi seperti yang dia bilang, dia sadar perkara teknis menulis juga penting dan tidak akan bisa dihabiskan dalam kelas sehari, namun yang lebih penting dan harus sering diasah adalah berpikir. Sebab menulis adalah kerja berpikir.

Aku sudah membawa buku Cantik Itu Luka hari itu sehingga aku segera meminta tandatangan dari Eka. Sesudah itu, selayaknya dendam dengan idola, aku membayar tuntas dengan foto bersama.

Melissa, Eliza Vitri, Eka Kurniawan, aku, Sandi
Melissa, Eliza Vitri, Eka Kurniawan, aku, Sandi

20161217_175103_resized

 

Tips Menulis dari Ahmad Fuadi

Ahmad Fuadi, iya, dia penulis novel Negeri Lima Menara yang juga sudah difilmkan itu. Saya beruntung bisa bertemu dia ketika dia menjadi guru di kelas Akademi Berbagi Tangerang, Sabtu 17 November 2012. Di sana dia berbagi tips menulis yang sederhana tapi dalam maknanya. Katanya, nomor satu yang paling harus dicari untuk memulai menulis adalah NIAT. Niat menulis setiap orang pasti berbeda. Ada yang iseng mengisi waktu luang, ada yang jadi cita-cita, ada juga yang memang bekerja untuk menulis. Kuatkan niat untuk menulis. Jadi ketika mood menulis tiba-tiba hilang, kembalilah mengingat niat kita untuk menulis itu apa.

Nah, sumber cerita yang akan dituliskan dari mana? Inspirasi bisa didapat dari segala pengalaman hidup yang pernah kita dapatkan. Fuadi bercerita bahwa novel-novel yang dia tuliskan berasal dari pengalaman pribadi, yang tentu saja ditambahkan dengan bumbu fiksi.

Pengalaman bisa dikumpulkan jadi tulisan.

Proses menulis hingga jadi sebuah tulisan yang baik dirangkum Fuadi menjadi gambar di bawah ini. What, Why, When, and How.

Tulisan yang baik itu begini.

Terakhir, kita harus percaya bahwa kesuksesan sebuah karya adalah misteri. Bersiap bahwa tulisan kita mungkin tidak akan dibaca atau disukai orang. Namun sebaliknya, bersiap juga jika cerita kita meledak di pasaran dan menjadi film yang mendunia. Lalu, senyum deh selebar-lebarnya. 😀

Senyum saya dan Ahmad Fuadi

Kembali ke niat kita untuk menulis, lalu percaya bahwa:
“Man jadda wajada, barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.”