Tadi ada murid di kelas 10 yang bertanya, “Petisi UN apa sih, Miss?”
Akhirnya saya cerita tentang itu dengan semangat walau suara saya sedang serak. Saya minta Ilya, salah seorang murid untuk mencari info tentang Petisi UN di komputer kelas. Proyektor dinyalakan dan satu kelas melihat petisi itu di papan tulis. Saya ceritakan apa yang salah dengan posisi Ujian Nasional. Thami bertanya, reposisi itu apa? Saat ini UN ditempatkan sebagai standar kelulusan. Nah, reposisi bermaksud menempatkan UN sebagai pemetaan kualitas layanan pendidikan di Indonesia.
Tiba-tiba ada murid menyeletuk canda, “Ah, enakan ada UN. Kan gampang, cuma gitu doang, belajar juga cuma sehari aja.” Dengan gemas saya katakan, “Nah, justru itu UN harus dihapus kalau hanya memanjakan anak yang malas belajar begini!” Anak-anak sekelas tertawa serentak. Saya lanjutkan tuduhan saya mengapa UN gampang buat anak sekolah di kota besar. Anak-anak yang terbiasa dengan akses pendidikan mudah dan didukung dengan guru yang berkualitas, tentu tidak aneh jika bisa mengerjakan soal pilihan yang mudah begitu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang sekolahnya tidak ciamik?
Seorang murid bertanya kenapa saya suara saya meninggi. “Sabar, Miss,” katanya. Saya bilang pada kelas, saya gemas karena saya tidak ingin kalian atau anak saya nanti masih mendapatkan model pendidikan yang tidak membuat cerdas. Indonesia saat ini menempati posisi rendah kualitas pendidikannya di dunia. Kalaupun petisi ini tidak tercapai sekarang, setidaknya saya, kita, sudah berjuang. Cuma diam dan tidak mendukung jelas tidak akan membuat keadaan lebih baik. Jam pelajaran hampir habis, saya tutup persuasi saya dengan kesimpulan bahwa Ujian Nasional sebagai standar kelulusan itu sangatlah tidak adil! Anak-anak mengangguk setuju.
Komentar para guru besar dan pemerhati pendidikan yang bersuara lantang tentang Petisi UN dapat dilihat di tulisan Karina Adistiana di sini: Petisi Reposisi Ujian Nasional
Ayo, segera dukung Petisi UN di sini sekarang!