Rabu lalu, ada kegiatan diskusi bulanan MLI (Moedomo Learning Initiative) di perpustakaan ITB (Institut Teknologi Bandung). Topiknya menarik, Kaitan Sains dan Seni, yang dibahas oleh Prof. Susanto Imam Rahayu, Phd. (FMIPA Kimia ITB). Sambil mendengarkan penjelasan beliau, saya mengetik twit bertagar #SainsdanSeni. Catatan di bawah ini bersumber pada pembicara dan hadirin dalam diskusi yang sebisa mungkin saya tuliskan dalam bahasa mereka, atau saya singkat dalam bahasa saya sendiri.
Susanto: Scientist and Artist itu mirip-mirip. Scientist is an Artist. Banyak ahli sains yang seorang seniman. Teknologi berbeda dari sains, teknologi lebih tua dari sains. Kesamaan scientist dan artist adalah keduanya sama-sama menggunakan kreativitas dan mencari kebenaran. Artist dan scientist terjangkiti penyakit yang sama, menyendiri untuk menemukan hasil karya. Hasil kerja scientist dapat diulang. Otokritik orang dapat memperbarui hasil karya. Artist tidak begini. Scientist mengolah yang nyata menjadi abstraksi. Artist mengolah yang abstrak menjadi sesuatu yang nyata. Sayangnya sekarang, anak-anak sekarang belajar sains dengan dry. Kering. Cuma hitung-hitungan tanpa tahu arahnya kemana. Ada kisah, Einstein kalau lagi pusing, dia akan main musik dulu. Einstein pun sebut itu bekerja.
Iwan Pranoto (Matematika ITB): Apa itu eksak? Rupanya ilmu sains tidak se”eksak” bayangan orang awam. Pemisahan sains, seni, humaniora, menyebabkan anak-anak melihat sains itu superior dibanding ilmu lain. Ini bahaya!
Susanto: Art erat kaitannya dengan ritual keagamaan. Ada tarian, lagu, musik. Itu sejak dahulu memang begitu. Dulunya art dan sains memang menyatu. Namun, perkembangannya jadi terpisah karena ada perbedaan penekanan kajian. Sains mencoba menjawab, the real world itu ada atau tidak? Pikiran orang sains begini ya? Itulah objektivitas, walau sifatnya tidak absolut. Makanya ada penelitian berulang-ulang, untuk menguji the real world tadi.
Susanto: Tadinya musik hanya musik, persembahan untuk Tuhan, macam Bach begitu. Makin ke sini, musik jadi ekspresi perasaan. Itu sebabnya kita bisa kebawa perasaan saat mendengar musik sekarang, karena musiknya memang mengandung perasaan komposernya. Ada joke: Makin nggak berguna, itulah art.
Imam Bukhori (Seni Rupa ITB): Seni rupa dianggap anomali dalam kampus sains. Hmm. Tak ada profesor Seni Rupa atau arsitektur karena untuk menjadi profesor itu harus memenuhi pengujian ala sains. Padahal secara keilmuan, banyak seniman, desainer, arsitek, yang sudah pantas menyandang gelar profesor. Dalam dunia akademis, bisa menggambar tak lantas bisa menjadi arsitek/seniman. Harus belajar sains juga. Cara bekerja seniman itu partikular sekali. Di masa depan, sangat penting sains dan seni bersatu. Contohnya: gadget. Nggak bisa itu orang sains dan orang seni kerja sendiri-sendiri. Perkembangan hidup dunia butuh kemajuan keduanya bersama! Seharusnya kampus teknik punya mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Budaya Dasar sebab itu penting sekali.
Susanto: Ujian Nasional itu menjadikan pelajaran hanya rumus-rumus, tanpa keindahan sama sekali. Tantangan di Indonesia, kita tidak punya tradisi akademis yang mapan. Pendidikan sarjana harusnya tidak mengkotak-kotakkan ilmu. Sayangnya di Indonesia masih begitu. Dilema kita: sarjana S1 kok belum bisa apa-apa? Harusnya jangan aneh jika ketemu S1 Kimia, lalu berakhir jadi guru besar Ekonomi. Pendidikan harusnya begini. Dulunya semua sains bersatu. Tapi makin ke sini jadi sendiri-sendiri. Fisika, Kimia, Bio, Math, tak bersatu. Bahayanya, pengkotak-kotakan sains ini malah menyempitkan kajian untuk mensejahterakan manusia. Dari pengalaman Susanto, di Amrik tahun 75 belajar Kimia tuh baru mulai di kelas 3 SMA. Jadi kebayang, wajar dong ya anak-anak sekarang megap-megap ketemu Kimia di kelas 10. Hmm. Culture dan seni harusnya masuk di pelajaran sekolah. Bukan sebagai unit ekskul saja. Tapi keberadaan UKM budaya dan seni di kampus teknik (ITB) sangat patut diapreasiasi sebagai keseimbangan belajar sains dan seni.
Hendra Gunawan (Matematika ITB): Menurut Pak Susanto, matematika itu lebih dekat ke sains atau ke seni?
Susanto: Matematika justru lebih dekat ke bahasa. Bahasa untuk memproses informasi. Hmm, kenapa ada kebanyakan fakultas atau jurusan kuliah? Karena masyarakat membagi pembagian lahan kerja. Lupa esensi.
Hadirin (mahasiswa): Dukun tradisional itu scientist bukan?
Susanto: Dukun bukan scientist karena dia hanya pengguna, tidak mencari tau penyebab kenapa obat bisa berguna.
Hadirin (mahasiswa): Kenapa ya waktu di sekolah dulu pelajaran seni kadang terasa nggak asyik?
Susanto: Seharusnya tahun pertama kuliah justru diajar para guru besar! Bukannya oleh dosen-dosen muda. Mahasiswa muda tidak percaya diri dengan pilihannya, dosen muda masih tidak percaya diri juga, yang terjadi adalah kebingungan. Justru kehadiran guru besar mengajar mahasiswa tahun pertama itu memberi kepercayaan diri untuk belajar terus.
Iwan Pranoto menutup diskusi: Di sini, sains hanya dipelajari sebagai fungsi, lupa esensinya bahwa ada unsur seni untuk bersenang-senang. Kalimat penutup diskusi dewasa ini adalah seperti seks, sains seharusnya sering dikerjakan bukan untuk fungsinya.