Menciptakan Dongeng yang Bernilai

Aku beruntung sekali bisa belajar kelas dongeng dari Sheila Wee, seorang storyteller profesional dari Singapura.

Yang paling kusuka dari workshop ini adalah para peserta diajak membuat cerita sendiri. Sheila memberikan kami outline cara membuat cerita yang bisa selalu kita pakai untuk membuat dongeng karya sendiri. Nah, berikut ini adalah Original Value Story Template dari Sheila Wee.

What value do you wish to promote? 

Decide on a main character for the story. For young children, an animal can work as well as human character.

Create a character first impression. Who is her/his name? Age? Create a brief description of the character’s physical appearance and their main character traits. Remember that you want your audience to identify with this character on an emotional level, so try and create similarities between the character and your target audience.

Decide the character’s goal. In this story what does the main character want, or need to do, or want or need to have? Remember that for the audience to identify emotionally with the main character, the goal must be one that they see as worthy, and one that they might have themselves, if they were in the same circumstances.

Why hasn’t the character got what he or she wanted? What has got in the way of achieving that goal? Is there an external problem? Or is it a character trait (a flaw) that is preventing progress towards the goal? Or is it a combination of the two? To make your story more effective, choose problems, and flows that are likely resonate with your audience. Can the value you are trying to transmit be brought out in the way the character struggles to overcome the obstacles?

What does your character do to overcome the obstacles that they face? How can you emphasise the struggles your character goes through to overcome these challenges? How does your character react to their struggles to achieve their goal? How can you show your character’s similarity to your target audience in the way they react to their challenges?

How is the story going to end? Remember that children need stories with a positive ending. Without baldly stating the value, is there a way in which you can emphasise the value in the conclusion of the story? How might you open up a discussion on the story and the values it contains?

Mendongeng di Halmahera

Jumat, 18 Oktober 2013

Pukul 07.00 pagi saya sudah berada di sebuah SD. Ya, pagi itu terasa berbeda sebab hari itu saya mendapatkan pengalaman pertama saya mendongeng untuk anak-anak di luar Jawa. Saya mendongeng untuk murid kelas 1-3 SD Inpres Buli, Halmahera Timur, Maluku. Baru sehari sebelumnya saya tiba di pulau penghasil nikel ini. Dari pesawat kita bisa melihat pulau ini sebetulnya cantik, tetapi sebagian wilayahnya sudah tak lagi hijau sebab ditambang oleh banyak perusahaan tambang di sana. Selebihnya, pulau ini dan juga pulau-pulau lain di sekelilingnya dilingkupi laut yang biru, terlihat indah sekali jika dipandang dari atas.

Itu juga yang saya ceritakan saat membuka dongeng. Bukan kebetulan saya membawakan dongeng tentang binatang-binatang laut. Sengaja memang karena anak-anak yang akan mendengarkan ini adalah anak laut, anak pantai. Saya senang sekali melihat wajah ceria mereka pagi itu. Sangat bersemangat!
IMG_0964

Keceriaan itu langsung saya manfaatkan. Saya mengajak dua anak untuk membantu saya mendongeng. Hampir separuh anak mengacungkan tangannya minta dipilih. Akhirnya, saya memilih Daniel, murid kelas 3 yang ternyata berasal dari Surabaya, dan Tasya, murid kelas 3, asli dari Buli.
IMG_0971
Mendongengnya jadi seru sekali karena bantuan dua anak hebat ini. Nah, video lengkapnya bisa dilihat di SINI .

Setelah itu, anak-anak kembali ke kelas, dan saya melanjutkan sesi dengan memberikan presentasi kepada orang tua murid. Judulnya adalah “Mendongeng untuk Pengembangan Karakter Baik Anak”. Saya hanya berbagi apa yang saya tahu tentang mendongeng. Sisanya, saya ingin para orangtua ini langsung mempraktikkan, ya, membuat dongeng. Dari mereka dan dari bocoran rekan di sana saya akhirnya tahu bahwa karakter warga Halmahera itu senang bercerita. Tentunya ini potensi yang baik untuk memberikan pengajaran pada anak lewat mendongeng.

Makanya, saya lemparkan kembali aktivitas pada orangtua. Mereka membentuk kelompok, berdiskusi menciptakan dongeng, kemudian mempresentasikannya. Hasilnya luar biasa!

Sebuah paket pengalaman yang berharga. Saya belajar banyak dari mereka tentang mendongeng, dan semoga kisah mendongeng saya juga berguna untuk mereka. 🙂

Story Telling oleh anak (2)

Ini adalah tulisan lanjutan dari “Story Telling untuk anak SMA”. Pencerita pada tulisan itu adalah guru. Nah, bagaimana jika sekarang murid yang berperan sebagai pencerita?

Seorang guru bahasa sangat dianjurkan untuk menggunakan kegiatan bercerita di kelas. Murid-murid senang mendengar cerita, seperti mereka senang mendengar curhat temannya. Sekarang, buatlah murid yang bercerita di kelas. Jika tidak ada persiapan khusus, guru bisa gunakan cara paling mudah. Tunjuk beberapa nama murid atau mempersilakan siapa saja yang ingin membacakan cerita di depan kelas. Pastikan mereka punya kemampuan vokal yang cukup baik agar teman-teman lain bisa menyimak cerita dengan maksimal.

Tentukan cerpen, drama, atau penggalan novel mana yang akan dibacakan. Guru membagi tugas, siapa yang akan membacakan paragraf mana, atau siapa yang akan berperan sebagai tokoh apa. Ajak murid pencerita menghayati peran dan murid pendengar untuk memahami cerita.

Guru sebaiknya mengukur lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca berantai ini. Pertimbangkan berapa lama cerita selesai dibaca, termasuk jika murid butuh waktu untuk konsentrasi atau ketika ada kesalahan baca. Akan lebih baik jika guru sudah menyiapkan murid-murid yang akan bercerita di pertemuan sebelumnya. Biarkan mereka yang berbagi tugas bagian membaca dan mereka bisa berlatih dulu sebelum tampil di pertemuan kelas nanti.

Untuk anak SMP, kegiatan mendongeng kelompok bagus dijadikan penilaian kompetensi menulis dan berbicara. Murid dalam kelompok membuat sebuah cerita, bisa tokoh nyata atau fabel. Nanti mereka pula yang akan mementaskannya. Guru menyiapkan rubrik penilaian yang mencakup aspek menulis naskah, cara bercerita (artikulasi, vokal, intonasi), penggunaan alat dan kostum, dan kerjasama kelompok. Kelompok lain akan melakukan penilaian kepada kelompok yang sedang pentas sebagai penerapan student-self-assessment. Kritik dan saran disampaikan oleh murid kepada temannya di akhir kelas. Tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi juga tak boleh dilupakan.


Untuk anak SD, gunakan boneka/mainan untuk membantu anak-anak berperan menjadi pencerita. Guru harus memastikan bahwa cerita yang dibawakan sudah diketahui oleh anak. Cerita bisa diambil dari buku yang pernah mereka baca bersama, atau bisa juga dongeng buatan mereka sendiri. Pastikan mereka bertanggung jawab menjadi tokoh. Beri pembagian tugas pada sejumlah anak, siapa menjadi ayam, siapa menjadi pohon, siapa menjadi raja, misalnya.

Guru bertugas sebagai penjaga alur. Biarkan anak menciptakan dialog mereka sendiri. Boleh juga kembangkan pop idea yang hadir dari anak. Guru tinggal arahkan pada tujuan akhir cerita. Ketika cerita sampai pada klimaksnya, guru mengajak murid ke penyelesaian dan buat anak berdiskusi. Apa rasanya ya menjadi tokoh dalam cerita? Bagaimana jika teman lain mengubah alur cerita? Bagaimana jika akhir cerita dibuat berbeda? Pancing terus anak dengan pertanyaan yang membuatnya bernalar.

Kira-kira begitu yang pernah saya lihat dan lakukan. Ada ide lainnya, kawan? 🙂

Story Telling untuk anak (1)

Seorang teman di twitter kemarin bertanya, bagaimana ya melakukan story telling untuk anak SMA dengan menarik?

Sederhananya, ada dua pilihan pencerita di kelas. Bisa si guru, atau si murid. Jika si guru yang akan melakukan story telling itu, guru tersebut harus punya kemampuan bercerita dengan menarik. Caranya bagaimana? Jelas, buat persiapan dulu agar tidak canggung di kelas.

1. Bahan cerita mana?
Apa yang mau diceritakan? Sebuah cerpen, penggalan novel, atau dialog drama? Pastikan cerita yang dipilih bisa didiskusikan seusai cerita disampaikan.

2. Pendengar mau apa?
Apa yang guru harapkan dari murid akan menentukan persiapan bercerita. Jika murid diminta hanya mendengar cerita saja, guru bisa fokus pada persiapan diri sendiri. Murid cukup diminta mendengarkan dan bertanya di akhir cerita. Jika guru merasa perlu murid mengetahui juga apa yang sedang diceritakan, murid harus dibekali dengan kertas bacaan. Berilah mereka cerpen yang Anda bacakan, atau minta mereka siapkan novel kelas. Sambil mereka baca, guru bercerita di depan kelas.

3. Ceritanya bagaimana?
Menarik minat remaja mendengar cerita tentu harus memakai jurus jitu. Dasar yang harus dimiliki adalah teknik membaca lancar. Perhatikan: vokal yang pas didengar seisi kelas, artikulasi dan nada sesuai kalimat, dan juga mimik pencerita. Tambahkan gerak yang sesuai dengan adegan dalam cerita. Boleh juga gunakan kostum yang mendukung cerita, seperti selendang atau topi.

4. Bagaimana memulainya?
Penting sekali mencuri perhatian di kesempatan pertama, persis di judul cerita. Pakai pengantar dulu, sampaikan bahwa cerita yang akan dibawakan berkaitan dengan hidup murid Anda. Gambarkan sedikit rangkuman cerita dengan ekspresi maksimal. Contoh yang pernah saya lakukan di kelas seperti ini:


“Hari ini, saya akan bercerita cepat dan ringkas bagian pertama novel Gadis Pantai. Sesuai judulnya, cerita ini tentang seorang gadis yang berusia 14 tahun, persis seusia kalian, murid-murid di kelas ini… (saya menunjuk seisi kelas). Bayangkan, di usia kalian yang semuda ini, yang masih bisa duduk di kelas seperti sekarang, tiba-tiba… harus menikah dengan seorang bapak-bapak yang tidak kalian kenal! (biasanya murid perempuan bergidik di sini) Kalian yang lelaki silakan bayangkan, teman-teman perempuan di sebelah kamu, harus menikah dengan oom-oom! (biasanya mereka tertawa di sini) Nah… langsung saja ya saya bercerita. Bermula seperti ini…”

5. Saat bercerita gimana? Mengakhirinya?
Bacakan cerita dengan sungguh-sungguh. Ajak murid mendengar dan terlibat dalam cerita. Tanyakan pendapat mereka secara acak di tengah cerita tentang sikap tokoh. Bandingkan dengan kisah hidup tokoh idola mereka. Selipkan penjelasan tentang kosakata yang belum pernah mereka dengar. Mainkan nada suara di klimaks cerita, kemudian menurun untuk akhir cerita. Semakin dramatis guru berkata-kata, murid akan terpesona dan bisa memahami cerita.

Ya, kira-kira seperti itu. 🙂
Bagaimana jika murid yang jadi pencerita?