Laporan pandangan mata yang selalu awas.
Hari pertama
Hari kedua
Hari ketiga
menjadi murid sepanjang hari
Laporan pandangan mata yang selalu awas.
Hari pertama
Hari kedua
Hari ketiga
Sebetulnya saya ingin sekali mengatakan kepada anak-anak sekolah bahwa tak perlu terlalu bangga jika bisa lulus Ujian Nasional. Pula sebaliknya, tak perlu bersedih amat kalau tak lulus Ujian Nasional. Kenapa begitu? Karena apa yang diujikan di Ujian Nasional model Indonesia punya sekarang ini hanyalah ujian tes hapalan semata. Sama sekali tidak menguji nalar berpikir anak. Maka, tak perlu bangga kalau bisa lulus dari sekadar tes pengetahuan begitu.
Sayangnya, saya tak mudah mengatakan itu kepada anak-anak sekolah. Bahkan juga kepada orang tua dan guru. Mereka semua dikaburkan pemahamannya tentang fungsi UN yang semestinya. Katanya, UN adalah syarat kelulusan. Seolah dipatrikan, tak lulus Ujian Nasional sama saja tak pantas lulus belajar selama enam atau tiga tahun sekolah. Ini jelas tak masuk logika dasar. bagaimana mungkin menilai kelulusan anak sekolah di Indonesia yang begini luasnya dengan soal ujian yang sama. Anak ibukota yang bersekolah dengan fasilitas belajar memadai dan bonus ikut bimbingan belajar tambahan, semestinya tak perlu bangga jika lulus UN. Apalagi bila dibandingkan dengan anak pulau terdepan Indonesia yang belajar dengan satu guru berantai untuk banyak kelas, yang tak pernah kenal laboratorium atau buku bersampul bagus.
Sebuah standardisasi ujian jelas tidak bisa diterapkan untuk Indonesia yang teramat kompleks kondisi sosialnya. Ujian Nasional bisa dilakukan, tetapi bukan dengan model seperti sekarang ini. Bukan pula dijadikan sebagai ujian kelulusan belajar. UN masih bisa diterima hanya sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Jadi masyarakat bisa tahu, apa yang harus dibangun lagi dari pendidikan di setiap daerah. Nah, sekarang cobalah masyarakat menilai, apakah pemerintah selama ini sudah pernah mengeluarkan evaluasi hasil UN?
Kasihan sebetulnya anak sekolah sekarang. Ujian Nasional yang harus mereka lakukan tidak akan membuat mereka sejajar dengan anak lain di dunia. Pendidikan mereka harus diselamatkan dari rendahnya nalar. Pemerintah dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terlihat main-main dengan proyek UN ini. Soal-soal tak mutu uji, bocoran di mana-mana, penggelembungan dana, bahkan waktu ujian yang tak serempak secara nasional. Ini semua mesti dibenahi. Salah satu caranya, coba ikut dukung petisi reposisi Ujian Nasional di sini:
http://www.change.org/id/petisi/kemdikbud-lakukan-reposisi-terhadap-ujian-nasional.
Bukan mimpi yang sulit untuk menciptakan generasi muda yang membanggakan prestasinya di dunia. Satu caranya, dengan menciptakan model ujian yang kualitasnya bisa bikin bangga.
An education isn’t how much you have committed to memory, or even how much you know. Its being able to differentiate between what you know and what you don’t.
Anatole France (French poet, journalist, novelist)
Tulisan ini dimuat di zine Slavemade #1. Pesan, hubungi: slavemd@gmail.com
Pukul 8 pagi, Sabtu 6 April lalu, saya sudah ada di Epicentrum XXI Jakarta. Saya datang untuk menonton “Temani Aku Bunda” bersama Kresha Aditya dan Deta Ratna Kristanti dari Bincang Edukasi. Suasana ramai oleh orang-orang yang sering terlibat di acara pendidikan. Kami tertawa satire atas pertanyaan kenapa yang datang orang-orang ini lagi. Seharusnya acara pendidikan ini ditonton juga oleh para pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Temani Aku Bunda adalah sebuah video dokumenter. Footage video diambil oleh Irma Winda Lubis, seorang ibu yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Ia dan suami berjuang untuk anaknya, Abrar, yang terintimidasi oleh pihak sekolah SD yang menyuruh Abrar untuk memberikan jawaban Ujian Nasional kepada teman-temannya. Anda harus saksikan sendiri video ini dan lihat betapa mengenaskannya orang dewasa (guru dan kepala sekolah) menyuruh anak untuk berbuat jahat. Ada rekaman jelas bagaimana guru meminta anak-anak murid pintar untuk membuat kesepakatan untuk merahasiakan kecurangan yang akan berlangsung di ujian esok harinya. Gila, sekolah mendoktrin anak kecil untuk tidak jujur! Menyontek jelas perbuatan curang. Dan kecurangan itu diajarkan di sekolah? Anda bisa bayangkan sendiri, apa jadinya generasi mereka nanti. Generasi sakit.
Jika Anda berminat untuk memiliki DVD video ini, atau mengadakan kegiatan nonton bersama dan diskusi, silakan hubungi kampunghalaman.org. Video ini perlu ditonton oleh murid, guru, orang tua, pihak sekolah, dan semua yang memang peduli pendidikan yang jujur.
Ujian Nasional masih tidak membawa keuntungan jelas untuk bangsa ini. Reposisi fungsi Ujian Nasional mesti dilakukan segera. Cek laman petisi UN ini dan beri dukunganmu untuk pendidikan Indonesia!
Tadi ada murid di kelas 10 yang bertanya, “Petisi UN apa sih, Miss?”
Akhirnya saya cerita tentang itu dengan semangat walau suara saya sedang serak. Saya minta Ilya, salah seorang murid untuk mencari info tentang Petisi UN di komputer kelas. Proyektor dinyalakan dan satu kelas melihat petisi itu di papan tulis. Saya ceritakan apa yang salah dengan posisi Ujian Nasional. Thami bertanya, reposisi itu apa? Saat ini UN ditempatkan sebagai standar kelulusan. Nah, reposisi bermaksud menempatkan UN sebagai pemetaan kualitas layanan pendidikan di Indonesia.
Tiba-tiba ada murid menyeletuk canda, “Ah, enakan ada UN. Kan gampang, cuma gitu doang, belajar juga cuma sehari aja.” Dengan gemas saya katakan, “Nah, justru itu UN harus dihapus kalau hanya memanjakan anak yang malas belajar begini!” Anak-anak sekelas tertawa serentak. Saya lanjutkan tuduhan saya mengapa UN gampang buat anak sekolah di kota besar. Anak-anak yang terbiasa dengan akses pendidikan mudah dan didukung dengan guru yang berkualitas, tentu tidak aneh jika bisa mengerjakan soal pilihan yang mudah begitu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang sekolahnya tidak ciamik?
Seorang murid bertanya kenapa saya suara saya meninggi. “Sabar, Miss,” katanya. Saya bilang pada kelas, saya gemas karena saya tidak ingin kalian atau anak saya nanti masih mendapatkan model pendidikan yang tidak membuat cerdas. Indonesia saat ini menempati posisi rendah kualitas pendidikannya di dunia. Kalaupun petisi ini tidak tercapai sekarang, setidaknya saya, kita, sudah berjuang. Cuma diam dan tidak mendukung jelas tidak akan membuat keadaan lebih baik. Jam pelajaran hampir habis, saya tutup persuasi saya dengan kesimpulan bahwa Ujian Nasional sebagai standar kelulusan itu sangatlah tidak adil! Anak-anak mengangguk setuju.
Komentar para guru besar dan pemerhati pendidikan yang bersuara lantang tentang Petisi UN dapat dilihat di tulisan Karina Adistiana di sini: Petisi Reposisi Ujian Nasional
Ayo, segera dukung Petisi UN di sini sekarang!