Sastra Itu Upil

Di sebuah kelas bahasa Indonesia, saya melempar tanya, apa itu sastra?

Sastra adalah upil. Kotoran hidung yang dianggap jorok itu mempunyai rasa yang khas. Asin. Rasa itu menambah bumbu dunia, sama seperti makanan. Upil juga diasosiasikan seperti emas, yang harus digali di kehidupan. Emas juga melambangkan benda berharga yang harus dicari manusia, begitu ujar salah satu murid kelas 10.

Saya tertawa. Saya senang. Murid saya yang berusia 15 tahun itu telah berusaha menyampaikan pendapatnya tentang apa itu sastra. Bagi sebagian besar murid SMA kelas satu di tahun pelajaran baru ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang menggunakan kurikulum asing mungkin dianggap bukan pelajaran penting. Lalu ketika mereka mendapati ada kewajiban membaca karya sastra, sebagian besar murid keburu cemas, sebab membayangkan novel yang tebal, puisi yang sulit dimengerti, atau drama maha absurd.

Maka, saya ajak mereka bermain di awal pertemuan pelajaran. Setelah berkenalan dan mencoba mengingat nama murid satu kelas, saya ajak mereka mengingat kembali, apa sebenarnya sastra itu? Apa benar sastra itu sesuatu yang aneh, sulit, dan tidak menarik untuk dipelajari? Nyatanya, mereka sudah punya konsep tentang sastra, meski sulit merangkainya dalam kalimat. Mereka tahu sastra itu cerita, sastra itu pantun, sastra itu pentas drama. Saya kemudian meminta mereka membuat gambar yang mengilustrasikan pemahaman mereka tentang apa itu sastra. Hasilnya ternyata menarik sekali. Gambar yang mereka buat lucu-lucu.

Ada murid yang menambahkan sifat sastra dalam penjelasan gambarnya. Pemahaman ini dituangkan dengan metafora yang menarik.

Dan sebagian besar murid akan menuliskan kecemasannya tentang sastra, bahwa sastra itu sesuatu yang absurd, atau juga melukiskan manfaat sastra dalam kehidupan.


Dari gambar-gambar ini saya mendapat lebih dari jawaban apa itu sastra. Coretan mereka saya pindai dan jadi penilaian awal sejauh mana pemahaman mereka tentang sastra, sehingga saya bisa menentukan target pencapaian pemahaman berikutnya. Dari kegiatan ini saya juga jadi kenal pribadi mereka. Buat saya, mengenal pribadi murid itu penting agar guru bisa tahu cara yang tepat untuk menyampaikan ilmu kepada berbagai karakter dalam satu kelas. Kesenangan murid pada Spongebob tadi misalnya, bisa saya jadikan bekal untuk menggunakan tokoh-tokoh Bikini Bottom ketika membuat contoh dalam pelajaran berikutnya nanti. Saya perlu menyiapkan cara yang sebisa mungkin dapat dipahami sebagian besar anak, yang dipahami anak yang menggunakan metafora bunga atau yang menggunakan metafora monster.

Saya percaya, gambar mereka tadi berangkat dari apa yang dekat dengan diri mereka. Lucunya, hal itu terbukti pada kisah murid yang mensimilekan sastra seperti upil tadi. Teman-teman anak itu tertawa sambil membocorkan rahasia di depan kelas, bahwa murid saya itu memang suka mengupil. Si anak hanya tertawa, sambil mendekatkan jari ke arah hidungnya. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.