Di kelas 10 tadi, seorang anak keburu menyeletuk, “Aduh, aku nggak suka baca cerpen, nih!” Padahal, satu buku Cerpen Kompas Pilihan 2009 akan kami pelajari selama satu semester ini. Saya kemudian bilang, saya akan ajak kalian untuk menikmati cerpen pertama dengan suasana horor. Saya tambahkan bahwa mereka harus memperhatikan peristiwa apa yang terjadi dan siapa pelaku sebenarnya dalam cerita itu. Saya minta bantuan kepada murid-murid untuk menciptakan suasana tenang. Satu dua anak bahkan meminta agar lampu kelas dimatikan saja. Ketertarikan mereka pada kisah horor sangat membantu proses belajar kali ini.
Sebelum dimulai, saya minta setiap anak menyiapkan satu lembar kertas kosong. “Perhatikan setiap kalimat yang akan saya instruksikan.” Murid-murid mulai bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan. Satu anak lelaki yang biasanya selalu berisik berkata, “Ih, kayaknya seru, nih!” Saya lanjutkan. “Buat sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar di tengah kertas kalian.” Murid melakukan. “Simpan dulu kertas kalian, kita akan mulai membaca.”
“Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” karya Avianti Armand, itulah cerpen yang kami baca berantai. Saya minta setiap anak membaca satu paragraf, bergiliran dengan teman di sebelahnya. Sementara yang lain wajib diam dan menekuri buku masing-masing. Satu per satu murid membaca dengan gaya pembacaan mereka masing-masing. Satu suara pembaca dan kesepian kelas membuat suasana menegang. Sesekali ada cekikik tawa tertahan dari beberapa anak ketika menemukan diksi yang menurut mereka menggelikan.
Cerpen selesai dibaca. Napas terhela. Langsung saya katakan, “Tentu ada kesan yang tercipta setiap kali kita selesai membaca karya sastra. Sekarang, ambil kertas yang bergambar lingkaran tadi. Tuliskan di dalam lingkaran itu, satu kata yang terlintas di otak kalian, yang mewakili perasaan kalian setelah membaca cerpen tadi.”
Beberapa anak terlihat kebingungan. Saya persilakan setiap anak untuk menuliskan apapun perasaan yang mereka rasakan usai membaca cerpen tentang pembunuhan itu.
Beberapa murid saya tembak untuk berbagi. Ada yang bilang, rasanya aneh. Mengapa aneh, tanya saya. Si murid menjawab, tokoh anak kecil bernama Radian yang menggambar lukisan seram itu sangat aneh.
Saya tersenyum dan berkata, “Jangan-jangan, aneh itu sebab kamu menilai dari sudut pandang kamu. Bagaimana jika kamu yang menjadi Radian?” Kelas saya ajak membayangkan, apa rasanya kalau menjadi tokoh. Ini yang harus kita lakukan ketika menganalisis cerita. Kita perlu melihat dari sisi tokoh sehingga nanti kita bisa memahami mengapa konflik bisa terjadi. Setelah itu, kita bisa gali apa sebenarnya yang ingin disampaikan penulis. Juga, adakah nilai-nilai yang bisa kita ambil dari cerita horor ini?
Maka saya ajak murid untuk menjadi Radian, anak kecil yang dianggap aneh tadi, sebab diduga telah membunuh ayahnya. Saya minta mereka melakukan kalimat yang dituliskan sang pengarang di ujung cerita. Begini kutipannya:
Di batas paling bawah dari kertas, tertulis dengan huruf-huruf besar yang mencang-mencong: PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN
Bagaimana cara membuat tulisan yang mencang-mencong? Saya berkata, “Kamu menjadi Radian. Lakukan apa yang Radian tulis “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” itu di bagian bawah kertas kalian, dengan menggunakan tangan yang tidak biasa kalian gunakan untuk menulis sehari-hari.”
Riuh suara murid mencoba. Murid-murid berkomentar: gampil, aneh, susah, geregetan, biasa saja, kok serem hasilnya.
Mungkin itu rasanya ketika kita memahami tokoh. Aneh, membingungkan, atau mungkin malah biasa saja. Perasaan menjadi tokoh itulah yang perlu kita gali dalam membaca sastra sehingga nanti kita bisa paham kenapa sebuah cerita mesti ada.
sblumnya saya minta maaf, ceritanya agak sedikit membingungkan sekali.
🙂 jgn marah ya ! !
Cerita “nya” siapa ya? Saya juga bingung dengan “agak sedikit sekali” itu.
terus terang saya kurang memahami tulisan ini. mungkin krn saya bukan org bahasa. tp penjelasan mengapa radian membunuh (siapa?) ayahnya. cukup bisa dimengerti. mengapa peristiwa itu bisa terjadi, kita hrs memposisiskan diri kita sebagai si tokoh. good! saya ngerti.
Untuk lebih mengerti tulisan di atas pembaca lebih baik terlebih dahulu membaca cerpen “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian”..
Setuju, untuk lebih memahami karakter (utama) dalam suatu cerita, pembaca baiknya tidak hanya melihat dari satu sisi karakter saja.. Dan itu tidak hanya berlaku pada suatu karya sastra saja, bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari..
Cara mengajar sastra yang kreatif dan menyenangkan. Andai semua guru sastra mengajarkan murid-mudirnya sastra dengan cara yang kreatif dan menyenangkan seperti ini, sastra nggak perlu lagi dianggap membingungkan. He’
cerita yang sangat butuh pemahaman….keep posting…