Suatu hari di kelas 10, kelas dimulai dengan pembicaraan seperti ini.
Murid: Miss, kita belajar apa hari ini?
Saya: Saya mau ngomel dulu.
Murid lain: Miss Arnel mana bisa marah. Eh, bisa sih marah, kalau lagi latihan nari.
Ya, jadi memang saya pada dasarnya tidak mudah marah lalu ngomel-ngomel. Namun, bukan berarti saya nggak bisa marah. Saya bisa marah juga, terutama pada hal-hal mendasar berhubungan dengan moral. Kalau pas latihan nari itu bukan marah sih, itu galak tegas aja, karena nari adalah sesuatu yang akan dipentaskan. Saya nggak mau pentas tari yang cuma 4 menit itu jelek dilihat nanti. :))
Akhirnya saya bilang di depan kelas 10 itu, apa yang membuat saya marah. Saya mulai dengan bahas bahwa mengapa selama ini guru selalu mengingatkan murid untuk bekerja dengan jujur. Tentu ada waktunya belajar bersama, diskusi, yang memang perlu bekerja sama. Tapi jika waktunya diminta bekerja mandiri, maka bekerjalah mandiri. Bentuk kerja mandiri itu ya dengan berusaha sendiri, menggunakan kemampuan untuk menganalisis dan mengkreasikan sesuatu sendiri.
Saya juga guru yang sangat menghargai usaha siswa yang telah bekerja jujur dan mandiri. Saya akan beri apresiasi lebih jika saya lihat murid mau berjuang menyampaikan ide dan pemikirannya. Makanya, saya marah betul ketika membaca salah satu tugas menulis puisi buatan seorang siswa yang saya tahu betul itu bukan karya dia.
Saya lanjut mengisi kelas yang hening dan kaget karena melihat gurunya ini nahan geram. (Iya, saya nggak bisa ngomel merentet, paling cuma ketus jatuhnya, hehee). Saya jabarkan mengapa menyontek atau plagiarisme itu sangat menyepelekan beberapa hal.
1. Plagiarisme itu menyepelekan sekolah dan guru. Pelaku seolah meremehkan sekolah yang sudah berusaha mendidik dengan beragam moral value, tapi dia seolah malah menganggap remeh niat memupuk nilai-nilai baik itu. Lalu, dia juga seolah meremehkan guru yang dianggap mudah dibodohi dengan karya palsunya. Seorang guru bahasa bisa dengan mudah lho melacak apakah benar ini karya si murid atau bukan. Guru ‘kan tahu gaya bicara si murid sehari-hari, gaya kalimat tulis dia, gaya dia merangkai kata, seberapa dalam analisisnya, seberapa cerdas pendapatnya, seberapa banyak koleksi diksi yang dia sampaikan. Jadi ketika suatu waktu ada murid yang mengambil karya puisi orang lain di internet, dan gaya bahasanya jauuuh dari kemampuan si murid, ya gampang banget ketahuanlah.
2. Plagiarisme itu menyepelekan kerja orang yang ditiru. Membuat puisi itu tidak mudah lho (dia pasti ngerti itu tidak mudah makanya dia cari cara mudah dengan mengkopi). Penyair membuat karya dengan pengetahuan dan hatinya. Maka ada hak cipta yang sudah menjadi miliknya. Dan sudah sewajibnyalah kita menghargai hak itu.
3. Yang paling penting, plagiarisme itu menyepelekan diri sendiri. Dia menyepelekan kemampuan berpikirnya sendiri. Dia tidak percaya bahwa otaknya mampu bekerja. Dia menganggap dirinya makhluk sepele yang tidak bisa menyusun kata-kata sendiri. Wah, ini sangat bahaya! Pikiran yang tidak boleh dipupuk. Karena kalau disetujui, itu akan semakin merendahkan kepercayaan pada diri sendiri.
Kejadian ini jadi pelajaran lagi buat saya. Bahwa mendidik bukan sekadar mengajar. Iya, bukan sekadar ngomel. Mendidik harus memberikan pemahaman. Mendidik itu juga membangun hati manusia dan merawat jiwa baik yang ada di sana.
Oya, SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!
– Dari guru kece yang terus belajar