4 Januari 2020
Sebetulnya duniaku masih suram, pikiran tidak jelas, takut ke RS lagi, tapi dokter menyarankan untuk periksa kondisi usai gagal IVF Desember lalu. Datanglah aku dan Heru ke RS Permata Ibu karena dr. Wisnu sedang praktik di sana. Aku menjalani pemeriksaan dalam lewat vagina, lupa namanya apa. Yang kuingat cuma rasanya mulas, tidak nyaman. Dokter bilang, ditemukan banyak polip di rahim, hingga kemudian dijatuhkan diagnosis hyperplasia endometrium. Dokter langsung sarankan untuk kuret malam itu juga. Di depan dokter aku angguk-angguk nurut, tapi begitu keluar ruang periksa, duduk di bangku lorong, aku nangis akhirnya. Entah, tiba-tiba takut. Tiba-tiba rasa kehilangan itu datang lagi. Otakku bilang, kuret berarti rahim dikorek-korek, dibersihkan, untuk mengambil semua kegagalan.
Melihatku nangis, Heru malah ajak aku tertawa. Jelek katanya mukaku, dilihatin orang pula di ruang tunggu RS itu. Heru lalu beranjak mengurus administrasi karena aku harus rawat inap semalam. Aku duduk sambil menahan panas air mata.
Sesudah masuk ruang rawat inap, Heru menelepon bapak mamaku untuk kasih kabar, yang berujung aku nangis lagi karena tiba-tiba ingat dulu mama pernah kuret juga. Aku nggak mau lihat hape, nggak tega lihat mama dan bapak di layar. Akhirnya dengan sungkan Heru meminta izin dan menutup telepon.
Selebihnya aku cuma merasa lemas terus-terusan. Aku cuma ingat kemudian masuk ruang operasi dengan grasa-grusu seperti di ER Grey’s Anatomy. Semua orang tampak hectic banget. Aku dibius dan sudah… tak ingat apa-apa. Bangun-bangun badan lemas banget. Mau melek susah, mau ngomong susah, tapi aku dengar suara suster ngobrol mau pesan makanan lewat gofood. Aku coba memanggil Heru, tapi kok susah sekali. Heru akhirnya melihat sinyal yang kuberi, lalu dia coba ajak aku bercanda karena dikira aku udah sadar penuh, padahal belum. Malam itu berakhir dengan aku ngantuk terus-terusan dan nangis lagi saat lihat selangkangan penuh olesan betadine.
1 Februari 2020
Dilema yang kurasa kadang lucu juga. Aku takut mengingat semua prosedur yang mesti dilewati. Banyak horornya, banyak nangisnya. Tapi sekaligus aku antusias mencoba juga. Semacam memenuhi rasa ingin tahu dan belajar hal baru.
Maka waktu dokter meminta aku tes darah lanjutan sebelum mencoba FET (Frozen Embryo Transfer), aku nurut dan semangat mengatur jadwal. Tes agregasi trombosit, ACA igm, Anti Beta Glikoprotein, Lupus Antikoagulan.
Habis Rp4.085.000 di lab Prodia. Begitu diambil darah ya lemas juga, enam tabung ya kalau nggak salah lihat. Makanya sebelum pulang ke rumah, Heru ajak makan bakmi sebelah Prodia itu, sambil tunggu hujan reda. Detik itu aku bersyukur karena boleh napas dulu, rehat dulu, setidaknya sebulan sebelum mulai siklus baru lagi.
16 Maret 2020
Setelah sudah dua kali mens aku kembali kepikiran, kapan sih waktu yang tepat untuk mulai FET. Akhirnya aku kirim chat wa ke dokter Wisnu. Ia memintaku datang saja ke Morula sekalian periksa.
Berita corona sebetulnya lumayan mengganggu, maka kami sempat tanyakan bagaimana baiknya menurut dokter. Kami diperbolehkan untuk mulai FET. Heru dan aku kepikiran, ya udahlah mumpung kondisi tubuhku sudah oke, dan masih ada frozen embyro bagus, nggak perlulah tunda-tunda.
Maka jadilah kami tanda tangan surat bermaterai sebagai persetujuan rangkaian tindakan FET. Lalu diberi resep femaplex dan dufarol. Habis sekitar satu juta rupiah. Aku diberi tahu untuk periksa USG lagi seminggu kemudian.
23 Maret 2020
Kekhawatiran tentang virus corona yang mewabah di luar sudah mulai mengganggu rencana kami. Meski begitu, aku dan Heru tetap ke Morula. Rupanya benar, kami terlewat dikabari kebijakan Morula. Jadi, sejak pemerintah mengabarkan ada kasus positif covid-19 di Indonesia, Morula mulai membuat kebijakan penundaan semua program IVF, kecuali yang mendesak dan tanggung berjalan. Nah, sayangnya aku dan Heru sudah terlanjur ke RS. Juga sudah keburu tanda tangan surat mulai FET. Jadi gimana?
Begitu sampai di RS Bethsaida, suasana sudah berubah. Masuk pintu RS, setiap pengunjung diukur suhu badannya. Lalu mengisi buku hadir, menulis keterangan siapa yang perlu konsultasi. Hand sanitizer di mana-mana. Sampai di lantai 7 ruang Morula, suasana sepi. Di situlah kami baru tahu bahwa seharusnya kami tidak perlu datang. Program kami mesti ditunda dulu. Sempat sedikit kecewa, kenapa bukan kemarin-kemarin kami dikabari sehingga tidak perlu beli obat dulu. Tapi yaa udah jalannya emang ajaib begini, jadi ya aku nerima aja.
4 Mei 2020
Oh, aku sangat peduli angka. Makanya ulang tahun kali ini aku kembali kepikiran, dobel kepikirannya. Satu, aku sudah 35 tahun. Dua, tahun ini ada corona.
Usia 35 itu penting buatku karena ini angka yang sering jadi standar ukuran dalam program kehamilan. Pernah baca dulu, pada usia 35 kesuburan perempuan mulai menurun. Pada usia 35 perempuan lebih berisiko untuk hamil dan melahirkan. Kemarin aja waktu embyro transfer pertama kali, penentuan jumlah embryo yang bisa ditanam diukur dari usia juga. Kalau usia 35, boleh tanam dua embryo sehingga bisa jadi bayi kembar. Di bawah 35 tahun sebaiknya jangan. Yah, begitulah, jadi kepikiran sendiri. Padahal dalam program IVF aku masih terhitung muda karena banyak pasangan lain yang usianya di atas 35 dan 40-an yang masih terus berjuang.
Usia 35 tahun ini kok ya ndilalah berbarengan ada corona. Virus brengsek ini memaksa aku kerja di rumah aja, nggak bisa ketemu banyak orang seperti biasanya ketika ultah. Padahal ulang tahunku selama ini nggak pernah sepi, selalu dirayakan bersama murid-murid, ya karena kerja di sekolah juga kan. Juga selalu ramai dirayakan keluarga dan teman. Bahkan biasanya ultah sampai seminggu terus-terusan karena ada aja kejutan dan kado yang berdatangan. Tapi tahun ini beda banget. Sepi. Aku kesepian. Yang mengucapkan pun benar-benar teman dekat atau yang kebetulan tau lewat media sosial aja.
Kemudian aku renungkan, apa barangkali memang jadi sebuah keberuntungan ketika aku tidak (belum) memiliki anak di masa pandemi begini. Aku membayangkan betapa sulitnya orang tua mengurus anak di kondisi serba tidak jelas seperti ini. Meskipun aku tidak juga menafikan betapa jadi keberuntungan yang membahagiakan juga mereka yang bisa selamat melahirkan dalam situasi yang serba membingungkan.
Pada akhirnya aku mesti belajar banyak bersyukur terus. Berterima kasih atas segala pemberian yang sudah kuterima. Sehat dan belajar bahagia selalu. Itu dulu.