Bermain Grafik!

Minimal ada dua pertanyaan tentang materi Grafik, Tabel, Bagan, dan Peta di soal Ujian Nasional. Biasanya soal itu bisa dijawab siswa dengan mudah. Justru menjadi bukan soal yang menarik. Padahal materi ini bukan hanya terdapat di pelajaran bahasa Indonesia, melainkan juga ada menjadi bahan belajar di pelajaran IPA dan IPS.

Coba kita belajar sambil bermain dengan materi ini. Ajak saja siswa membuat sendiri grafik, tabel, bagan atau peta itu. Namun, buatlah dalam bentuk dua atau tiga dimensi, ditambah dengan hiasan yang menarik. Siswa dapat mengerjakan ini bersama teman-temannya sehingga dapat berbagi tugas. Tentukan dulu tema yang menarik. Boleh tentang apa saja! Usahakan yang dekat dengan kehidupan siswa, seperti yang diharapkan dalam kurikulum KTSP. Misalkan, makanan tradisional favorit siswa, kendaraan tanpa gas pilihan siswa, atau artis idola satu kelas. Data untuk grafik dan tabel dapat siswa peroleh sendiri dengan cara melakukan survey. Jumlah responden ditentukan oleh keputusan kelompok. Misalkan, 30 orang responden acak dari beberapa kelas. Objek ukur juga bisa ditentukan kelompok atau bebas saja. Semua ini memancing siswa untuk terbiasa berdiskusi dan menghasilkan keputusan bersama.

Lalu, presentasikan hasil kreasi mereka di depan kelas! Guru bisa menilai kemampuan berbicara siswa. Terlihat juga seberapa jauh mereka memahami materi yang telah mereka buat sendiri. Siswa lain dapat bertanya kepada presenter. Jawaban mereka juga bisa digunakan siswa lain untuk belajar. Guru juga terbantu dengan menggunakan sistem penilaian silang. Guru menilai, siswa lain pun menilai. Guru juga bisa mengajak guru pelajaran lain untuk menilai, semacam integrated studies dalam kurikulum International Baccalaureate.

Sebagian besar siswa terlihat menyukai kegiatan belajar ini. Coba deh!

Saya Suka Debat!


Saya suka debat!
Itu kalimat yang terus terlontar dari sejumlah murid ketika kelas debat selesai. Saya percaya mereka mengucapkan kalimat tersebut dengan tulus. Saya percaya sebab saya melihat kecenderungan remaja kota besar saat ini senang berdebat. Atau setidaknya mereka lebih senang berbicara ketimbang menulis. Kalau pakai lelucon satir hari ini, anak remaja sekarang masih suka menulis kok, tetapi nulis status di facebook atau tweet saja.

Saya senang mereka menyatakan dengan lantang bahwa mereka suka berdebat, walau ternyata berdebat yang mereka lakukan umumnya masih sebatas adu mulut saja. Bukan kebetulan jika pelajaran bahasa Indonesia mengakomodasi kegiatan berdebat sebagai salah satu komponen kemampuan berbahasa siswa, yaitu kemampuan berbicara. Siswa diajak menyampaikan pendapatnya tentang sebuah masalah dan hal itu menuntut kemampuan menyusun kalimat dengan jelas.

Berdebat bukan sekadar berbicara. Ada pelajaran etika juga di sana. Ada aturan yang digunakan agara siswa bisa belajar menyampaikan argumen dengan cara yang tepat sehingga orang yang mendengarnya paham. Di kelas debat kemarin, saya mengajak siswa berdebat dengan menggunakan aturan World School Debating Champhionship. Aturan dalam perlombaan internasional tersebut memang belum bisa seluruhnya diterapkan di kelas, apalagi untuk murid kelas 10 yang secara umum belum biasa berdebat. Maka saya hanya gunakan beberapa aturan yang mendasar, seperti misalnya satu kelompok debat terdiri dari tiga orang dan masing-masing anggota punya kewajiban menyampaikan pendapat selama beberapa menit. Dari apa yang terjadi di kelas debat yang pernah saya dan siswa lakukan, ternyata hanya beberapa orang saja yang mampu menyampaikan pendapat dengan kalimat yang baik selama dua menit. Ya, dua menit berbicara bahasa Indonesia ternyata susah juga.

Namun, saya senang. Ketika seorang siswa sudah punya semangat yang besar untuk belajar, itu adalah pintu masuk ilmu yang lebih banyak lagi. Saya bahkan ingin dengar juga siswa teriak lantang bilang “Saya suka trigonometri!” atau “Saya suka kimia murni!”. Saya memaksakan diri untuk yakin saja bahwa kecenderungan siswa yang lebih suka berbicara di era komunikasi elektronik yang sangat mudah sekarang ini dapat membawa dampak baik bagi pendidikan anak. Saya bermimpi, anak-anak yang berani bilang suka berdebat ini kelak akan jadi pembicara untuk kebaikan bangsa Indonesia di dunia. Anda boleh tidak setuju dengan pendapat saya. Bolehlah hal ini kita perdebatkan. 🙂

Hilangkah Tradisi Bercerita?

*Dari #EduStory bersama @IDcerita
Senin 10 Oktober 2011

Mau gabung #EduStory @IDcerita malam ini. Temanya “Hilangnya Tradisi Bercerita”. Benarkah demikian?

Saya masih percaya betul, tradisi bercerita masih ada, tetapi banyak yang berubah bentuk, lebih digital.

Sekarang sudah banyak buku dongeng singkat 7 menit yang mudah dibacakan orang tua atau pengasuh untuk anak-anak.

Dongeng dalam bentuk digital, rekaman, juga mudah diunduh di internet. Warga kota pasti mudah mengakses ini.

Gimana dengan di daerah? Sejumlah tradisi bercerita lisan masih dipertahankan dalam bentuk kesenian daerah atau dongeng simbah.

Beragam sastra lisan adalah bentuk #EduStory juga. Didong, wayang, makyong, atau teater rakyat contohnya.

Sastra lisan ini kebanyakan diperdengarkan untuk usia dewasa, tapi tak jarang juga khusus diperdengarkan untuk anak-anak.

Di Papua, ada “mop” yaitu tradisi bercerita di depan orang-orang, biasanya lelucon. Anak-anak juga sering melakukan ini.

Intinya sih saya percaya diri, tradisi bercerita akan terus ada, selama masih banyak yang peduli pada pendidikan.

Sastra Itu Upil

Di sebuah kelas bahasa Indonesia, saya melempar tanya, apa itu sastra?

Sastra adalah upil. Kotoran hidung yang dianggap jorok itu mempunyai rasa yang khas. Asin. Rasa itu menambah bumbu dunia, sama seperti makanan. Upil juga diasosiasikan seperti emas, yang harus digali di kehidupan. Emas juga melambangkan benda berharga yang harus dicari manusia, begitu ujar salah satu murid kelas 10.

Saya tertawa. Saya senang. Murid saya yang berusia 15 tahun itu telah berusaha menyampaikan pendapatnya tentang apa itu sastra. Bagi sebagian besar murid SMA kelas satu di tahun pelajaran baru ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang menggunakan kurikulum asing mungkin dianggap bukan pelajaran penting. Lalu ketika mereka mendapati ada kewajiban membaca karya sastra, sebagian besar murid keburu cemas, sebab membayangkan novel yang tebal, puisi yang sulit dimengerti, atau drama maha absurd.

Maka, saya ajak mereka bermain di awal pertemuan pelajaran. Setelah berkenalan dan mencoba mengingat nama murid satu kelas, saya ajak mereka mengingat kembali, apa sebenarnya sastra itu? Apa benar sastra itu sesuatu yang aneh, sulit, dan tidak menarik untuk dipelajari? Nyatanya, mereka sudah punya konsep tentang sastra, meski sulit merangkainya dalam kalimat. Mereka tahu sastra itu cerita, sastra itu pantun, sastra itu pentas drama. Saya kemudian meminta mereka membuat gambar yang mengilustrasikan pemahaman mereka tentang apa itu sastra. Hasilnya ternyata menarik sekali. Gambar yang mereka buat lucu-lucu.

Ada murid yang menambahkan sifat sastra dalam penjelasan gambarnya. Pemahaman ini dituangkan dengan metafora yang menarik.

Dan sebagian besar murid akan menuliskan kecemasannya tentang sastra, bahwa sastra itu sesuatu yang absurd, atau juga melukiskan manfaat sastra dalam kehidupan.


Dari gambar-gambar ini saya mendapat lebih dari jawaban apa itu sastra. Coretan mereka saya pindai dan jadi penilaian awal sejauh mana pemahaman mereka tentang sastra, sehingga saya bisa menentukan target pencapaian pemahaman berikutnya. Dari kegiatan ini saya juga jadi kenal pribadi mereka. Buat saya, mengenal pribadi murid itu penting agar guru bisa tahu cara yang tepat untuk menyampaikan ilmu kepada berbagai karakter dalam satu kelas. Kesenangan murid pada Spongebob tadi misalnya, bisa saya jadikan bekal untuk menggunakan tokoh-tokoh Bikini Bottom ketika membuat contoh dalam pelajaran berikutnya nanti. Saya perlu menyiapkan cara yang sebisa mungkin dapat dipahami sebagian besar anak, yang dipahami anak yang menggunakan metafora bunga atau yang menggunakan metafora monster.

Saya percaya, gambar mereka tadi berangkat dari apa yang dekat dengan diri mereka. Lucunya, hal itu terbukti pada kisah murid yang mensimilekan sastra seperti upil tadi. Teman-teman anak itu tertawa sambil membocorkan rahasia di depan kelas, bahwa murid saya itu memang suka mengupil. Si anak hanya tertawa, sambil mendekatkan jari ke arah hidungnya. 🙂

podcast

Beberapa waktu ini saya baru mengenal kata ‘podcast’. Media ini berarti sebuah file rekaman yang dapat disebar dan diunduh via internet. Podcast dapat berupa rekaman audio atau video yang memuat informasi atau cerita. Nah, ini pas sekali jadi media belajar di era teknologi informatika sekarang ini. Cara membuat podcast juga mudah. Rekam saja cerita atau info yang ingin kita sampaikan dengan recorder, alat rekam di handphone, atau bahkan di studio rekaman.

Saya lalu coba membuat podcast cerita anak dari Dongeng Minggu yang biasa saya bawakan tiap bulan di rumah. Suara direkam, tambah musik, dan hasilnya, jadilah dua cerita “Suara Yang Luar Biasa Indah” dan “Bebek Ingin Terbang”. Coba dengar dan unduh deh di koleksi podcast http://indonesiabercerita.org.

Kata teman dan murid saya, podcast saya lucu, walau masih harus diperbaiki di sana sini. Buat saya, modal utama membuat podcast yang menarik adalah bahasa yang tepat dengan intonasi dan artikulasi yang jelas. Saya masih semangat untuk membuat podcast lainnya. Yuk, coba juga!