Buku yang Kubaca Sepanjang 2018

Sekadar catatan pengingat tentang buku-buku yang berhasil tuntas kubaca dan satu kalimat kesan tentangnya.

  1. Bakat Menggonggong, Kumpulan Cerita Pendek, Dea Anugrah. Kesan: Penuh metafora yang kurang kunikmati enaknya.
  2. Rough Lawyer, novel, John Grisham. Kesan: Lumayan seru untuk mengisi waktu luang.
  3. Ilusi Imperia, novel, Akmal Nasery Basral. Kesan: Kita butuh banyak novel jurnalis macam ini.
  4. Silk Worm, novel, Robert Galbraith. Kesan: Masih tentang detektif Strike yang seru dan kompleks dan endingnya asyik.
  5. The Dinner, novel, Herman Koch. Kesan: Aku suka detailnya yang menggambarkan pikiran orangtua tentang anaknya.
  6. The Woman in Cabin 10, novel, Ruth Ware. Kesan: Akhirnya bikin kagetĀ  misteri yang menyenangkan.
  7. A Head Full of Ghost, novel, Paul Tremblay. Kesan: Sungguh ngilu dan seram ini tapi sungguh membukakan pikiran kita yang ngakunya tidak sakit jiwa.
  8. Daddy’s Little Girl, novel, Vinca Calista. Kesan: Ribet bahasanya dan terlalu aneh.
  9. Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala, novel, Endang Moerdopo. Kesan: Bermanfaat sekali untuk membantuku mendapat gambaran tentang Malahayati untuk kudongengkan di Taman Mini.
  10. Laut Bercerita, novel, Leila S. Chudori. Kesan: Sungguh menambah pengetahuan gambaran tentang kekejaman penculikan 98.
  11. Himne Bunga-Bunga di Ladang, kumpulan cerpen, Clara Ng. Kesan: Agak kaget baca Clara Ng yang berbeda dengan cerita anak yang biasa kubaca.
  12. We Have Always Lived in the Castle, novel, Shirley Jackson. Kesan: Suram dan serem.
  13. Aruna dan Lidahnya, novel, Laksmi Pamuntjak. Kesan: Absurd tapi detailnya enak, tidak seringan filmnya.
  14. Tawa Gadis Padang Sampah, kumpulan cerpen, Ahmad Tohari. Kesan: Sederhana dan menyentuh kehidupan orang kecil seperti yang biasa Ahmad Tohari lakukan.
  15. Fatimah Chen Chen, novel, Motinggo Busye. Kesan: Terlalu melodrama tapi tetap perlu kita baca.
  16. Na Willa, novel, Reda Gaudiamo. Kesan: Ringan dan asyik dibaca karena dalam bahasa kanak-kanak.
  17. Na Willa dan rumah dalam gang, novel, Reda Gaudiamo. Kesan: Lebih asyik dari Na Willa buku satu.
  18. Mata Malam, novel, Han Kang. Kesan: Habis baca ini aku bengong ikut ngilu baca sejarah Korea dari sudut pandang mata yang lihat mayat tiap hari.
  19. The Woman in The Window, novel, A.J. Finn. Kesan: Misteri tetangga yang asyik dikepoin.
  20. Second Chance Revenge, novel, Anggun Prameswari. Kesan: Pop tapi asyik.
  21. Hush Little Baby, novel, Anggun Prameswari. Kesan: Bangga karena temanku ini sukses bikin novel misteri drama rumah tangga yang endingnya mengejutkan.
  22. Tiba Sebelum Berangkat, novel, Faisal Oddang. Kesan: Buku bagus tapi aku nggak yakin bisa bawa ini jadi bahan bacaan wajib anak SMA.
  23. Kasur Tanah Cerpen Pilihan Kompas 2017, kumpulan cerpen. Kesan: Nah ini pasti aku pakai buat tahun ajaran depan.
  24. Kisah dari Sumba, cerita anak, Maria Monica Wihardja. Kesan: Ilustrasi dan fontnya bagus.
  25. Balada si Roy, novel remaja, Gol A Gong. Kesan: Klasiknya kisah anak muda 80-an. Agak membosankan di awal tapi makin akhir seru juga.
  26. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, catatan Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer. Kesan: Merinding sampai terbawa tidur dan kepikiran terus selama aku bawa pergi ke Pulau Buru.
  27. Gadis Pantai, novel, Pramoedya Ananta Toer. Kesan: Bolak-balik baca ini karena jadi buku wajib kelas 11 sekolahku tapi nggak pernah bosan, selalu nemu sesuatu perasaan haru yang baru.

Memahami Badai di In The Eye of The Storm

Saya ingat, pertama kali mengenal Brilliant Yotenega pada tengah tahun 2011 di Obsat. Ia terlihat sebagai orang yang tenang dan percaya diri. Saya diberitahu teman bahwa ia mendirikan nulisbuku.com, sebuah perusahaan online selfpublishing. Ia tampak tertarik dengan saya. Dugaan saya, karena dia tahu saya guru yang tentunya punya banyak murid, saya berpeluang untuk bekerja sama dengannya terkait penulisan buku. Namun, rupanya ada hal menarik lain yang membuatnya tersenyum terus. Ada nama anaknya dalam nama saya: Arne.

Sejak itu sesekali kami berbincang di chat media, membicarakan kemungkinan penerbitan buku untuk murid saya. Sayang, sampai sekarang belum juga terwujud. Lalu tiba-tiba 2013 ini, saya lihat di twitter, Ega (begitu ia biasa disapa) menerbitkan buku. Segera saya kontak, ingin memiliki buku itu. Rupanya memang ia begitu baik, ia malah memberikan cuma-cuma pada saya.

In The Eye of The Storm rupanya adalah kisah hidup Ega, persisnya kisah kebangkrutannya. Membaca buku kecil ini cukup menyenangkan rasanya. Saya kan tak tahu banyak tentang Ega, jadi membaca buku ini rasanya seperti dipercayakan untuk mendengar curhat Ega langsung. Persis dalam sekali pertemuan, saya jadi tahu badai apa yang menyulitkan hidup Ega di awal pernikahannya.

Mulanya saya merasa, di buku ini Ega agak melebih-lebihkan penderitaan yang ia alami. Di awal menikah, ia bangkrut dan jadi pengangguran. Tapi ia masih punya mobil, masih bisa sewa kos 2,1 juta per bulan. Info itu sontak mengganggu saya. Menurut saya itu belum menderita amat. Saya yang tak punya mobil dan sewa kos sepertiga uang kos Ega, masih tidak merasa menderita. Sekarang pun saya sedang di masa awal pernikahan, dan suami saya tidak bekerja formal di kantor.

Saya tuntaskan buku itu. Lalu saya merenung. Hei, setiap orang kan punya penderitaan masing-masing. Badai hidup tiap orang tidak sama besarnya. Buat Ega, badai itu memakan hidupnya dengan lumat. Buat saya, ada juga badai besar, yang mungkin tidak seberapa bagi orang lain. Ega dan saya masih beruntung, masih bisa makan dan punya fasilitas hidup lumayan. Sementara itu, masih banyak orang lain yang mengalami badai yang teramat parah, terlalu parah.

Buku ini mengajak saya berpikir lagi. Menceritakan badai hidup kita rupanya bisa jadi berguna untuk orang lain. Meski berat rasanya berbagi kisah sedih. Seperti kata Ega di awal buku: “Ini adalah sebuah kisah yang tidak mampu saya ceritakan sebelumnya.” Namun sesudah badai itu berlalu, kita bisa membaginya, mengambil pelajaran darinya.

Ega menaruh kutipan-kutipan menarik di tiap bab buku ini. Satu yang menarik ada di akhir buku, yang membuat saya belajar kembali saat menghadapi hidup yang penuh badai: Sebab ketika aku menjadi lemah, pada saat itulah aku kuat. – St. Paul