Biasanya para lelaki lain tidak akan terlalu mempedulikan warna peralatan berkebunnya. Selama berfungsi, warna tidak jadi persoalan berarti. Namun, itu tidak berlaku untuk Rudi. Sekop, garu, ember, botol penyemprot, sebutlah semua peralatan berkebunnya punya bagian yang berwarna kuning. Dengan sengaja ketika membeli alat-alat itu dulu, warna jadi pertimbangan penting.
Lelaki itu mengambil sekop kecil berwarna kuning dan garu kecil berwarna sama. Dengan sandal jepit yang sudah mulai melengkung, ia berjalan dari teras menuju kebun kecil di halaman rumah. Diedarkannya pandangan, sekilas mengamati daun-daun hijau sayuran. Bayam dan terong muda. Beberapa daun tampak kuning pupus, bukan kuning sempurna, melainkan kuning bercak seolah daun itu dijatuhi tahi burung. Rudi lupa kapan terakhir kali ia menyemprotkan pupuk daun untuk tanaman itu. Mungkin setelah ini ia akan mengurusnya. Mungkin, jika energinya masih tersisa.
Rudi telah tiba di tujuannya. Sebuah tempat yang semestinya terlihat biasa saja, tetapi tidak untuknya. Ia berjongkok. Tangan tertahan di kiri kanan paha. Sekop dan garu berada di satu genggaman tangan. Tanah gembur di hadapannya, bekas penganiayaan paksa yang Rudi lakukan pada tumbuhan yang semula hidup di atasnya. Tanah tempat tumbuh pohon bunga kenanga. Tanah yang dulu pernah dikenal oleh Kenanga.
Kemarin sore Rudi mencabut pohon bunga kenanga itu. Batang pohon itu tidak terlalu dalam tertanam. Bunganya sedang banyak, menguarkan aroma harum tipis di hidung Rudi. Namun, aroma itu tak mampu menghentikan langkahnya untuk setidaknya berpikir ulang. Niatnya sudah terlalu kuat. Emosinya sudah terlalu sesak. Kenanga ini harus dicabut, seperti juga Kenanga yang hidupnya telah tercabut.
Dengan sebuah hentakan kuat Rudi menarik perdu itu. Kayunya masih belum begitu kuat, akarnya juga belum lama terikat. Pohon bunga itu seolah tak menolak dicabut. Rudi justru semakin marah. Ia mengharap akan terjebak pada adegan tarik menarik anak yang malas diajak sekolah. Namun, tidak. Pohon itu seakan menyerahkan kayu kecilnya melayang dari tanah. Enggan dipaksa oleh lelaki yang tengah kalut jiwanya. Rudi mendengus. Betapa mudah pohon ini menyerah. Kesal di hatinya mulai bercampur dengan sesak. Kau telah mencabut dirimu sendiri, kau telah mencabut hatiku mati. Pohon kenanga itu telah berpisah dari tanah.
***
Kenanga pertama kali Rudi temukan di sebuah taman dekat kantin kantornya. Ia tidak tumbuh di tanah taman yang hampir seluruhnya ditutupi rumput itu. Kenanga hidup dan berjalan dengan kakinya. Perlahan langkahnya mendekat menuju meja Rudi siang itu. Rudi dan dua temannya sedang makan, seperti rutinitas normal yang dilakukan orang-orang di taman itu. Rupanya perempuan itu teman dari Fajar dan Boni, kedua teman Rudi tadi. Si perempuan menjabat tangan Rudi dengan kesopanan yang wajar, sambil menyebutkan nama dengan suara yang terdengar lemah di telinga: Kenanga.
Kenanga lalu ikut duduk satu meja dengan mereka. Sepertinya agak terpaksa usai ia menatap semua meja lain yang tampak penuh siang itu. Ia memesan es teh manis dan seporsi nasi goreng, lalu mendengarkan Fajar yang sibuk membahas laporan keuangan yang sedang ia kerjakan. Merasa senasib diburu deadline yang sama, mereka pun kemudian menertawai angka-angka yang sama, tumpukan berkas yang sama tingginya, meskipun suara lemah tawa Kenanga tenggelam di antara tawa para lelaki di meja itu. Rudi sempat menebak apakah yang menyebabkan perempuan ini merasa tak nyaman duduk di antara tiga lelaki begini. Karena ia tampak bolak-balik melihat meja-meja lain. Seolah berharap meja lain segera kosong dan ia dapat terbang pindah ke sana.
Dari ekor mata sebelah kanan, Rudi memperhatikan. Mata Kenanga selalu mencari-cari, abai pada dirinya yang ada di depan. Perempuan manis itu juga belum berubah posisi duduk. Bahkan juga tidak banyak bergerak. Jika Kenanga menggerakkan tangan, itu karena ia ingin menyendokkan nasi dari piring. Setelah menyuap, ia akan meletakkan pergelangan tangan di tepian meja. Begitu terus, setidaknya sampai setengah nasi di piringnya hampir habis. Bola mata Rudi bergulir memperhatikan teman lelakinya. Fajar, seperti biasa, sibuk bicara sambil mengunyah sambil sibuk menggerakkan kedua tangan. Boni menyuap makanan lalu mengaduk-aduk es teh lalu merapikan rambut lalu mengetuk-ngetukkan jari di meja. Rudi sendiri, selalu menggoyang-goyangkan kaki tanpa arti.
Ketika Fajar akhirnya berhenti bicara dan menyuapkan makanan, Rudi mengambil jeda yang ada untuk bertanya pada Kenanga.
“Kenanga itu nama bunga, kan, ya?” entah mengapa pertanyaan itu yang terlintas. Rudi sedikit khawatir jika pertanyaannya dianggap terlalu bodoh.
“Oh, iya,” sahut Kenanga. Matanya melirik pada Rudi. Jari kirinya bergerak menyibakkan rambut agak ikalnya ke punggung. Sebuah gerakan baru, pikir Rudi. Karena gerakan itulah kini lehernya tersingkap. Telinganya juga. Rudi melihat tak ada anting atau giwang di daun telinganya. Namun, Rudi menemukan sebuah bros berbentuk jari-jari bunga tersemat di bawah kerah blasernya. Bros keemasan itu menyembul di dada Kenanga, membuat Rudi lekas memalingkan wajahnya.
“Tahu kan kenanga yang kayak apa?” tanya perempuan itu, yang seolah tahu Rudi tadi telah mencuri pandang ke arah dadanya. “Yang kayak ini…” ujar Kenanga menunjuk bros di dadanya.
Fajar dan Budi sibuk mengunyah sambil menyimak percakapan di sebelah mereka. Rudi merasa canggung, tapi buru-buru membalas ucapan Kenanga.
“Ah, iya, saya ingat sekarang, bunganya warna kuning, kan? Kuning campur hijau gitu. Panjang-panjang kelopaknya. Eh, bukan kelopak itu, ya? Seperti, apa ya… bintang laut.”
“Iya, dan harum bunganya,” Kenanga menambahkan sambil tersenyum.
Fajar dan Budi tersenyum berbarengan. Rudi dan Kenangan sadar apa yang tengah terjadi. Malu-malu keduanya kembali menekuni makanan masing-masing.
“Eh, cek grup, besok Bu Bos mau kasih kita proyek baru!” ujar Fajar usai mengecek ponsel. Budi langsung mengambil ponselnya. Kenanga tidak. Ia masih berkutat dengan nasi goreng. Rudi memerhatikan gerak itu semua sambil berharap bisa melanjutkan percakapan tentang bunga lain kali.
***
Rudi masih berjongkok di depan tanah bekas pohon kenanga itu pernah hidup. Oh, yang kemarin hidup dan telah ia buat mati, koreksinya. Tak ada lagi jejak yang menandakan pernah ada pohon kenanga di sana. Bahkan bunga yang rontok pun tidak ada. Dalam emosi kemarin sore, Rudi membuang pohon kenanga itu sekaligus memunguti ceceran daun dan bunga yang jatuh. Seolah tak ingin menyisakan satu petunjuk pun di tempat perkara. Namun, kini saat Rudi berjongkok di depan tanah itu, entah angin mana yang membawanya, Rudi menghidu kembali bau bunga kenanga. Bau yang sama seperti pertama kali ia mengambung wewangian yang menguar tipis dari tubuh Kenanga. Bau yang meninggalkan bekas harum di sofa café tempat mereka bercanda. Bau yang kemudian sering ia hirup dengan jarak intim dari leher perempuan itu. Bau yang telah begitu melekat di batang otak Rudi. Oh, Kenanga yang berbau bunga kenanga. Semacam simbol yang sangat mudah dicerna.
Karena Rudi menyukai hal-hal yang simbolik, ia pun mencoba mengabadikan sosok Kenanga di rumahnya. Rudi ingat betul tentang sore yang satu itu. Sepulang kerja, Rudi menunggu Kenanga di lobi kantor. Duduk di sofa lobi, kaki Rudi terus bergoyang tak berhenti. Ia telah bersiap menyampaikan rencana yang membuatnya sangat cemas dua hari belakangan itu.
Kenanga muncul dengan langkah teraturnya seperti biasa.
“Kamu mau ajak aku ke mana?” tanya Kenanga curiga.
Rudi tak langsung menjawab. Matanya memandang ke scarf jingga yang bergelung di leher Kenanga, berpadu lembut dengan blus kuning pupus yang menyelimuti tubuh kecil perempuan itu.
“Nggak ajak Fajar dan Boni? Kayaknya mereka masih ada di atas,” tanya Kenanga lagi. Rudi menyesal tadi ia tidak langsung saja menyebutkan tujuan sewaktu mengirim pesan ke ponsel Kenanga. Rudi akhirnya menatap mata sayu perempuan itu.
“Saya mau ajak kamu ke tukang bunga. Yuk, kita jalan sekarang!”
Rudi benar-benar mengajak Kenanga ke tukang bunga. Agak jauh berkendara dari gedung-gedung perkantoran tempat mereka bekerja, ada deretan tukang yang menjual berbagai tanaman. Rumput dan pohon besar siap tanam ada. Segala rupa dekorasi taman juga ada. Namun, Rudi sudah bulat ingin mencari satu jenis bunga saja. Kemarin ia sudah ke tempat ini juga untuk memesan tanaman yang ia inginkan. Persis saat Rudi melongok-longok mencari ke mana si bapak tukang bunga berada, Kenanga bertanya.
“Kamu mau cari apa, Di?”
Rudi tadinya ingin memulai menjelaskan sendiri. Ia sudah punya susunan kalimat yang telah ia susun rapi dan ditaruh di benak. Tapi karena Kenanga sudah lebih dulu bertanya, Rudi malah jadi bingung mau memulai kalimatnya dari mana.
“Saya mau menanam bunga. Untuk di halaman rumah yang baru saja saya bayar DP-nya beberapa bulan lalu…” Rudi menaruh jeda di ujung kalimat itu.
“Oooh, jadi mau pamer kamu ambil rumah, ya?” sambar Kenanga menggoda.
Rudi merasa dirinya kurang tegas. Mungkin Kenanga pikir ini hanya lelucon. Mungkin Kenanga pikir ia mengajak perempuan ke tukang bunga sekadar untuk membantu menawar harga. Akhirnya Rudi memilih untuk menjelaskan semuanya kepada Kenanga, sekarang juga.
“Saya sudah pesan satu jenis bunga sama bapak yang jual di sini. Bunga kenanga…” Rudi memberi ruang pada kalimat tadi, memberi ruang pada Kenanga, kemudian melanjutkan, “Saya mau tanam bunga kenanga di rumah saya nanti, untuk simbol awal hidup baru. Saya… mau ajak kenanga, eh kamu, Kenanga… untuk tinggal bersama saya di rumah itu.” Rudi melepas napas yang sejak tadi ditahan.
Kenanga diam saja. Perempuan itu masih berdiri tegak di tempatnya dan menatap Rudi dengan pandang setengah kosong. Rudi berpikir cepat, menduga apakah ada kalimatnya tadi yang menyinggung perasaan. Seperti teringat sesuatu, kemudian Rudi menambahkan buru-buru.
“Maksud saya, saya ingin menikah dengan kamu, Kenanga…”
***
Sekop dan garu kuning mulai bekerja. Rudi menyekop tanah yang secoklat warna kulitnya itu hingga terbentuklah lubang di hadapannya. Tanah mulai menumpuk di kanan kiri lubang. Lubang itu masih belum cukup dalam, tetapi Rudi harus berhenti karena menemukan batu di dalam lubang itu. Kenapa ada batu besar di dalam tanah ini, pikir Rudi. Sekop tergeletak di tanah, lelah tak sanggup melawan kerasnya batu. Rudi berpikir untuk mengambil cangkul, tapi urung karena rasanya cangkul pun tak akan bisa menembus kerasnya batu. Rudi mengorek tanah yang masih sedikit tersisa di atas batu dalam lubang itu. Batu ini datar. Oh, mungkin ini peluran semen. Mungkin pengembang rumah ini mau membuat batu itu sebagai pondasi pagar? Tapi aneh, mengapa kemudian malah tertutup tanah untuk taman?
Rudi mulai kesal. Rencananya hari ini harus terus berjalan. Ia harus menanam bunga baru pengganti kenanga yang telah dicabutnya. Harus hari ini. Tapi ada batu yang tiba-tiba menghalangi rencananya. Ah, dasar batu. Keras kau seperti Kenanga. Keras kepala! Kepala batu! Rudi mengumpat terus. Tiba-tiba terlintas gambaran alat yang cocok untuk mendongkel atau memecah si batu. Dengan sigap Rudi berdiri, berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya sedikit menyisakan noda kotor pada lantai. Rudi tidak hirau. Ia segera ke dapur mengambil kotak tempat penyimpanan alat pertukangannya. Kotak hitam itu akhirnya ia temukan berdiam di bawah bak cuci piring. Ia mengeluarkan alat itu, entah kenapa sambil tersenyum pedas. Akan kuhancurkan batu itu dengan bor.
Kabel ke colokan listrik telah terpasang. Rudi mengangkat bor, memegangnya seperti anak-anak yang bangga punya mainan pistol baru. Ketika tombol ditekan, mata bor itu berputar dan berderu. Rudi kembali berjongkok di depan lubang. Batu itu harus dihancurkan. Sekeras apapun harus dihancurkan.
Mata bor berdesing ngilu ketika menghunjam kerasnya batu. Debu dan serpih halus berhambur. Tepat seperti dugaan Rudi, batu sekeras ini pun pasti bisa ditembus. Rasa sedih menyelinap di benaknya. Sepertinya memang cuma keras hati Kenanga yang tidak bisa ditembusnya.
***
Rudi masih ingat betul, Kenanga terdiam, mungkin kaget mendengar pernyataan cinta Rudi yang tidak diduganya. Masih terasa hangat pula hati Rudi mendengar Kenanga menjawab ‘ya’ pada lamarannya. Setelah itu, Rudi meninggalkan Kenanga sebentar. Ia masuk mencari bapak tukang kebun, mengambil pesanannya. Sebatang pohon kenanga dalam kantong plastik hitam. Rudi segera menggandeng tangan Kenanga dan mengajaknya pulang. Si bapak penjual bunga mengantar kepergian mereka dengan senyum yang terkembang.
Mengajak calon istri pergi ke calon rumah. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan daripada itu. Sudah lewat magrib ketika mereka sampai di rumah bercat putih bernomor tiga.
“Inilah rumahku. Mmm, rumah kamu juga nantinya,” ujar Rudi malu-malu. Kenanga tersenyum melihat Rudi. Ia tidak memandangi rumah itu sungguh-sungguh. Hanya Rudi yang ia perhatikan. Jika Rudi mau mengingat peristiwa itu lebih teliti, semestinya Rudi bisa menangkap raut sendu yang hinggap di wajah Kenanga. Bahagianya tak seperti bahagia perempuan pada umumnya ketika dilamar seseorang. Ada kerut tipis di kening Kenanga yang menyiratkan entah sesuatu apa yang berlintasan di benaknya. Bayang gelap magrib menyelimuti wajah Kenanga, sehingga Rudi tidak bisa lekas membaca. Rudi terlalu buta karena keburu bahagia mendengar sekadar kata ‘ya’.
Maka dari itu, Rudi jadi seorang buta yang tolol ketika dua bulan kemudian ia tidak bisa menemukan Kenanga. Perempuan itu menghilang. Begitu saja, tiba-tiba. Padahal beberapa hari sebelumnya Rudi masih bisa menghubunginya. Sebulan sebelumnya Rudi masih bisa mengajak Kenanga kembali ke rumah nomor tiga. Menanam pohon bunga kenanga di tanah taman yang agak kering akibat kemarau. Rudi menyekop tanah dengan perkakas yang baru dibelinya. Sebetulnya ia sudah punya cangkul, tapi hanya bergagang kayu polos. Demi Kenanga, atau demi pemujaan simbolisasi rasa cinta, ia membeli lagi perkakas baru. Semua berwarna kuning, warna yang sering melekat pada Kenanga. Penuh sukacita ia menanam pohon bunga itu. Kenanga juga membantunya menyiram. Tak banyak kata yang mereka perbincangkan saat itu. Rudi hanya ingat, usai membersihkan tangan dari tanah, dengan telapak tangan yang masih basah, Rudi memegang tangan Kenanga, mendekatkan tubuh ke tubuhnya. Bibir Kenanga ingin dilumatnya, tetapi wajah perempuan itu menunduk. Rudi mengurungkan gerak.
Maka Rudi sempat menduga apakah hilangnya Kenanga disebabkan oleh tingkahnya yang tak sopan. Rudi juga baru menyadari bahwa tidak banyak pengetahuan yang ia miliki tentang perempuan itu. Dari Fajar dan Boni, Rudi juga tidak menemukan petunjuk yang berarti. Kata mereka, Kenanga memang teman, tapi hanya sekadar teman kerja di gedung kantor itu. Tak ada yang mereka tahu tentang urusan pribadi Kenanga. Mereka hanya tahu biodata sederhana, bahwa Kenanga bekerja di lantai 21, tinggal sendiri di daerah Tanah Abang, dan berulang tahun di bulan April entah di tanggal berapa. Fajar dan Boni justru merasa aneh mengapa bisa Rudi hanya mengetahui tak lebih banyak dari yang mereka tahu. Bahkan terbilang hanya tahu sedikit sekali tentang perempuan yang telah diajaknya menikah.
“Kamu sudah pernah bertemu orang tuanya? Jangan-jangan dia lagi pulang kampung? Kampungnya di mana memangnya?”
“Kamu bikin dia marah barangkali? Pernah nggak, dia bilang nggak suka sama tindakan kamu? Kamu sih. Hati-hati makanya sama orang selembut Kenanga.”
“Sudah cek sosmednya? Dia sudah off di mana-mana lho. Apa dia terlibat hal yang ilegal? Kalau enggak, kenapa dia sampai harus bersembunyi?
“Atau jangan-jangan dia resign, ya? Rasanya dulu dia pernah bilang mau pindah ke gedung tetangga. Eh tapi itu cuma bercanda kali, ya?”
Yang muncul hanya dugaan-dugaan. Tak ada satu pun kepastian. Rudi sudah mengecek ke kantor Kenanga, dan sudah mendapat kabar bahwa benar Kenanga telah mengundurkan diri. Entah ke mana, perempuan itu tak juga minta surat rekomendasi. Rudi mati langkah. Ia masih belum bisa menerima kepergian Kenanga. Perempuan itu begitu keras kepala, hanya mengirimkan satu pesan perpisahan lewat ponsel berbunyi “Maaf, aku tak bisa jadi kenanga.”, lalu kemudian mati sebab tak bisa dihubungi berkali-kali.
Kemarahan itu muncul lagi. Bor dihunjam dalam-dalam. Ke titik sana, ke titik sini. Namun, tusukan bor rupanya hanya membuat batu itu berlubang-lubang. Batu tidak pecah sempurna. Seperti juga persoalannya, tak bisa pecah, musnah, dan sudah.
Rudi benci harus menyetujui bahwa Kenanga harus ia relakan mati. Mungkin ia masih hidup entah di mana, tetapi ia menghilang, jadi anggap saja dia mati. Rudi sungguh tak menyesal telah mencabut kenanga itu kemarin. Meski mencabut kenanga tak berarti pula mencabut kenangan. Namun, ia harus segera mengganti kenanga yang sudah tiada itu dengan pohon baru. Lalu batu ini? Seharusnya ini hanya perkara strategi.
Rudi bergeser sedikit, kembali menyekop tanah di sebelah lubang berisi batu tadi. Lubang diperluas, dan di atasnya akan ia tanam pohon bunga baru. Kemarin ia menemukan tumbuhan merambat ini. Daunnya banyak, berwarna hijau lebar, dan punya bunga merah ungu kecil-kecil. Kata bapak si penjual, namanya bunga air mata pengantin. Namanya sialan betul. Namun, Rudi langsung menyukai bunga itu, semacam menemukan simbol baru. Rudi akan menanam bunga itu dan merawatnya, entah sampai kapan. Semoga cukup sampai beberapa bulan ke depan, ketika luka hatinya tak lagi diperban. (*Nov 2015)