Karya Kedua: KISAH SERU BINATANG TERPOPULER DI DUNIA

Senang sekali buku ini akhirnya terbit! 😀

Ide menulis dongeng atau cerita anak ini sebetulnya sudah mulai hinggap di pikiran sejak mulai mendongeng di kegiatan Dongeng Minggu tahun 2010 dulu.

Aku mulai menawarkan proposal ke penerbit tahun 2014. Hingga akhirnya disambut oleh penerbit Cikal Aksara. Agak lama prosesnya karena kesibukan kedua pihak, sampai akhirnya naskah rampung tahun 2016. Lalu kebut ilustrasi dan sunting sampai akhirnya bisa terbit Juli 2017!

Sebenarnya ini adalah karya bersama aku dan Heru Rudiyanto, mas suami. Kami persembahkan ini untuk calon anak kami berdua kelak. 🙂

  • Judul: Kisah Seru Binatang Terpopuler di Dunia
  • Penerbit: Cikal Aksara
  • Tahun terbit: 2017
  • Kisah dongeng binatang tentang semangat berjuang, keberanian, dan pantang menyerah.
  • Berisi 20 cerita dan tips mendongeng untuk orang tua.
  • Dilengkapi barcode link video Youtube aku mendongeng dari tiga judul cerita.

Bermain Boneka BelKup ala Papermoon Puppet

Di sela super sibuknya acara sekolah bulan Oktober, beruntung aku masih bisa gabung di proyek boneka Belalang Kupu-Kupu (BelKup). Awalnya, tujuh relawan Ayo Dongeng Indonesia (Budi, Catur, Desri, Dhyan, Hendra, Maya, Rika) berguru ke Papermoon Puppet di Yogya. Selama tiga hari dua malam, mereka saling berkenalan dengan Papermoon dan tukar cerita. Besoknya setelah pemanasan, mereka belajar manipulating object  dan dilanjutkan dengan menyiapkan pentas kecil berkelompok. Prosesnya dari membuat cerita, membuat boneka, dan besoknya latihan menggerakkan boneka, berlatih cerita, kemudian pentas.

Lalu, semua ilmu yang didapat di sana dibagi deh dengan teman-teman lain di grup BelKup. Sampai akhirnya diputuskan BelKup pentas perdana di Festival Dongeng Internasional Indonesia 2017. Untuk edisi kisah “Biru” kemarin, tim BelKup adalah berikut ini.

  • Penulis naskah: Aio
  • Biru: Catur & Hendra
  • Ibu: Dhyan & Rika
  • Enggang: Budi
  • Peri-peri: Annisa, Desri, DeKa, Nia
  • Musik: Bonchie, Dandi Ukulele, Uncle Ardi
  • Narator: Arnel

 

Belakang (ki-ka): Dandi, Budi, Hendra, Catur, Rika, Dhyan, Ardi
Depan (ki-ka): Arnel, Desri, DeKa, Annisa, Nia, Bonchie

Meniupkan Nyawa Boneka

Produksi boneka ini termasuk kilat, hanya sebulan dan efektif dikerjakan hanya saat akhir pekan. Aku termasuk yang nggak sering bisa bantu produksi boneka kertas ini. Tapi pas sempat ikut datang produksi keroyokan karena diburu kejar tayang, aku belajar bahwa membuat boneka kertas ini sama sekali nggak asal. Jangan cuma lihat lalu bilang “Ah, gitu doang apa susahnya?” Kelihatannya mungkin hanya menggunting, menempel, dan mengecat, padahal aslinya ada proses yang paling susah, yaitu “meniupkan nyawa”. Papermoon bilang, orang yang akan mementaskan itulah yang mesti membuat boneka itu juga. Maka kedekatan hati antara pemain dan bonekanya sudah tercipta sejak awal. Lagipula, pemain yang membuat akan lebih paham apa yang harus dilakukan jika boneka mengalami kerusakan atau kendala apa-apa.

Coba tebak bahan apa saja yang dipakai untuk membuat boneka ini?

Boneka ini sudah seharusnya diperlakukan sebagai karya seni. Maka ketika menghidupkan boneka kertas ini, Kak Catur bilang pemain haruslah ikhlas. Biarkan boneka yang hidup dan bercerita lewat gerakannya. Lepaskan ego pemain yang biasanya jadi pusat perhatian. Pemain justru dilarang menunjukkan ekspresi wajahnya. Nah, ini dia tantangan yang cukup sulit buat kebanyakan pemain yang sehari-harinya pendongeng. Kak Rika bilang, bermain boneka ini berbeda dengan mendongeng dengan alat peraga boneka. Dengan boneka kertas ini, pemain justru tidak boleh melakukan kontak mata dengan penonton. Biarkan mata boneka saja yang bicara sendiri. Biarkan boneka yang hidup dan bercerita.

Ditambah Narasi

Kalau pernah menonton Papermoon, kamu bisa lihat bahwa kisahnya dewasa dan murni tak ada narasi dari pemain. Nah, berbeda dengan mereka, untuk kisah “Biru” kemarin, tim BelKup menambahkan narasi. Ini dilakukan demi para pendengar anak-anak dengan beragam usia dan kebutuhannya. Adanya narasi membuat kisah ini lebih mudah untuk dipahami. Aku yang bertugas menjadi narator juga bahkan harus membacakan dialog dengan ekspresi, misalnya percakapan Biru dan Enggang.

Karena aku jadi narator, aku gampang menangkap respon penonton di depanku. Ada yang bengong terkesima, ada yang berbinar matanya, ada juga yang bereaksi spontan menebak “Yah, Biru mati?” Ini tentu reaksi yang sangat menyenangkan. Apalagi usai acara ketika kami diminta berkumpul di teras gedung PerpusNasRI itu, wah… boneka-boneka ini dikerubungi anak-anak dan orangtuanya! Ada juga yang menatap kagum, mau pegang dan colek bonekanya tapi malu-malu. Banyak juga yang antre minta foto bareng. Menyenangkan sekali!

Semoga kisah Biru kemarin bermanfaat untuk para penonton, ya. Dan semoga BelKup bisa berkarya lagi di lain kesempatan! 😊

 

Foto dari: Dandi Ukulele & tim dokumentasi FDII2017

Menciptakan Dongeng yang Bernilai

Aku beruntung sekali bisa belajar kelas dongeng dari Sheila Wee, seorang storyteller profesional dari Singapura.

Yang paling kusuka dari workshop ini adalah para peserta diajak membuat cerita sendiri. Sheila memberikan kami outline cara membuat cerita yang bisa selalu kita pakai untuk membuat dongeng karya sendiri. Nah, berikut ini adalah Original Value Story Template dari Sheila Wee.

What value do you wish to promote? 

Decide on a main character for the story. For young children, an animal can work as well as human character.

Create a character first impression. Who is her/his name? Age? Create a brief description of the character’s physical appearance and their main character traits. Remember that you want your audience to identify with this character on an emotional level, so try and create similarities between the character and your target audience.

Decide the character’s goal. In this story what does the main character want, or need to do, or want or need to have? Remember that for the audience to identify emotionally with the main character, the goal must be one that they see as worthy, and one that they might have themselves, if they were in the same circumstances.

Why hasn’t the character got what he or she wanted? What has got in the way of achieving that goal? Is there an external problem? Or is it a character trait (a flaw) that is preventing progress towards the goal? Or is it a combination of the two? To make your story more effective, choose problems, and flows that are likely resonate with your audience. Can the value you are trying to transmit be brought out in the way the character struggles to overcome the obstacles?

What does your character do to overcome the obstacles that they face? How can you emphasise the struggles your character goes through to overcome these challenges? How does your character react to their struggles to achieve their goal? How can you show your character’s similarity to your target audience in the way they react to their challenges?

How is the story going to end? Remember that children need stories with a positive ending. Without baldly stating the value, is there a way in which you can emphasise the value in the conclusion of the story? How might you open up a discussion on the story and the values it contains?

Tips Membacakan Dongeng (Read Aloud)

Bagaimana cara asyik membacakan dongeng? Ini coba aku bagi beberapa tip untuk orangtua yaa…

Sebelum

• Pastikan orangtua dan anak siap untuk membaca dan mendengar cerita. Waktunya bisa di saat santai, atau sebelum tidur.

• Bebaskan anak memilih ceritanya sendiri. Jika anak memilih cerita yang sama terus, biarkan saja. Itu tanda dia nyaman dan menyukai cerita tersebut.

• Sebaiknya anak dan orangtua duduk berdampingan membaca bersama. Ini penting untuk membangun kedekatan hubungan anak dan orangtua.

Selama

• Bercerita tidak perlu lama-lama. Untuk anak balita cukup 5-7 menit. Untuk anak usia SD, maksimal 20 menit saja. Maka dari itu, kita perlu mengatur tempo membaca, atau memotong cerita dan melanjutkannya esok hari.

• Mulailah membaca sesuai nada dan suasana dalam cerita. Kisahkan secara dramatis. Jika tokoh dalam cerita berbisik, maka buatlah suara berbisik.  Jika ada suara binatang, tirukanlah bunyinya.

• Sebisa mungkin lafalkan setiap kata dengan benar. Ini bagus pula untuk melatih anak memahami setiap makna kata dan ujaran.

• Lakukan improvisasi. Misalnya, mengubah nama tokoh dalam cerita dengan nama anak atau minta anak membaca bagian tertentu, atau melakukan gerakan ringan dengan tangannya.

Setelah

• Akhiri cerita secara mengesankan, misalnya dengan helaan napas lega. Jangan langsung menutup buku begitu saja.

• Lakukan tanya jawab sederhana untuk melihat apakah anak memahami cerita tadi. Tanyai juga apa yang bisa ia pelajari dari cerita tersebut. Boleh juga orangtua menyisipkan tambahan pesan baik sebagai penutup.

 

Belajar dari Gulita

Waktu pertama kali dapat undangan mendongeng untuk anak kanker dan tuna netra, aku langsung merinding. Aku sudah beberapa kali mendongeng untuk anak kanker. Tapi, anak-anak tuna netra? Oh, buatku pribadi, mata sungguhlah anugerah indera yang luar biasa. Aku merinding karena tidak bisa membayangkan hidup dalam gulita, tak bisa melihat benda dan rupa. Aku selama ini juga belum pernah berinteraksi dengan tuna netra. Makanya aku lumayan cemas memikirkan dongeng seperti apa yang akan aku bawakan.

Dua hari sebelum pentas, aku dan Dandi Ukulele berlatih khusus untuk acara ini. Dongengnya aku ambil dari salah satu cerita yang ada dalam buku dongengku yang segera terbit (pasti aku kabari nanti ya!). Judulnya “Greyo”, tentang gajah abu-abu yang belajar berbagi. Kami mengulang ceritanya beberapa kali, menambahkan banyak deskripsi yang detail. Di otakku saat itu adalah memikirkan agar cerita bisa sejelas mungkin diterima para anak tuna netra.

Baru saat tiba di RS Dharmais aku tahu bahwa peserta acara ini banyak sekali. Kata panitia, seratus orang! Mereka datang dari empat yayasan, yaitu: Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia, Rumah Harapan Indonesia, Yayasan Mitra Netra, dan Panti Sosial Bina Netra Cahaya Batin. Sebelum acara dimulai, aku melihat satu-dua anak tuna netra. Mereka menuju toilet ditemani pendamping. Persis ketika aku melihat cekung di tempat bola mata itu seharusnya berada, mataku berkaca-kaca. Buru-buru aku bilang ke Dandi bahwa aku nggak kuat. Baper 🙁. Di otakku yang polos ini, aku bayangkan betapa menderitanya mereka tidak bisa melihat. Betapa menakutkannya hidup dalam gelap. (Iya, aku memang paling takut dengan gelap dan mati lampu :/ ). Tapi lalu Dandi bilang, “Menderita itu kan menurut lo. Bisa jadi mereka bisa menerima dirinya, nggak merasa menderita.” Ohh, langsung aku sadar. Kita (aku terutama) yang bermata dan berindera lengkap aja kadang masih nggak bisa menerima kekurangan diri sendiri. Anggota tubuh tidak lengkap, atau tidak berfungsi normal, bukan berarti harus merasa paling tak berdaya. Jadi, menerima kondisi diri sendiri itu datangnya dari hati dan pikiran yang bersyukur. 

Aku dan Dandi Ukulele, bersama Zelda.

Lalu datanglah seorang gadis tuna netra didampingi ibunya. Zelda dan ibunya. Mereka duduk di sebelah kami. Rupanya ini Zelda Maharani, yang belakangan baru kuketahui dia pernah jadi kontestan acara menyanyi Mamamia Indosiar 2014. Usianya kini 16 tahun. Sudah jago betul main piano (dan alat musik lain!) dan tentu saja hobi menyanyi. Dia juga hobi membaca buku, dan aktif di media sosial seperti remaja lainnya. Anaknya periang. Auranya menyenangkan. Aku yang nggak sempat ngobrol banyak aja langsung kesiram energi hidupnya. Semangatnya menular banget!

Merayakan ulang tahun untuk yang lahir bulan Mei. Yayasan Mitra Netra juga ultah Mei. Iya, aku juga!

Respon anak tuna netra saat aku mendongeng

Untuk sebuah pengalaman pertama, aku belajar saaangat banyak dari anak-anak tuna netra ini. Mereka jauh lebih menyimak (bukan cuma mendengar lho ya) ketimbang orang biasa. Tertawa kencang, teriak menjawab pertanyaan, ikut bernyanyi riang, justru datangnya dari mereka. Mereka kelihatan sangat enjoy mendengar dongeng musikal yang kami bawakan. And I’m sooo happy with that! #baperlagi

Kebayang kan, betapa kita sering kehilangan momen, justru saat mata kita terbuka, saat indera kita berfungsi semua.

Satu pelajaran lagi yang kudapat, waktu Zelda di atas panggung bilang begini ke sahabat netra dan kanker dan untuk penonton lainnya juga:

“Kalau kamu merasa sedih, ingat, yang bisa membuat kamu senang lagi hanya diri kamu sendiri.”

All Pics: Heru Rudiyanto

Dongeng Kak Arnel dan Kak Dandi Ukulele

picsart_10-11-08-41-35

Profil Dongeng

Kak Arnel dan Kak Dandi Ukulele adalah dua pencerita yang menggabungkan dongeng dan musik. Oleh karena itu, mereka biasa menyebut dongeng yang mereka bawakan sebagai “Dongeng Musikal”. Keunikan dari keduanya adalah mereka selalu membawakan dongeng-dongeng khas dan orisinal yang diangkat dari kearifan lokal Indonesia. Selain itu, lagu-lagu yang dibawakan keduanya sebagian besar adalah lagu baru gubahan sendiri. Meskipun mungkin belum familiar di telinga anak-anak, lagu-lagu ini diharapkan bisa mendongkrak kembali munculnya lagu-lagu anak yang saat ini sudah sangat sedikit jumlahnya.

Profil Kak Arnel

Nama lengkapnya adalah Arnellis. Di Depok, kota kelahirannya itu, dia dikenal sebagai Kak Nelli yang menggagas kegiatan Dongeng Minggu pada tahun 2010-2014. Kemudian ia pindah dan menetap di Tangerang Selatan, sehingga kini kegiatan dongengnya justru meluas dan dilakukan di beragam tempat. Sarjana Sastra Indonesia ini sekarang bekerja di bidang pendidikan sebagai guru Bahasa Indonesia. Minatnya banyak, dari menggambar, bersastra, bernyanyi, sampai menari. Yang pasti semuanya dilakukan untuk kecintaannya pada dunia anak dan pendidikan.

Profil Kak Dandi Ukulele

Pria yang tinggal di Depok ini bernama panggung Dandi Ukulele. Nama lengkapnya Dandhy Ratri Antoro dan sehari-hari biasa dipanggil Dandi. Bencana alam meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2010 membuatnya akrab dengan storytelling dan anak-anak. Ketika itu ia menjadi relawan di salah satu posko bencana, lalu membuat kegiatan mendongeng sebagai wahana trauma healing untuk anak-anak di sana. Sarjana Geografi ini sekarang bekerja sebagai konsultan pemetaan sambil memuaskan hobi jalan-jalan. Tak hanya itu, hobinya yang lain adalah bermain musik, dan hal ini pulalah yang membuatnya ingin memberikan sesuatu terhadap dunia musik anak-anak yang menurutnya saat ini sudah mengkhawatirkan. Ia kemudian memilih alat musik ukulele sebagai instrumen yang dimainkan karena menurutnya karakter suara yang dikeluarkan ukulele terdengar riang dan cocok untuk anak-anak.

 

Contact:

annarnellis@gmail.com & dandiukulele@gmail.com

Mendongeng di Halmahera

Jumat, 18 Oktober 2013

Pukul 07.00 pagi saya sudah berada di sebuah SD. Ya, pagi itu terasa berbeda sebab hari itu saya mendapatkan pengalaman pertama saya mendongeng untuk anak-anak di luar Jawa. Saya mendongeng untuk murid kelas 1-3 SD Inpres Buli, Halmahera Timur, Maluku. Baru sehari sebelumnya saya tiba di pulau penghasil nikel ini. Dari pesawat kita bisa melihat pulau ini sebetulnya cantik, tetapi sebagian wilayahnya sudah tak lagi hijau sebab ditambang oleh banyak perusahaan tambang di sana. Selebihnya, pulau ini dan juga pulau-pulau lain di sekelilingnya dilingkupi laut yang biru, terlihat indah sekali jika dipandang dari atas.

Itu juga yang saya ceritakan saat membuka dongeng. Bukan kebetulan saya membawakan dongeng tentang binatang-binatang laut. Sengaja memang karena anak-anak yang akan mendengarkan ini adalah anak laut, anak pantai. Saya senang sekali melihat wajah ceria mereka pagi itu. Sangat bersemangat!
IMG_0964

Keceriaan itu langsung saya manfaatkan. Saya mengajak dua anak untuk membantu saya mendongeng. Hampir separuh anak mengacungkan tangannya minta dipilih. Akhirnya, saya memilih Daniel, murid kelas 3 yang ternyata berasal dari Surabaya, dan Tasya, murid kelas 3, asli dari Buli.
IMG_0971
Mendongengnya jadi seru sekali karena bantuan dua anak hebat ini. Nah, video lengkapnya bisa dilihat di SINI .

Setelah itu, anak-anak kembali ke kelas, dan saya melanjutkan sesi dengan memberikan presentasi kepada orang tua murid. Judulnya adalah “Mendongeng untuk Pengembangan Karakter Baik Anak”. Saya hanya berbagi apa yang saya tahu tentang mendongeng. Sisanya, saya ingin para orangtua ini langsung mempraktikkan, ya, membuat dongeng. Dari mereka dan dari bocoran rekan di sana saya akhirnya tahu bahwa karakter warga Halmahera itu senang bercerita. Tentunya ini potensi yang baik untuk memberikan pengajaran pada anak lewat mendongeng.

Makanya, saya lemparkan kembali aktivitas pada orangtua. Mereka membentuk kelompok, berdiskusi menciptakan dongeng, kemudian mempresentasikannya. Hasilnya luar biasa!

Sebuah paket pengalaman yang berharga. Saya belajar banyak dari mereka tentang mendongeng, dan semoga kisah mendongeng saya juga berguna untuk mereka. 🙂