Saat cemas menunggu kabar dua orang kawan saya yang menjadi relawan di Merapi, saya menuliskan drama ini. Secara kebetulan, drama ini kemudian dipentaskan di acara sekolah untuk donasi Merapi. Drama singkat ini lalu dimainkan oleh murid-murid kelas 8. Apresiasi mereka apik. Penonton pun baik. Melalui cara lelang, drama ini mengumpulkan donasi yang lumayan besar dari orangtua murid.
Saya menuliskan naskah ini dalam cemas dan berselubung misteri. Maka yang tercipta ternyata kisah misteri pula. Ya, hidup itu kan memang misteri?
SIMBAH
Suasana di sebuah posko pengungsi bencana Gunung Merapi. Siang hari penuh debu. Tampak banyak orang beristirahat. Beberapa orang menahan sakit. Mereka berusaha melepas kecemasan.
Di sudut ruangan, seorang petugas jaga sibuk di meja. Seorang relawan datang terburu-buru ke arahnya.
Relawan : Masih ada satu!
Petugas : (kaget) Apa?
Relawan : Ya, masih ada satu di Cangkringan!
Petugas : Satu apa? Coba bicara yang jelas.
Relawan : Masih ada satu orang tertinggal di Cangkringan.
Petugas : (kaget lagi) Lho, bagaimana bisa?
Relawan : Ya, dia tertinggal. Lebih tepatnya, sengaja meninggalkan diri.
Petugas : (bangkit berdiri) Coba kamu tenang. Lalu coba jelaskan.
Relawan : Ya, aku baru dapat info tadi. Ada seorang nenek yang tertinggal di desa itu. Aku tahu langsung dari cucunya.
Petugas : Keluarganya ada di sini?
Relawan : Ya. Mereka mengungsi dua hari lalu. Satu bapak, satu ibu, dan satu anak kecil. Aku nggak sengaja ngobrol sama mereka. Lalu anaknya yang kecil itu bilang, simbahnya masih ada di Cangkringan.
Petugas : Lho, waktu mereka ngungsi, apa simbah itu ndak diajak?
Relawan : Itulah. Kata mereka, ndak mau.
Petugas : Hmm… (berpikir)
Relawan : (tidak sabar) Gimana? Kita harus samper, kan? Aku akan minta tim SAR balik ke sana. Siang ini.
Petugas : Tapi di sana masih bahaya. Tadi aku dapat info sore ini mungkin awan panas turun lagi.
Relawan : Berarti kita harus cepat!
Petugas : Hmm, baik. Nanti aku coba koordinasi dulu dengan tim. Coba kamu tanya dimana rumah simbah itu. Minta anaknya ikut.
Relawan : Ya! (beranjak pergi cepat)
Petugas : (mengerutkan dahi, bingung sendiri) Hmm, aneh, kenapa dia ndak mau ngungsi?
Sang relawan berjalan terburu-buru menuju seorang ibu yang sedang memijat suaminya. Mereka terlihat lelah. Mereka tidak sadar ada seseorang yang datang.
Bapak : Menil tadi kemana?
Ibu : Lha kan tadi diajak sama mbak-mbak. Bajunya merah. Diajak belajar katanya.
Bapak : Hoo… Yaa…
Relawan : Permisi, Pak, Bu.
Bapak : (menengok) Ya? Eeeh, mas.
Relawan : Ya, Pak. Kita harus ke rumah Bapak sekarang.
Bapak : Sekarang?
Relawan : Ya, mumpung masih bisa.
Bapak : Tapi saya ndak bisa ajak. Pokoknya Mas saja yang ajak. Saya ndak bisa.
Relawan : Iya, Pak. Saya akan ke sana dengan tim siang ini. Bapak ikut untuk kasih tau jalan. Bisa kan, Pak?
Bapak : (menghela napas berat) Bukan saya ndak mau, Mas. Tapi saya memang ndak bisa. Saya ndak bisa maksa ibu saya. (istri mengangguk-angguk)
Relawan : Tapi ini demi kebaikan bersama. Biar saya yang urus.
(Bapak menatap ibu. Ibu mengangguk memberi isyarat.)
Bapak : Yo wis, Mas.
Relawan : (tersenyum) Mari, Pak.
(Relawan dan Bapak berdiri, lalu pergi.)
Waktu berlalu. Siang hari. Suasana sepi. Desa Cangkringan tampak seperti desa mati. Semua tampak pucat, putih, dan tidak berdaya. Rumah-rumah tertutup abu tebal. Beberapa pohon tampak tumbang. Tidak terdengar suara apapun.
SAR 1 : (sambil melihat ke arah kaki) Masih panas!
SAR 2 : Ini sudah mending ketimbang kemarin.
SAR 3 : Sepatuku mulai meleleh.
SAR 2 : Masih untung pakai sepatu.
SAR 1 : Dimana simbah itu?
SAR 3 : Kita sisir hutan.
(terus berjalan mencari-cari)
Relawan : Biasanya kemana, Pak, kalau siang begini?
Bapak : Ngangon kambing. Atau cari kayu. Lha tapi kalau begini, ndak tau juga saya.
Relawan : Rumah kosong. Sekitar halaman nggak ada.
Bapak : Koyo’e di hutan. Biasanya cari-cari di sana, Mas.
Dari kejauhan, mereka melihat sesuatu. Salah seorang dari mereka berteriak tiba-tiba.
SAR 1 : Itu!
SAR 3 : Mana? Ah, iya itu!
SAR 2 : Itu bukan, Pak?
Bapak : Mana? Mana? Oh ya, mak! Mak! (berteriak)
Mereka berjalan bergegas. Terlihat seorang nenek tua kaget melihat rombongan datang.
SAR 3 : Simbah! Dari mana, Mbah?
(mendekat dan berusaha menggandeng)
SAR 2 : Ayo, Mbah. Turun. Wes ra aman di sini.
Simbah : Emoh! (ketus)
SAR 1 : Nanti selak weduse turun lagi, Mbah. Simbah harus ngungsi sekarang. Ben slamet. Ayo, Mbah.
Simbah : Emoh!!!
Relawan : Simbah, ini ada Pardi. Ayo, Mbah, turun. Kalau di sini bisa nggak selamat nanti.
Simbah : Emoh!
SAR 2 : (merayu, sambil mencengkeram tangan Simbah ) Tapi Simbah harus turun. Nanti boleh balik lagi kalau sudah aman. Ayo, Mbah.
Simbah : Emoh! Emoh!
Tim SAR memaksa Simbah untuk dievakuasi. Simbah meronta-ronta, kukuh menolak untuk pergi dari desa. Dua orang memegang tangannya, menggiringnya ke dalam mobil. Relawan dan Bapak mengikuti dengan cemas.Mereka berjalan menuju mobil.
SAR 2 : Sudah, Simbah aman di sini. Kita turun sekarang.
Simbah : Kulo sibuk! Kulo sibuk!
Relawan : Sibuk apa, Mbah?
Simbah : Among tamu!
Relawan : Among tamu? Terima tamu?
SAR 2 : Tamu siapa? Sudah ndak apa orang di sini, Mbah.
Simbah : Simbah among tamu. Masih rame dari Atas.
Relawan : Atas? (bingung)
Simbah : Kulo harus balik! Tamune banyak.
SAR 2 : Ya, Mbah. Nanti.
Relawan : (bertanya pada SAR 2) Terima tamu siapa?
Relawan masih bingung dengan keterangan Simbah tadi. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba datang. Siapa tamu dari atas yang dimaksud Simbah? Relawan memperhatikan wajah kukuh Simbah. Ada keyakinan dalam wajah tua itu.
Bapak : Mas?
Relawan : Ya, Pak?
Bapak : Jangan dipikirkan.
Relawan : Among tamu.Terima tamu siapa maksudnya?
Bapak : Sudah Mas. Ndak usah dipikirkan. Makanya, saya ndak bisa maksa dia.
Relawan : (mengerutkan dahi) Kenapa?
Bapak : Mas, Emak saya ndak waras!
Relawan : Ooh!
Mobil terus melaju meninggalkan desa itu. Tidak ada suara apapun, kecuali deru mobil menggilas debu. Desa itu makin sepi. Tanpa penghuni.
Selesai