Belajar Tsunami di Inamura-no-Hi no Yakata

Sedih banget waktu dengar kabar ada tsunami di Palu. Iya, seperti yang sudah kutulis di postingan sebelumnya, beberapa bulan lalu aku main ke Jepang dan belajar tentang tsunami di sana. Makanya jadi sedih banget pas dengar ada tsunami lagi di Indonesia.  🙁

Di Jepang kemarin, aku beruntung bisa berkunjung ke Inamura-no-Hi no Yakata Hamaguchi Goryo Archives and Tsunami Educational Center di Hirokawa, Wakayama. Siapa itu Goryo? Dia adalah seorang lelaki yang kisahnya menginspirasi United Nations untuk menjadikan tanggal 5 Nov sebagai Tsunami Awareness Day.

Hamaguchi Goryo dan Kisah Inamura-no-Hi

Alkisah pada tahun 1854, Jepang (Kota Hiromura) dilanda gempa besar yang dikenal dengan nama gempa Ansei Nankai. Gempa itu memicu tsunami. Hamaguchi Goryo ini menyerukan warga untuk menyelamatkan diri ke tanah yang lebih tinggi.

Namun, masih banyak warga yang belum juga tiba di lokasi aman. Maka Goryo berinisiatif membakar inamura (daun padi/jerami) agar jadi petunjuk bagi para korban menuju lokasi aman. Inamura ini berhasil menyelamatkan nyawa orang-orang dari bencana tsunami itu.

Di kemudian hari, Goryo melontarkan ide untuk membangun tembok laut di desanya. Panjangnya 600 meter, lebarnya 20 meter, dan tingginya 5 meter. Semua warga desa bahu-membahu membangun tembok pengaman tsunami itu. Dengan dana pribadinya, Goryo membiayai pembangunan tembok laut itu. Sejak saat itu, tembok laut itu telah meminimalisasi dampak tsunami yang menyerang kota.

Kisah Goryo ini memberi kita pelajaran tentang kesiagaan menghadapi bencana. Kisah ini juga disebarkan di buku pelajaran anak SD Jepang di masa dulu.

Di Museum itu aku dapat beberapa pelajaran. Misalnya:

– ortu dan anak haruslah bersama-sama menyiapkan survival kit. Bentuknya tas yang gampang diambil kilat saat gempa terasa di rumah. Menyiapkan bersama ini penting banget karena semua anggota keluarga sadar apa yang harus dipersiapkan saat bencana terjadi.

– ortu dan anak sama-sama berjanji untuk menyelamatkan diri sendiri langsung di mana pun sedang berada. Jangan tunggu-tungguan. Langsung ke muster point atau titik aman. Ini penting untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat terlalu lama saling mencari hingga kurang waktu untuk menyelamatkan diri sendiri.

– edukasi siaga bencana itu dilakukan sejak dini. Anak-anak TK udah sering dilatih drill gempa. Dan terus dilakukan saat SD SMP SMA. Anak jadi terbiasa dan tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan ada juga drill yang dilakukan lingkungan, kayak per RT gitu. Bagus banget deh, semoga Indonesia bisa coba juga ya mulai latihan evakuasi serius per lingkungan macam itu.

Beberapa foto informasi tentang museum tsunami itu bisa dilihat di bawah ini ya.

I love this idea. Make an icon, a hero, so kids would love to learn more about the topic.
They have this audio visual room. We use 3d glasses to watch two short film about tsunami.

Silakan juga tengok website mereka di: Tsunami Educational Center.

 

Puisi Remix

Dulu waktu jaman jomblo, ketika kreativitas meninggi seiring masa mencari suami, isenglah saya bikin video baca puisi. Puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul “Aku Ingin Menemanimu” itu saya rekam di sini: https://www.youtube.com/watch?v=HZbCpLlqxMk. Itu tahun 2012 ya bikinnya. Tiba-tiba aja, di tahun 2015 ada orang (yes, totaly stranger) mengirim pesan di blog ini.

Raf:  Saya nemu link video Youtube kamu yang bacain puisi Asep Z. Noor, dan seorang kawan saya tertarik untuk ‘meramu’ pembacaan puisimu jadi lebih hidup. Silakan didengar di sini bila berkenan: https://www.spreaker.com/user/senartogok/acep-z-noor-aku-ingin-menemanimu-st-rmx

Puisi remix! Keren, yaaa?  Nggak nyangka bisa terlibat bikin musikalisasi puisi, padahal nggak pernah kenal orangnya hingga saat ini. Siapapun kamu, terima kasih yaa. 🙂

Oya, bikin ginian lagi, yuk! Anyone?

 

 

Belajar Menari Lewat Media Digital

Saya baru saja membuktikan: Tak ada yang tak mungkin dipelajari sendiri di era digital sekarang ini.

Awalnya, sebulan lalu datanglah tawaran pentas menari di acara Internationalism Day 2014 di sekolah tempat saya bekerja. Saya lalu berpikir untuk menampilkan sebuah tarian India. Tapi, saya belum pernah sama sekali menari India. Tak ada juga guru yang bisa mengajar langsung. Maka… saya ajak murid saya untuk belajar lewat video Youtube. PIlihan kami jatuh pada tarian Barso re Megha koreografi Manpreet & Naina, duo penari India-Amerika. Saya sendiri jatuh cinta pada tarian mereka di VIDEO INI.

Rupanya, saya dan Christie, murid saya ini, punya cara belajar yang berbeda. Saya visual learner. Saya putar video tarian itu berkali-kali dan saya contek dan coba lakukan gerakannya. Sementara Christie, dia tipe kinestetik. Dia lebih suka melihat saya langsung menari, kemudian dia mencoba setiap gerakan dengan detail. Begitulah kami belajar sendiri di rumah, dan berlatih bersama di ruang kelas atau ruang tari. Ketika menemui gerakan yang sulit, kami mengimprovisasi dengan gerakan baru yang lebih sesuai dengan kemampuan kami. Jelang hari H, saya mengulang-ulang mendengar lagu tarian ini di handphone, sambil memejamkan mata dan membayangkan gerakannya. Sementara Christie, dia berlatih sendiri melakukan gerakannya di rumah.

Datanglah hari H! Deg-deg-fun!

Simak sendiri ya hasil belajar menari saya di VIDEO INI. Selamat menyaksikan!

india

Belajar dari Jepara (1)

Berkat twitter, saya berkenalan dengan Alvin Noor. Ia seorang guru pelajaran komputer di SMAN 1 Jepara, Jawa Tengah. Maka begitu saya punya acara di kota Kartini itu, saya langsung menyusun janji bertemu dengan beliau. Saya senang berkenalan dengan rekan guru di kota lain. Pasti akan ada banyak hal yang bisa dipelajari. Benar saja, Pak Alvin yang malam itu datang bersama istri dan anak perempuannya, mengajak saya bercerita ke sana ke mari tentang kondisi sekolah di Jepara secara umum. Ketika saya tanya, seberapa melek anak-anak dan guru pada social media, beliau menjawab: masih belum banyak yang menggunakannya sebagai media pembelajaran aktif. Ia juga menceritakan kendala yang dihadapi, tetapi wajahnya yang optimis membuat pembicaraan satu jam kami begitu menyenangkan. Bahkan terlalu menyenangkan sebab di ujung percakapan, Pak Alvin melontarkan satu ide dadakan. Dia meminta saya untuk menjadi guru tamu di sekolahnya. Saya kaget, sekaligus merasa tertantang. Saya iyakan dan bersiap datang ke sekolah pada hari Sabtu, 27 Oktober itu.

Alvin Noor, guru SMAN 1 Jepara, beserta putrinya

Kelas X-4 menjadi teman yang sangat seru di Sabtu pagi itu. Saya berbagi cerita bahwa internet (dalam hal ini twitter) yang sudah memungkinkan saya hadir di tengah mereka. Saya kemudian bercerita tentang nama saya, tentang membaca, juga tentang sastra. Saya katakan pada mereka, beruntunglah mereka memiliki kampung halaman yang menyimpan cerita bersejarah. Jepara, kota tempat lahir Kartini, perempuan yang namanya begitu santer dibicarakan perihal pembaharuan wanita Indonesia. Seharusnya remaja ini bisa yang menghasilkan karya sastra sebab ada segudang hal istimewa di kota mereka.

Berbagi cerita pengalaman belajar di sekolah lain

Saya kutip apa kata Pramoedya, yang pernah membuat novel berjudul Panggil Aku Kartini Saja, menulis itu pekerjaan yang butuh keberanian. Semua bisa menulis, jadi cuma masalah kamu mau menulis atau tidak. Beberapa murid mengangguk-angguk setuju. Saya langsung ajak mereka menciptakan satu cerita bersama. Sebutlah sebuah latihan dasar membuat antologi. Murid di barisan depan saya minta menggambarkan satu binatang apa pun yang pertama kali melintas di benak mereka. Kemudian, kertas digeser ke teman di sebelahnya, lalu biarkan mereka menuliskan satu kalimat yang menceritakan tentang binatang itu. Kertas lalu diteruskan ke teman di belakang mereka. “Bebaskan imajinasi kalian, berceritalah tentang apa saja.”

Murid menceritakan karya cerita berantai mereka dengan penuh percaya diri.

Akhirnya, jadilah sebuah paragraf pendek yang sangat menarik. Murid perwakilan kelompok maju ke depan membacakan karya mereka. Kelas sangat meriah, penuh tawa, mendengar khayalan teman-teman sendiri. Di akhir pembacaan, saya berterima kasih atas apresiasi mereka pada karya yang sudah mereka buat. Saya katakan, beranilah menulis, itu dulu. Mulailah bercerita tentang diri sendiri, kemudian tentang lingkunganmu, kemudian tentang bangsamu. Dua orang murid menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari dari kegiatan tadi. Ada sebuah kalimat yang begitu baik dari seorang murid bernama Rizal Maulana, begini katanya: Kita harus berani mengeluarkan unek-unek dalam bentuk tulisan untuk dibaca orang lain. Ah, terima kasih, Jepara!

Video kegiatan pada waktu itu bisa dilihat di sini. 😉
baca tautan: Belajar dari Jepara (2)

Coba-coba Main Kamera

Saya semakin percaya bahwa belajar bisa terjadi begitu saja dan di mana saja. Itu saya sadari Sabtu (24/9/2012) lalu. Mulanya saya hanya berniat mengisi akhir pekan dengan pergi ke acara pensi sekolah. Namun, rupanya, seorang teman meminta saya untuk datang ke kelas Akademi Berbagi di Tangerang. Saya tanyakan siapa guru yang mengajar, teman saya menyebutkan nama Danny Tumbelaka. Saya hanya pernah sekali dua kali mendengar nama itu sebagai seorang fotografer. Tawaran itu akhirnya saya iyakan, dan rupanya saya mendapatkan pelajaran tambahan di akhir pekan.

Danny Tumbelaka. Botak dan bercelana pendek. Dia membawa rupa-rupa kamera, beberapa di antaranya kamera saku yang sudah tidak diproduksi lagi. Dia segera menarik perhatian saya ketika mulai bercerita bahwa ia diusir keluarganya ketika memutuskan untuk hidup dari fotografi. Padahal ia tak bermodal uang banyak, kamera yang dipunya pun seadanya. Dia meyakinkan saya dan beberapa teman yang hadir bahwa memotret tak harus menggunakan kamera mahal. Bagus tidaknya sebuah foto itu bernilai relatif. Jadi yang penting adalah cobalah memotret dengan kamera apa saja yang ada. Mencoba itu perlu, tetapi kalau mau serius hidup dari fotografi, hindari sekadar coba-coba. Kalau mau profesional, ya harus serius. Terus dan terus dia bercerita tentang pengalamannya menceburkan diri di dunia potret memotret itu. Kadang ngeri, kadang haru. Teman-teman lain juga berbagi pengalaman berfoto mereka.

Dany dan foto dari kamera berbodi 70 juta. Terlihat spesialkah?

Ah, saya agak tertohok. Ilmu itu bisa berlaku di segala hal. Intinya, kalau mau dapatkan karya berkualitas, rumusnya cuma satu: BERLATIH! Mau buat karya foto yang bagus, ya banyak memotret. Mau buat novel bagus, ya banyak menulis. Dan semua bisa jadi bagus, kalau kita mau mencoba. Sederhana, tinggal balik lagi ke kita, mau mencoba serius atau tidak?

Sepulang dari kelas Akber itu, saya dan teman-teman lanjut ke pensi. Masih teringat apa yang Danny bilang tadi, saya akhirnya mencoba memotret. Yakin dulu bahwa dengan alat apapun kita tetap bisa menghasilkan karya bagus. Dengan kamera di Blackberry Onyx2 dan pencahayaan seadanya, saya coba jepret. Lalu, beginilah hasilnya, baguskah? 😉

Dried Cassava (Beevolution, 24 September 2012)

Teknologi Sekarang Buat Belajar Jadi Senang

“Saya cari data di bebe, ya!”

Kalimat itu sering terucap dari mulut murid-murid saya ketika ada tugas yang membutuhkan pencarian data. Ketika saya menjawab, “Silakan!”, mereka pun akan senang. Bebe atau Blackberry memang sering jadi solusi cepat untuk kebutuhan tugas murid di era teknologi tinggi sekarang ini. Apalagi di daerah perkotaan, benda elektronik seperti ponsel pintar adalah makanan bagi murid. Bahkan posisinya melebihi kebutuhan mereka akan sarapan. Setiap pagi mereka lebih memilih menggenggam Blackberry ketimbang roti.

ponsel dan laptop di meja murid

Sebagai guru dari anak-anak yang karib dengan gadget itu, saya pun merasa harus mengikuti perkembangan mereka. Saya tidak ingin menciptakan jarak yang semakin jauh karena rentang usia guru dan murid sudah jauh terpaut puluhan tahun. Langkah pertama, saya coba mengakrabkan diri dengan cara ikut menggunakan ponsel itu. Itu salah satu upaya yang bisa saya jangkau. Namun, bukanlah kewajiban kita untuk harus memiliki semua gadget karena dana kita tentu terbatas. Jika dana Anda berlebih, boleh juga Anda memiliki benda elektronik lain yang banyak juga dimiliki oleh remaja kota besar sekarang. Tujuan guru memiliki gadget keren sebaiknya jangan hanya supaya bisa menyamai pergaulan murid. Sebisa mungkin kita harus pergunakan benda teknologi itu untuk kebutuhan pembelajaran. Ketika ada tugas, murid bisa dipersilakan menggunakan ponsel pintar mereka untuk mencari informasi di internet.

Banyak sekolah yang sudah memiliki komputer di kelas. Banyak juga sekolah yang memperbolehkan muridnya membawa laptop ke kelas. Banyak anak kota besar juga sudah biasa menggunakan kamera dan video handycam. Semua media itu sudah seharusnya dimaksimalkan untuk kegiatan belajar yang menyenangkan. Guru dari berbagai mata pelajaran bisa mengajak murid menciptakan banyak proyek belajar dengan desain seni yang menarik. Misalnya, tugas pelajaran kimia dalam bentuk komik animasi, laporan pelajaran ekonomi dengan proyek video, atau membuat podcast untuk pelajaran bahasa.

Pengetahuan teknologi yang sudah dipunya anak dan remaja itu harus dipergunakan untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Persilakan mereka berkreasi dengan pengetahuan mereka dan biarkan guru menjadi mentor mereka. Misalnya ketika murid diajak untuk membuat tugas membuat grafik di pelajaran bahasa Indonesia, ajak murid berkreasi lebih maksimal dengan teknologi. Suatu kali murid saya membuat karya menarik, yaitu sebuah grafik dengan lampu-lampu yang digunakan sebagai penanda data. Mereka merangkai sistem listrik sederhana pada papan grafik itu. Ketika tugas ini dipresentasikan di kelas, pertunjukan hasil penelitian mereka menjadi lebih menarik untuk dilihat.

Bagaimana dengan anak-anak yang tidak mendapat akses mudah untuk menggunakan teknologi? Adalah tugas kita untuk menciptakan kesempatan itu untuk mereka. Pada suatu kesempatan di kegiatan Dongeng Minggu di Depok, saya dan teman-teman datang membawa CD film, laptop, dan proyektor. Biasanya anak-anak di sana belajar lewat dongeng yang dibawakan oleh kakak pendongeng menggunakan boneka-boneka binatang. Namun kali itu, kami mencoba hal lain dengan teknologi yang akrab dengan kami, tetapi belum akrab untuk mereka. Kami memutarkan film kartun anak yang mengajarkan tentang ikhlas. Anak-anak duduk manis menyimak film, tanpa merasa terbebani bahwa mereka sedang belajar. Tentu ini menyenangkan untuk anak-anak.

Adik-adik Dongeng Minggu menonton film dengan proyektor.

Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membuat suasana yang asyik untuk belajar. Yang paling penting kita siapkan adalah keinginan untuk berkreasi, baik dari guru dan juga murid. Setelah itu, pasti ada banyak alat teknologi yang bisa kita dipakai. Maksimalkan penggunaannya dan jangan kaget jika anak-anak bisa belajar dengan hati senang.

 

MobTech untuk Pendidikan

Dari #twitedu bersama @bincangedukasi, Selasa 17 Januari 2012

Pemanfaatan Mobile Technology untuk Pendidikan
@bincangedukasi: Tweeps, pk 19.30 kt mulai #twitedu ttg pemanfaatan mobile technology utk pendidikan yaa. Sudah siap kan?

Lihat saja apa yang selalu murid-murid pegang di kota-kota Indonesia sekarang? Sebuah ponsel pintar. Alat main, juga belajar. Anak remaja sebagian besar sudah dibekali hape. Mereka biasa main Bebe bahkan Ipad di sekolah. Ini media belajar juga. Ada beberapa sekolah yang punya kebijakan terbuka tentang penggunaan ponsel pintar di kelas. Murid bisa browsing data tugas via Bebe/Ipad. Murid bisa pakai Hp/Bb/Ipad tentu dengan pengawasan guru. Yaa, supaya ketika diminta cari data, gak lalu malah main games. Ini tantangan super buat guru, gimana cara mereka mengajak murid SMP/SMA memanfaatkan mobile tech dengan maksimal untuk belajar. Saya sering gunakan BBM untuk ingatkan murid kumpulkan tugas. Efektif sekali. Murid dan guru bisa berinteraksi tanpa batas waktu. Di awal tahun ajaran, murid dan guru sekelas bisa buat Blackberry group atau Jarkom SMS untuk memudahkan sebar info belajar.

@kreshna: Adakah etika/etiket yang mengatur tentang komunikasi guru/murid di media online & di luar jam sekolah?
Di awal tahun ajaran, guru berkenalan dengan ortu murid. Di situlah waktunya kasih kebijakan bersama. Jam berapa guru bisa dihubungi. Ada kebijakan sekolah yang ikut mengatur jam komunikasi guru dan ortu. Misalnya, ortu hanya boleh telepon/SMS selama jam sekolah. Ada juga guru yang perbolehkan ortu SMS bebas waktu, tapi jangan telepon. Ortu dan guru harus paham waktu privasi masing-masing. Nah, begitu juga dengan murid-murid SMP/SMA. Beri kebijakan bersama di awal tahun. Ini no hape saya. Silakan telepon/teks saya di jam sekian.

@kreshna: Atau mungkin batasan profesionalitas hubungan guru dan murid. Adakah yg terkait dgn media & waktunya? Profesionalitas guru dan murid tergantung media dan waktu? Hmm, ini bergantung pada kebijakan diri sendiri dan sekolah. Ada sekolah yang punya aturan agar guru dan murid hanya berhubungan pada jam sekolah. Di luar jam, hanya boleh tanya tugas. Banyak pula sekolah yang persilakan guru tanggung jawab sendiri tentang hubungan profesionalnya dengan murid. Saya suka yang ini. Bagi saya, guru itu pekerjaan belajar yang tidak berbatas waktu. Makanya saya berusaha untuk bebaskan anak tanya di jam luar sekolah. Tentu saja dengan etika yang wajar. Anak sopan akan tanya dulu bolehkan dia menelepon gurunya waktu malam untuk tanya PR. Saya pernah di-Ping BBM berkali-kali. Jika terasa mengganggu, bicarakan saja dengan muridnya. Buat aturan bersama. Twitter! Wah, ini media yang sering saya pakai untuk bicara/tegur sapa dengan murid. Waktunya tak berbatas. Yang penting jaga etika.

@bincangedukasi: Kebanyakan guru belum manfaatkan mobile tech dalam pendidikan ya rasanya? Bagaimana cara meyakinkan mereka tentang manfaatnya?
Berbagilah ilmu dengan guru lain di kantor. Atau saat rapat, bagi cerita bahwa mobtech ini berguna juga kok untuk pendidikan. Jangan paksakan juga guru yang belum biasa dengan alat tekno untuk langsung bermain dengan tekno. Dia harus kenal benda tekno dulu. Murid juga perlu maklum. Ada guru yg tidak bisa buka email tugas murid di hapenya. Atau yang lama mengetik SMS. Kemudahan dan kesulitan penggunaan mobtech harus dibahas bersama di kelas. Diskusi aja, gimana guru-murid bisa manfaatkan itu bersama.

@bincangedukasi: Konten pendidikan apa saja yang bisa dibagi melalui mobile devices? Mungkinkan pengajaran juga dilakukan dengan mobile devices?
Konten pelajaran bisa juga kok dibagi lewat mobile tech. Broadcast message BBM bisa untuk sebarkan bahan ajar loh. Semacam kejutan: Kirim broadcast sebuah rumus fisika. Minta murid cari di buku. Jadi penyulut belajar besok di kelas. Saya pernah review materi ujian di twitter. Beri hashtag dan mereka bisa pantau. Bisa tanya jawab juga. Ngobrol pelajaran via BBM juga saya sering. Lokasi tak berbatas, yang penting klop aja waktu guru dan muridnya.

@ratnakristanti: Kalau tentang konten twitternya gimana, Mbak? Kan kadang mbak tidak hanya ngobrol dengan murid. Atau ada aturan juga pas ngobrol dengan murid?
Kalau tentang konten twitter, ini bisa jadi topik #twitedu berikutnya ya. Ini berkaitan dengan #PersonalBranding. Yang pasti untuk bahas materi pelajaran, saya bisa pakai twitter. Murid bisa cari kapan saja di mana saja selama ada tagar topiknya.

@Lutfi_333: Pertanyaan yang sering dihadapi guru yang ingin gunakan mobile tech adalah soal kesetaraan: tidak semua murid pake mobile/smartphone. Solusinya?
Untuk kegiatan kelas, buat tugas dalam kelompok. Satu punya smartphone bertugas cari data, yang lain mencatat. Bisa kok! Tugas rumah, murid bisa pakai PC di rumah atau warnet. Semua bisa asal ada niat belajar teknologi.

@Lutfi_333: Yang menjadi permasalahan nggak semua siswa punya akun twitter/Fb. Nah cara mengatasinya bagaimana??
Ya, ketika guru ingin beri materi tambahan di twitter, diharapkan semua murid sudah punya akun. Tapi ingat, pembelajaran di twitter itu sifatnya tambahan. Maka bukan kewajiban murid untuk harus ikut serta di sana.

@kurniasepta: Ini @bincangedukasi topik2nya #twitedu terlalu di atas angin, kurang menyentuh akar rumput. Ah, Indonesia.
@gurubimbel: Bahasan#twitedu tentang mobile technology memang hanya cocok untuk sekolah kalangan menengah ke atas.
Jangan terjebak bahwa mobile techno itu hanya sebatas gadget mahal. Hape murah pun itu mobtech. Remaja akar rumput juga pakai itu. Hape murah dengan fasilitas Fb bisa dipakai untuk media belajar juga. Untuk komunikasi, bisa pakai jarkom SMS. Menurut @Amung_Palupi Radio, TV, Toa, Surat Post, Layar tancep, Motor, bahkan person untuk konseling itu adalah Mobile Tech juga. Menurutnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan: @Amung_Palupi: yang pernah dilakuin sih, 1. Meminta teman untuk mengirimkan bahan ajar ke desa lewat post memprosesinya seperti MLM. 2. Dengan bahan dari teman yang kemungkinan sedikit maka gunakanlah VOV dari toa mushola. Sementara menurut @ayu_kartikadewi: mobile devices bisa jadi alat yang menarik untuk mengenalkan huruf.

@gurubimbel: Ibu, di Banten masih banyak kan yang ke sekolah tanpa alas kaki? Lalu bagaimana mereka bisa mengenal mobile technology?
Apa yang tidak mungkin? Mengapa anak yang ke sekolah tak pakai alas kaki maka tak bisa kenal mobile tech? Maka perkenalkanlah. Jika tadi yg dimaksud mobile tech hanya sebatas ponsel dan laptop, itu pun masih memungkinkan utk disebar kepada anak-anak di pelosok. Jika pemerintah atau lembaga besar tidak memberi bantuan, maka lakukanlah sendiri dengan apa yang dipunya di sekitar.

Kesimpulan #twitedu ini: Manfaatkan maksimal mobile technology yang ada di sekitar. Segala rupa bentuk dan jenis. Semua berguna untuk belajar. Satu lagi: guru, murid, dan ortu, semua harus berpikir positif. Mobile techno bisa digunakan dengan cara praktis dan hasilnya bisa baik. Nah, berpikir positif bisa dimulai dengan menghindari kata ‘tapi’.