Bahasa Sastra dalam “Ahmad dan Domba Kecilnya”

Dulu aku pernah membayangkan ingin menulis cerita anak dengan bahasa sastra, maksudnya, bukan dalam bahasa yang sederhana seperti buku anak biasanya. Aku baru sebatas mimpi, eh… tiba-tiba buku mimpiku itu datang ke rumah. Temanku yang bernama Andriyati, editor dari Alif Republika, mengirimkannya. Dan aku langsung jatuh cinta lihat ilustrasi buku yang diberi judul Ahmad dan Domba Kecilnya (2016) ini.

 

photo-1

Gambarnya seperti lukisan di atas kanvas. Ilustrasi karya EorG (Evelyn Ghozalli) ini juga ada di halaman-halaman dalam buku. Ada kesederhanaan dan juga keharuan dalam gambarnya. Aku suka. Mengingatkanku pada waktu aku rajin menggambar-gambar dengan krayon saat masih sekolah dan kuliah dulu.

Di pojok kiri bawah sampul ada tulisan “Berani Jujur Hebat”. Aku langsung menduga, cerita ini pasti dongeng tentang antikorupsi. Ternyata benar, dalam halaman Pengantar disebutkan bahwa buku ini adalah salah satu bentuk literasi wacana antikorupsi. Inisiatifnya dirancang oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) dalam sebutan Indonesia Membumi atau Indonesia Menggagas dan Menerbitkan Buku Melawan Korupsi.

Kembali lagi ke “Ahmad dan Dombanya”. Cerita karya Wikan Satriati ini manis sekali. Kisahnya tentang Ahmad yang kehilangan domba. Ia bertemu Kakek Gembala yang menawarkan domba lebih gemuk dan lebih cantik. Apa Ahmad akan mengakui domba itu miliknya? Oh, kisah ini bisa jadi refleksi orang dewasa juga ya. Seringkali kita mendapat kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dengan cara curang, nah, apakah kita akan menggunakan kesempatan itu?

Selain “Ahmad dan Domba Kecilnya”, ada juga lima cerita lainnya: “Di Bawah Cahaya Bulan Purnama”, “Perniagaan Terindah”, “Si Gembul”, “Ikan di Dalam Es”, dan “Permata Gelap di Dalam Misykat”. Semua cerita disampaikan dengan bahasa sastra yang indah. Misalnya, kalimat seperti ini: Domba kecil yang lasak, tidak mau diam itu tak nampak; atau Hamparan pasir gurun telah berpulas jingga, seperti warna kaki langit.

Kalimat itu tentu akan sulit bagi anak usia PAUD, sehingga butuh bantuan orang tua untuk menyederhanakan bahasanya. Nah, cerita ini akan sangat baik untuk memperkaya literasi anak usia SD. Ukuran hurufnya tidak besar, kertasnya juga tidak tebal seperti buku dongeng biasanya. Usia 8 tahun sepertinya sudah cocok untuk mulai membaca buku dengan karakter seperti ini.

Wikan Satriati juga memberi catatan bahwa buku ini merupakan bagian dari rangkaian buku yang dinamakan Seri Belajar Islam secara Menyenangkan. Ada dua buku lain yang sudah terbit lebih dulu tahun 2015, yaitu Melangkah dengan Bismillah dan Gadis Kecil Penjaga Bintang. Kisah-kisahnya didasarkan pada kisah Rasulullah Muhammad Saw, atau kisah tokoh lain dengan menunjukkan akhlak nabi. Yang aku suka adalah penulis tidak menyebutkan frontal nama Muhammad di cerita. Ia menggunakan metafora. Ia juga tidak harus menyebut kata Tuhan atau nama tempat yang terlalu jelas rujukannya. Justru ini terasa lebih syahdu. Pas sekali dengan kebutuhan pendidikan agama anak-anak kita.