Saya Suka Debat!


Saya suka debat!
Itu kalimat yang terus terlontar dari sejumlah murid ketika kelas debat selesai. Saya percaya mereka mengucapkan kalimat tersebut dengan tulus. Saya percaya sebab saya melihat kecenderungan remaja kota besar saat ini senang berdebat. Atau setidaknya mereka lebih senang berbicara ketimbang menulis. Kalau pakai lelucon satir hari ini, anak remaja sekarang masih suka menulis kok, tetapi nulis status di facebook atau tweet saja.

Saya senang mereka menyatakan dengan lantang bahwa mereka suka berdebat, walau ternyata berdebat yang mereka lakukan umumnya masih sebatas adu mulut saja. Bukan kebetulan jika pelajaran bahasa Indonesia mengakomodasi kegiatan berdebat sebagai salah satu komponen kemampuan berbahasa siswa, yaitu kemampuan berbicara. Siswa diajak menyampaikan pendapatnya tentang sebuah masalah dan hal itu menuntut kemampuan menyusun kalimat dengan jelas.

Berdebat bukan sekadar berbicara. Ada pelajaran etika juga di sana. Ada aturan yang digunakan agara siswa bisa belajar menyampaikan argumen dengan cara yang tepat sehingga orang yang mendengarnya paham. Di kelas debat kemarin, saya mengajak siswa berdebat dengan menggunakan aturan World School Debating Champhionship. Aturan dalam perlombaan internasional tersebut memang belum bisa seluruhnya diterapkan di kelas, apalagi untuk murid kelas 10 yang secara umum belum biasa berdebat. Maka saya hanya gunakan beberapa aturan yang mendasar, seperti misalnya satu kelompok debat terdiri dari tiga orang dan masing-masing anggota punya kewajiban menyampaikan pendapat selama beberapa menit. Dari apa yang terjadi di kelas debat yang pernah saya dan siswa lakukan, ternyata hanya beberapa orang saja yang mampu menyampaikan pendapat dengan kalimat yang baik selama dua menit. Ya, dua menit berbicara bahasa Indonesia ternyata susah juga.

Namun, saya senang. Ketika seorang siswa sudah punya semangat yang besar untuk belajar, itu adalah pintu masuk ilmu yang lebih banyak lagi. Saya bahkan ingin dengar juga siswa teriak lantang bilang “Saya suka trigonometri!” atau “Saya suka kimia murni!”. Saya memaksakan diri untuk yakin saja bahwa kecenderungan siswa yang lebih suka berbicara di era komunikasi elektronik yang sangat mudah sekarang ini dapat membawa dampak baik bagi pendidikan anak. Saya bermimpi, anak-anak yang berani bilang suka berdebat ini kelak akan jadi pembicara untuk kebaikan bangsa Indonesia di dunia. Anda boleh tidak setuju dengan pendapat saya. Bolehlah hal ini kita perdebatkan. 🙂