Puisi Remix

Dulu waktu jaman jomblo, ketika kreativitas meninggi seiring masa mencari suami, isenglah saya bikin video baca puisi. Puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul “Aku Ingin Menemanimu” itu saya rekam di sini: https://www.youtube.com/watch?v=HZbCpLlqxMk. Itu tahun 2012 ya bikinnya. Tiba-tiba aja, di tahun 2015 ada orang (yes, totaly stranger) mengirim pesan di blog ini.

Raf:  Saya nemu link video Youtube kamu yang bacain puisi Asep Z. Noor, dan seorang kawan saya tertarik untuk ‘meramu’ pembacaan puisimu jadi lebih hidup. Silakan didengar di sini bila berkenan: https://www.spreaker.com/user/senartogok/acep-z-noor-aku-ingin-menemanimu-st-rmx

Puisi remix! Keren, yaaa?  Nggak nyangka bisa terlibat bikin musikalisasi puisi, padahal nggak pernah kenal orangnya hingga saat ini. Siapapun kamu, terima kasih yaa. 🙂

Oya, bikin ginian lagi, yuk! Anyone?

 

 

Musikalisasi Puisi Itu Apa?

Saya tidak bisa main alat musik. Makanya, saya selalu kagum jika ada orang yang bisa memainkan alat musik. Apalagi jika mereka anak-anak dan remaja, terlebih lagi murid-murid saya.

Saya tidak pandai menciptakan puisi. Makanya, saya selalu kagum pada penyair yang bisa memainkan kata-kata. Menyusun makna dalam serangkum rangkai lema.

Menariknya, kedua seni itu, musik dan puisi, rupanya mulai banyak berkahwin dan menjelma anak baru bernama musikalisasi puisi. Saya sendiri belum memahami bagaimana sebuah karya bisa disebut sebagai musikalisasi puisi. Saya pikir, sebuah larik puisi yang diaransemen, diberi nada, merupa lagu, itulah sudah disebut musikalisasi puisi. Sayangnya, sebab itulah saya dan murid-murid kalah dalam lomba yang diadakan di suatu sekolah. Rupanya konsep yang ada di benak juri berbeda dengan konsep yang kami pahami. Saat saya dan murid-murid bertanya kepada juri, dengan niat belajar ilmu baru, kami mendapati sebuah pengertian bahwa musikalisasi puisi lebih seperti dramatisasi puisi. Puisi dibacakan, dinyanyikan, dan juga digerakkan. Salah satu juri bilang, “Ini performing art. Kalau cuma bermain musik, apa bedanya dengan ngeband?” Sedikit bingung saya coba mencerna, apa ngeband itu bukan performing art?

Saya teringat Ari Reda, yang karya musikalisasi puisinya begitu saya suka. Mereka membawakannya dengan sederhana, tapi menurut saya itu sudah cukup disebut sebagai transformasi puisi jadi lagu. Pada akhirnya, murid-murid saya yang terbiasa mendapatkan penilaian dengan rubrik yang jelas, harus belajar memahami. Penilaian yang diberikan juri berusaha memenuhi kategori penilaian versi panitia, yaitu: kesesuaian tema puisi dan instrumen musik, penampilan/artistik (kostum, tata rias, penguasaan panggung), penghayatan dan ekspresi, serta kekompakan tim. Perhatikan, ada penilaian artistik panggung di situ. Jadi, saya memahami bahwa musikalisasi puisi yang diinginkan dalam hal ini serupa dramatisasi puisi.

Namun, saya pribadi sudah berbahagia dengan hasil kreasi murid saya. Keberanian mereka menafsir puisi, kemudian mengubahnya menjadi lirik lagu, sangat saya apresiasi. Saya mendapatkan rasa lain ketika mendengar puisi “Cahaya Bulan” Soe Hok Gie. Silakan simak video ( ini ) dan ( ini ) lalu katakan kepada saya, bagaimana saya bisa untuk tidak kagum pada mereka? 🙂

Girang Pensi, di Mata atau di Hati?

Girang! Itu perasaan saya ketika tahu sekolah tempat saya bekerja mengadakan konser musik. Pensi, istilahnya, pentas seni dan kreasi anak sekolah, seperti yang saya pernah gandrungi sewaktu masa sekolah menengah. Yang segera terbayang adalah kegirangan loncat-loncat mendengar dentum musik dengan dandanan ala remaja. Saya ingat betul, sekolah SMA saya dulu mengundang PAS band. Waktu itu saya merasa seperti anggota keenam geng Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta. Hidup ini hanya kepingan yang terasing di lautan…

Kegirangan saya murni terjadi karena saya ingin mengingat kenangan serunya masa sekolah. Beberapa waktu belakangan saya masih sering menonton konser musik, tapi itu bukan pensi sekolah. Nah ini, ada kesempatan di kandang sendiri, maka kata girang itu begitu menjadi-jadi.

Saya tumpahkan kegirangan saya dengan membeli 10 tiket. Saya sebar infonya di twitter, berharap ada kawan yang sama rasa, ingin membunuh kangen masa sekolah. Beberapa teman menyahut, janji bertaut. Namun sebagian membatalkan karena urusan pekerjaan. Ah, betapa kini pekerjaan sering menahan kita untuk bersenang-senang.

Namun, berkah akan lari kepada orang yang tepat. Secara kebetulan teman saya bilang ia punya anak asuh usia remaja yang tentu akan sangat senang jika bisa datang ke konser musik. Sungguh, itu adalah rejeki mereka. Jadilah tiket itu milik tiga murid sekolah keperawatan di ujung Serpong. Semoga sekolah raksasa tempatku bekerja menerima mereka dengan hangat.

Saya tidak tahu apakah murid-murid bisa menangkap kegirangan saya. Saya merasa banyak tebar senyum ke setiap murid yang menyapa ketika amprokan, lalu banyak cengengesan ketika mereka menggoda sebab di sebelah saya ada kawan lelaki. Mungkin mereka merasa bingung kenapa gurunya berlagak seperti mereka. Kenapa gurunya bisa kenal dengan band pengisi acara. Jessica, murid saya usia remaja, tampak aneh kenapa saya bisa tiba-tiba nongkrong bareng band Lunarian di ruang tunggu artis. Saya bilang saja, saya teman mereka. Lalu dia berseru, “Ih, Miss gaul dong yaa!”

Ini pensi terlucu sebab saya menjadi penonton yang serupa artis. Rasanya mata murid tak lepas mengamat-amati saya. Mungkin rasanya lucu melihat guru mereka bergoyang mendengar Endah n Rhesa. Itu tak biasa sebab guru-guru yang lain memilih tidak datang atau sekedar duduk dan mengamati dari jauh saja. Lebih aneh lagi ketika murid panitia melihat saya tiba-tiba di belakang panggung, menemui Nobie dan Angkuy Bottlesmoker dan ngobrol dengan mereka. Ah, agaknya mereka lupa usia saya tak jauh dari mereka. 😀

Namun, kegirangan saya agak buyar usai hadirnya sebuah SMS. Dari Wanto dan Heri, remaja penjaga konter pulsa di sebelah sekolah raksasa ini. “Mbak, di dalam ada konser ya? Siapa artisnya? Mintain tiket masuk kek. Hehe.” Saya langsung merasa tak enak. Mereka itu kedua teman baru saya di kampung Lengkong belakang BSD City ini. Saya cuma bisa bilang “Maaf ya, gak ada tiket lagi. Artisnya Netral.” Mereka membalas, “Netralnya masih ngopi nih di konter, hhe. Tp kok suaranya gak kedengeran ya?” Ah, jelas saja tak terdengar. Gedung serba guna itu agak kedap suara, letaknya pun jauh di tengah area sekolah yang begitu luas. Riuh teriak remaja pun tak terbagi ke lingkungan sekitar. Semua terpendam hanya untuk yang berada di dalam.

Konser selesai tengah malam. Saya tahu konter pulsa itu masih buka. Entah mengapa ketika pulang, saya mengambil jalan lain, dengan kesengajaan agar tak terlihat Wanto dan Herri. Saya kirimi mereka pesan, semoga lain kali saya bisa berbagi kegirangan dengan mereka.