Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari: Membela dengan Sastra

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hadirin yang saya hormati….

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah muncul tiga dokumen yang berisi konsep kebudayaan Indonesia. Ketiga dokumen kebudayaan itu adalah Surat Kepercayaan Gelanggang (1951); Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra, 1956); dan Manifest Kebudayaan (1963).

Konsep kebudayaan yang dicitakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mengacu ke arah kebudayaan Barat yang bersifat sekuler, antroposentris serta elitis. Agaknya para pemikir kebudayan saat itu masih sangat terpesona oleh kemajuan Barat sehingga mereka mencitakan kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat.

Situasi perang dingin yang mulai menghangat menjelang tahun 1960-an menyeret Indonesia ke dalam tarik-menarik antara pengaruh blok Barat dan blok Timur, juga di bidang pemikiran kebudayaan. Maka sebagai tandingan atas lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengarah ke Barat, lahirlah Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang mengarah ke blok sosialis di Timur, sama-sama sekuler, antroposentris, tapi punya kecenderungan populis. Meskipun begitu, polemik kebudayaan pun berkecamuk sengit di antara pendukung kedua kubu tersebut.

Di tengah sengitnya polemik antara pengikut “kebudayaan Barat” dan pengikut “kebudayaan Timur” yang sama-sama sekuler itu muncullah pada tahun 1963 Manifest Kebudayaan yang seolah-olah hadir sebagai konsep alternatif kebudayaan Indonesia. Tetapi ternyata Manifest Kebudayaan, yang pada kalimat terakhirnya berbunyi “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”, disanggah dan dicerca habis-habisan oleh para pengikut Mukadimah Lekra.

Bagi para budayawan Lekra, baik SKG maupun MK mereka anggap sebagai konsep kebudayaan yang sama-sama borjuis. Dan pembantaian kebudayaan ini baru berakhir pada tahun 1965 setelah PKI dibubarkan, dan Lekra pun gulung tikar.

Hadirin yang saya muliakan….

Saya mulai berkarya sastra pada tahun 1971. Sebagai pribadi yang dekat dengan orang-orang Lesbumi saya memilih dengan sadar konsep kebudayaan yang berfalsafah Pancasila sebagai yang tercantum dalam Manifest Kebudayaan. Karena mengakui Pancasila sebagai falsafah kebudayaan Indonesia maka dalam berkarya saya punya niatan yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan pribadi maupun kepentingan kesusastraan semata.

Demikianlah, maka selalu ada pertanyaan yang mendasar yang muncul ketika saya akan memulai menulis sebuah karya. Pertanyaan itu:

Pertama, “Mengapa kamu menulis karya sastra?”

Kedua, “Apa niatmu melakukan hal itu?”

Mengapa seorang sastrawan, dalam hal ini saya menulis karya sastra, jawabnya sederhana. Yakni, karena saya punya kegelisahan jiwa dan ingin melahirkan kegelisahan itu. Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada masyarakat; mau membaca, lalu menangkap kandungan nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, atau membiarkan karya saya tersimpan di rak-rak buku. Dalam hal ini saya sebagai penulis sudah menyelesaikan bagian saya.

Tentang niat menulis karya satra jawabannya banyak. Adalah sah apabila karya sastra ditulis dengan niat mengaktualisasikan diri. Siapa saja boleh membangun eksistensi dirinya dengan jalan menulis karya sastra. Bahkan boleh saja sebuah karya sastra ditulis dengan niat mendapatkan uang, dan mengarahkan karya itu agar laris di pasaran. Ada lagi jawaban yang sering terdengar bahwa sastra ditulis demi kesusastraan itu sendiri.

Sebagai orang biasa dalam dunia kesusastraan Indonesia, saya merasa semua penjelasan itu ada benarnya. Tetapi buat saya semua itu tidak menjadi jawaban yang tuntas. Memang karena menulis karya sastra maka saya mendapat uang, dan nama saya dikenal di tengah masyarakat. Namun masih ada yang belum terwakili melalui penjelasan itu. Uang dan nama bukan segalanya. Atau, apakah saya bersastra untuk kesusastraan semata? Tidak cukup juga. Penjelasan ini seperti membawa saya ke arah jalan buntu.

Hadirin yang saya hormati….

Setiap karya sastra lahir dari seorang yang berada dalam keadaan sadar. Dengan demikian karya sastra lahir dengan sebuah motivasi atau maksud. Dan bila maksud itu bukan hanya untuk pemenuhan kepentingan sempit (cari uang, cari nama, atau sastra untuk sastra) maka adakah sesuatu yang lebih mendasar?

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka niat harus ditata dan dibangun dengan baik agar setiap karya sastra yang saya tulis bisa dipertanggungjawabkan. Jadi apa niat saya bersastra?

Seluruh karya sastra saya ditulis dengan niat menjalankan perintah, “Hai orang-orang beriman, jadilah kalian pembela-pembela Tuhan”.

Apakah Tuhan butuh pembelaan? Tuhan Mahaperkasa, Mahamandiri Mahakuasa, jadi Tuhan sama sekali tidak butuh pembelaan. Meyakini pribadi Tuhan butuh pembelaan adalah kekonyolan yang nyata. Maka kewajiban menjadi pembela Tuhan sesuangguhnya adalah kewajiban membela amanat dan “alamat”-Nya.

Amanat Tuhan kepada manusia tidak lain adalah keadaban kehidupan, yang dibangun melalui penegakan nilai-nilai keadaban seperti keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya.

Jelasnya, amanat Tuhan kepada manusia adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam. Melalui karya sastra yang semuanya menyangkut kehidupan orang-orang terpinggirkan saya bermaksud memberikan kasih sayang kepada mereka. Tentu, pembelaan secara sastrawi melalui kesaksian dan pewartaan tidak akan serta merta mengubah keadaan orang-orang teraniaya itu. Sastra hanya punya tugas mengetuk nurani masyarakat bila terjadi gelaja yang menandai adanya pelanggaran terhadap nilai keadaban.

Maka apakah pembelaan terhadap nilai-nilai keadaban melalui karya sastra bisa berhasil?

Sastra hanya menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu narasi cerita kepada pembaca. Sastra hanya menyapa jiwa. Maka pembaca sendiri yang kalau mau, mengolah penghayatan nilai-nilai itu menjadi kesadaran dalam jiwanya. Dan bila perkembangannya berlanjut akan kesadaran itu akan bergerak menjadi perilaku nyata.

Para hadirin yang baik….

Pemberdayaan sastra sebagai “pembelaan” terhadap Tuhan juga bisa diarahkan kepada (alamat-alamat) Tuhan. Tuhan Yang Mahabijaksana tentu mahatahu bahwa kita adalah ciptaan yang begitu lemah dan nisbi. Oleh karena kita tidak akan mampu mencapai Dirinya Yang Mahakuat dan Mutlak. Maka dengan kasihsayang-Nya, Tuhan ‘menuliskan alamat-alamat-Nya’ di bumi yang bisa dan mudah kita capai. Demikian, maka orangtua kita, kaum miskin, anak yatim, mereka yang tertindas adalah orang-orang yang pantas kita yakini menjadi ‘alamat-alamat’ Tuhan.

(Kita juga percaya tentang adanya percakapan antara seorang penghuni neraka yang bertanya, “Ya Tuhan, mengapa aku Engkau masukkan ke dalam neraka ini?” dan Tuhan menjawab, “Karena kamu tidak menjenguk ketika Aku sakit.” Si penghuni neraka bertanya lagi, “Bagaimana Engkau Yang Mahakuasa sakit?” Tuhan menjawab, “Tetanggamu yang sakit, dan kau tidak menjenguknya.”)

Istilah ‘tetangga yang sakit’ tentu bisa ditafsir secara lebih luas menjadi orang-orang di sekeliling kita yang menderita, baik secara badani, batini, maupun sosial. Mereka bisa berwujud sebagai kaum gelandangan, anak-anak yang tak sempat bersekolah, mereka yang dihukum secara zalim, dan sebagainya.

Dan sastra yang bertanggung jawab kepada keadaban punya kewajiban membela mereka. Tentu sesuai dengan kodratnya, pembelaan yang bisa dilakukan oleh sastra terhadap “Aku yang sakit” yakni kaum miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya, adalah pembelaan yang bersifat moral-sastrawi. Demikian, karena sastra tidak punya kekuatan apapun kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan jiwa manusia.

Hadirin yang mulia….

Karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Dan tentu bukan suatu kebetulan bila membaca merupakan perintah pertama Tuhan dalam kitab suci kita: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…”

Sasaran apakah kiranya yang diperintahkan Tuhan untuk dibaca oleh manusia?

Tentu bukan hanya kitab melainkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi yang semuanya adalah milik Tuhan semata. Orang Minang bilangĀ alam takambang jadi guru, orang Jawa bilang meguru maca sastra kang gumelar. Kedua ungkapan itu mempunyai maskud yang sama, bahwa manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi. Karena, tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan setiap makhluk; semuanya hadir membawa bukti-bukti kebesaran-Nya.

Bila manusia membaca dengan nama Tuhan terhadap sasaran yang baik maupun sasaran buruk, dia akan mendapat berkah ilmu dan kearifan. Membaca sejarah atau perilaku orang baik akan didapat pengetahuan dan kesadaran untuk menirunya.

Sebaliknya, membaca dengan nama Tuhan perilaku orang-orang yang mungkar maka akan dapat pengetahuan dan kesadaran untuk tidak menolaknya. Bahkan pembacaan yang ikhlas atas benda-benda yang kotor pun kita akan sampai kepada tanda-tanda kebesaran Tuhan. Misalnya, di bawah lensa mikroskop kita akan melihat kehidupan makhluk ciptaan Tuhan yang berwujud jutaan bateria dalam secuil tinja manusia.

Hadirin yang terhormat….

Dalam pengalaman pribadi sebagai sastrawan, saya pernah menghadapi kondisi batin yang berat yakni ketika hendak menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk pada tahun 1980.

Novel tersebut menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Dua kata kunci “ronggeng” dan “PKI” adalah dua hal yang sering dianggap berada di luar batas wilayah kesantrian dari mana saya berasal. Selain itu, hal-hal yang berbau PKI adalah isu yang amat sensitif pada era Suharto terutama di mata aparat keamanan.

Maka ketika novel ini seleai terbit pada tahun 1984, sebagian masyarakat menanggapinya dengan bertanya bernada menggugat, mengapa sasaran yang saya pilih adalah dunia ronggeng, yang terlibat PKI pula? Ya, semua orang tahu ronggeng adalah perempuan penari kesenian tradisi yang mengobral birahi. Maka pantas para santri dicegah, untuk menjauhinya.

Tetapi pada sisi lain, sejak saya masih ingusan dan ikut tahlilan selalu dibacakan ayat, “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…”.

Maka saya pun berpikir dan percaya perwujudan ronggeng pun merupakan gejala yang harus dibaca (dengan nama Allah); dari mana, bagaimana, mengapa. Dengan demikian, kita bisa menyikapinya dengan pengetahuan cukup.

Hadirin yang saya muliakan….

Mulai tahun 1960 PKI mulai membangun kekuatan fisik untuk melakukan makar. Di daerah saya, Banyumas, mereka membentuk kekuatan bersenjata di bawah tanah. Pasukan ini sering melakukan perampokan untuk merampas harta sekaligus menciptakan kerawanan sosial. Kurang ajarnya mereka mengaku sebagai pasukan DI/TII ketika melakukan penggarongan dan pembunuhan. Kami baru tahu siapa mereka sebenarnya setelah mereka tertangkap. Di antara pasukan yang mengaku DI/TII itu ada guru saya yang menjadi aktivis PKI.

Dalam dunia sastra, saya membaca karya-karya penulis kiri di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat serta buletin Indonesia Baru. Mereka suka sekali menista para tokoh agama; terutama kiai dan haji. Keluarga kami sendiri dinistakan oleh Barisan Tani Indonesia (di bawah PKI) sebagai tuan tanah dan setan desa yang harus diganyang hanya karena kami memiliki 1,5 hektar sawah. Maka tak kurang-kurang rasa sakit saya karena ulah orang-orang komunis.

Maka saya senang ketika PKI ternyata kalah dalam kudeta tahun 1965. Tetapi kemudian saya melihat gejala yang luar biasa. Rumah mereka dibakar massa. Bahkan mereka ditembak mati di depan umum, di depan mata saya. Di seluruh Indonesia ratusan ribu dibunuh. Keluarga mereka dilucuti hak-hak sipilnya hingga tiga atau empat generasi. Ini gejala kemanusiaan yang dahsyat, dan muncul pertanyaan dalam jiwa saya; apakah kekejaman massif ini tidak melanggar keadaban? Dan, bagaimana saya harus memahami sabda Tuhan bahwa Dirinya adalah Zat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang?

Demikian, maka dalam novel RDP terasa ada empati saya terhadap mereka, terutama terhadap orang-orang biasa yang dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Dalam keyakinan saya, empati ini adalah pembelaan terhadap keadaban yang menjadi amanat Tuhan. Sayangnya, pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum komunis sehingga saya diinterogasi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung ada hari kelima ada interogator yang bertanya kepada saya, adakah orang yang bisa menjamin saya bukan simpatisan komunis.

Pertanyaan tersebut terasa indah di telinga saya. Maka kemudian saya menulis sebuah nama dengan nomor teleponnya. Saya menyilakan para interogator menghubungi si empunya. Nama yang saya tulis: Abdurrahman Wahid.

Mereka ternyata membeku saja, dan saya boleh pulang.

Hadirin yang saya hormati….

Saya mengakhiri pidato ini dengan permohonan ampunan kepada Tuhan atas segala kesalahan saya, serta permohonan maaf kepada hadirin atas segala kelancangan saya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 28 Maret 2014

Ahmad Tohari