Pertama Kali Bertemu Soesilo Toer

Satu setengah jam, dari pukul setengah tiga sampai empat sore, tanggal 30 Juni 2016, aku ngobrol dengan adik Pramoedya Ananta Toer itu. Aku tidak mengira akan bertemu dengannya. Ceritanya aku hanya ingin ikut saudara yang mengantar mebel pesanan ke Blora. Kebetulan memang aku sedang mudik di Jepara. Lalu aku ingat, di Blora ada Pataba, dan kuminta pada Heru untuk mampir ke sana. Tanya dia, “Apa itu?” “Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa.”

IMG_8504

Satu lagi yang tidak kukira adalah kondisi Pataba itu. Sesampainya di Jalan Sumbawa Jetis, aku mencari nomor 40, seperti informasi yang kudapat di internet. Tapi mobilku nyasar sedikit ke Jalan Halmahera sampai depan SMPN 5. Rupanya rumah Pataba itu letaknya di siku jalan, mojok. Kelak aku tahu, lokasinya jadi semacam lelucon satir. Rumahnya di pojok, persis seperti penghuninya yang sering dipojokkan.

Pagar rumah pojokan itu miring, daunnya dikait dengan seutas tali. Ragu aku dan Heru melangkah masuk, menyintas halaman tanah berumput yang kurang terawat baik. Sepi sekali. Kami menuju rumah lumayan besar yang terasnya terbuat dari tempelan berbagai jenis potongan keramik. Teras kecil itu berhias banyak butiran hitam. Tahi. Lalu datanglah pemiliknya, tiga ekor kambing besar, yang dari gelagatnya seperti ingin ngusel. Sementara aku kaget-kaget-takut, Heru berinisiatif menyeru salam beberapa kali, sampai kemudian pintu rumah dibuka. Seorang lelaki tua menyambut ramah. Brewoknya putih memenuhi separuh wajah. Ia berpakaian batik gombrong dan sarung yang sama gombrongnya. Kami bersalaman dan dia menyebut namanya: Soesilo.

Tadinya aku mengira akan menemui orang lain, semacam pengurus khusus yang mengelola perpus itu. Tapi aku beruntung, ketemu langsung dengan Pak Soesilo. Pataba memang perpus liar, diurus sendiri oleh keluarga Toer yang tersisa. Ya, Pak Soesilo Toer inilah yang kini mengurusnya, bersama anak dan istri yang menempati rumah itu. Oh ya, rumah itu adalah milik mendiang Mastoer, orang tuanya, direktur Institut Boedi Oetomo di Blora tahun 1920-an. Sudah pernah direnovasi, tidak seburuk yang pernah diceritakan Pram dalam novel Bukan Pasar Malam. Tapi tidak juga lantas menjadi sangat bagus, karena Pak Soesilo kemudian bercerita sejumlah kendala dan intrik keluarga yang menceritakan tentang renovasi rumah itu. Katanya, Pram, Koesalah, dan dirinya memang ingin membangun perpustakaan di rumah peninggalan Mastoer itu. Pram ingin bangunan itu ditingkat tiga. Agar muat menyimpan koleksi buku, dan bisa dibuat tempat berbagai acara sastra dan budaya. Adik-adiknya mendukung, tapi rupanya ada kendala keluarga lain. Akhirnya sampai Pram meninggal tahun 2006, bangunan hanya direnovasi seadanya. Niat membuat perpustakaan tetap dijalankan. Bangunan dapur samping rumah dijadikan awal mulanya.

IMG_8521

Di ruangan inilah aku bertamu. Pintunya berat dan hanya bisa terbuka sedikit. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Ada buku-buku bertumpuk di meja dan kursi. Dinding penuh dengan foto dan gambar tokoh dalam pigura. Eh, si kambing rupanya mengikutiku. Kepalanya melongok masuk dari pintu. Pak Soesilo santai saja. Heru akhirnya menutup pintu, takut kambing masuk dan memakan buku. Pak Soesilo malah tertawa, menunjukkan contoh lembaran kertas yang robek separuh, dimakan kambing itu katanya.

IMG_8524

Soesilo Toer ini pendongeng. Usianya hampir 80 tahun, tapi tetap ceriwis sekali bercerita macam-macam, menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Ngobrol santai itu seolah tanpa jeda. Karena memang asyik sekali. Ada banyak ‘rahasia keluarga’ yang ia bagikan cuma-cuma. Cerita ia di Rusia dan dapat gelar Phd di sana, pacaran dengan cewek bule (sama seperti Pram ini ya), cerita kanker prostat yang dialaminya (juga dialami Pram), cerita perlakuan tetangga dan warga pada keluarganya, juga cerita tentang saudara dan anak Pram lainnya. Dia juga bertanya, ”Kamu tahu, Pram itu mati terbunuh, dibunuh, atau bunuh diri?” Gila, kataku dalam hati. Aku buru-buru menggeleng sambil menanti jawaban. Dia pun menceritakan “apa” yang terjadi dari sudut pandangnya. Aku terlongo-longo. Sempat aku merasa, ini kisah teramat sensitif, kok bisa-bisanya ia membaginya denganku? Oh, rupanya ia juga sudah menyajikannya dalam buku Pram dari Dalam. Berarti ia ingin banyak orang mengetahui kebenarannya, setidaknya dari sudut pandang dia. “Semua sudah saya tulis di situ,” katanya.

IMG_8555

Akhirnya aku memborong lima seri kisah Pram yang ditulisnya. Bonus dua buku tambahan. Juga kuminta ia menerakan tanda tangan di tiap buku. Lalu aku sadar, aku belum menyebutkan namaku sejak tadi.

“Namaku Arnellis, Pak.”
“Annelies?”
“Arnellis, pakai r. Bapakku takut kalau namanya terlalu sama dengan Annelies. Hehee…”
“Itu Annelies,” katanya menunjuk sebuah lukisan di atas kepalaku. Aku melongok dan menemukan gambar cat, seorang perempuan yang tak segera terlihat cantik.
“Lalu, ini mau ditandatangani kepada siapa? Annelies saja ya?”
“Eh, jangan ah, Arnellis saja, pakai r…”
“Oh… ya sudah.”

Tak lupa aku mengajaknya berfoto. Kuminta juga untuk bertemu dengan anaknya yang sejak tadi disebutnya bernama Benee Santoso. Begitu keluar, rupanya ia seorang pemuda 20-an yang ganteng-ganteng-kalem. Kami berfoto di ruangan itu, juga di teras.

IMG_8540

Lalu, kami mampir juga masuk ke ruang rumah utama. Buku yang baru dicetak Pataba ditaruh di situ. Foto-foto menghias dinding dan buku-buku terjejer di rak. Tadi sempat kutanya pada Pak Soesilo, kenapa tidak minta bantuan anak mahasiswa jurusan perpus, bantu merapikan dan mengkatalog. Jawabnya, “Biar diurus sendiri saja, biar tetap jadi perpustakaan liar, hehe…” Sama saja seperti Pram, keras kepala betul, kupikir. Tapi kemudian ia menambahkan, bahwa ia nantinya akan menghibahkan bangunan dan perpus ini kepada pemerintah. Jika ditaksir, ada seharga 30 miliar lebih. “Tak usahlah ada warisan untuk keluarga, biar ini jadi warisan untuk negara.”

IMG_8547

Agak sulit menyudahi pertemuan itu, tapi aku harus kembali pulang ke Jepara. Pak Soesilo dan Benee mengantar kami ke pagar. Menyesali kami yang belum sempat mencoba sate Blora. Sambil memastikan kami masuk mobil, ia menunjukkan rute jalan pulang. “Sehat-sehat terus ya, Pak, nanti aku mampir lagi,” kataku. “Ya… terima kasih,” sahutnya sambil melambaikan tangan.

Sastra Itu Upil

Di sebuah kelas bahasa Indonesia, saya melempar tanya, apa itu sastra?

Sastra adalah upil. Kotoran hidung yang dianggap jorok itu mempunyai rasa yang khas. Asin. Rasa itu menambah bumbu dunia, sama seperti makanan. Upil juga diasosiasikan seperti emas, yang harus digali di kehidupan. Emas juga melambangkan benda berharga yang harus dicari manusia, begitu ujar salah satu murid kelas 10.

Saya tertawa. Saya senang. Murid saya yang berusia 15 tahun itu telah berusaha menyampaikan pendapatnya tentang apa itu sastra. Bagi sebagian besar murid SMA kelas satu di tahun pelajaran baru ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang menggunakan kurikulum asing mungkin dianggap bukan pelajaran penting. Lalu ketika mereka mendapati ada kewajiban membaca karya sastra, sebagian besar murid keburu cemas, sebab membayangkan novel yang tebal, puisi yang sulit dimengerti, atau drama maha absurd.

Maka, saya ajak mereka bermain di awal pertemuan pelajaran. Setelah berkenalan dan mencoba mengingat nama murid satu kelas, saya ajak mereka mengingat kembali, apa sebenarnya sastra itu? Apa benar sastra itu sesuatu yang aneh, sulit, dan tidak menarik untuk dipelajari? Nyatanya, mereka sudah punya konsep tentang sastra, meski sulit merangkainya dalam kalimat. Mereka tahu sastra itu cerita, sastra itu pantun, sastra itu pentas drama. Saya kemudian meminta mereka membuat gambar yang mengilustrasikan pemahaman mereka tentang apa itu sastra. Hasilnya ternyata menarik sekali. Gambar yang mereka buat lucu-lucu.

Ada murid yang menambahkan sifat sastra dalam penjelasan gambarnya. Pemahaman ini dituangkan dengan metafora yang menarik.

Dan sebagian besar murid akan menuliskan kecemasannya tentang sastra, bahwa sastra itu sesuatu yang absurd, atau juga melukiskan manfaat sastra dalam kehidupan.


Dari gambar-gambar ini saya mendapat lebih dari jawaban apa itu sastra. Coretan mereka saya pindai dan jadi penilaian awal sejauh mana pemahaman mereka tentang sastra, sehingga saya bisa menentukan target pencapaian pemahaman berikutnya. Dari kegiatan ini saya juga jadi kenal pribadi mereka. Buat saya, mengenal pribadi murid itu penting agar guru bisa tahu cara yang tepat untuk menyampaikan ilmu kepada berbagai karakter dalam satu kelas. Kesenangan murid pada Spongebob tadi misalnya, bisa saya jadikan bekal untuk menggunakan tokoh-tokoh Bikini Bottom ketika membuat contoh dalam pelajaran berikutnya nanti. Saya perlu menyiapkan cara yang sebisa mungkin dapat dipahami sebagian besar anak, yang dipahami anak yang menggunakan metafora bunga atau yang menggunakan metafora monster.

Saya percaya, gambar mereka tadi berangkat dari apa yang dekat dengan diri mereka. Lucunya, hal itu terbukti pada kisah murid yang mensimilekan sastra seperti upil tadi. Teman-teman anak itu tertawa sambil membocorkan rahasia di depan kelas, bahwa murid saya itu memang suka mengupil. Si anak hanya tertawa, sambil mendekatkan jari ke arah hidungnya. 🙂