Mencari Yang Baru di Seminar Sastra

Sudah lama saya tidak mengikuti kuliah sastra formal. Terakhir lulus S1 tahun 2007, dan setelah itu tak pernah belajar akademis bersama dosen. Makanya ketika ada kesempatan untuk mengikuti seminar sastra, saya bersemangat sekali. Saya yang haus ilmu kemudian berkunjung ke Bandung untuk mengikuti Seminar Internasional Sastra Bandung 2013, pada 11-12 Juni di Hotel Majesty.

IMG-20130611-00074

Dari seorang panitia saya tahu bahwa acara ini ingin mengajak banyak orang untuk menulis, bukan hanya mendengar sebagai peserta. Seratusan orang yang kebanyakan dari Balai Bahasa dan dosen universitas di seluruh Indonesia pun hadir sebagai pemakalah. Sisanya, dua puluhan orang sebagai peserta. Hanya tiga peserta yang adalah guru sekolah, termasuk saya.

Saat itu saya merasakan sekali semangat di dada, dan harapan ingin menemukan ilmu yang baru. Beberapa di antaranya memuaskan, saya mendapat pengetahuan yang membuat saya tersenyum dan menyisakan diskusi panas. Namun, sisanya, para pemakalah hanya sekadar membaca tulisan di layar, sekadar bicara tanpa memberikan ilmu baru. Di hari kedua bahkan acara dipadatkan oleh panitia, sehingga ada enam pemakalah yang melakukan presentasi dalam waktu satu jam. Sungguh tidak memuaskan jika acara ini dimaksudkan sebagai ajang tukar dan sebar ilmu.

Jadi, saya tuliskan saja di bawah ini, sejumlah ilmu yang baru buat saya, dan menyenangkan untuk dibicarakan lebih lanjut.

Mahsun, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Sastra: Geosastra, kajian sastra bandingan yang melihat dari kajian geografis dan historis suatu teks. Mahsun kemudian membantah pendapat Levi Strauss “perubahan cerita di beda wilayah itu terjadi akibat dari produk imajinasi” dengan “perubahan cerita terjadi sebab adanya kesamaan asal geografis suatu cerita.”

Aquarini Priyatna, Universitas Padjajaran: Narasi autobiografis mampu membuka ruang berdialog antar perempuan. Dia menganalisis bahwa wacana seksualitas sudah ada sejak 1959 di Indonesia melalui novel berbahasa Sunda berjudul Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Perempuan yang bernarasi juga menciptakan fragmentasi dan koherensi dalam hidup, yang mirip dialami perempuan lain juga.

Zamzam Hariro, Kantor Bahasa Provinsi NTB: Novel Alice’s Adventure in Wonderland sudah dialihwacanakan dalam bahasa Sasak. Interpretasi bahasa muncul dan terjadi perubahan konteks yang tidak sesuai konteks lokal.

Maimunah, FIB Univ Airlangga Surabaya: Gender performativitas dalam film Betty Bencong Slebor (1978). Dengan menggunakan kajian metode penelitian kualitatif dan teori Queer terutama gender performativity oleh Judith Butler, hasilnya adalah dalam film ini terdapat upaya melawan hegemoni patriarki. Betty Benyamin menjalani the process of selfhood melalui majikan perempuannya. Betty juga menunjukkan performativitas yang ekonomis. (Sepulang dari seminar, saya menonton film ini lewat youtube dan mencocokkan hasil kajian Bu Maimunah. Menarik sekali.)

Akbar Aria Bramantya, Universitas Pendidikan Indonesia: Kakeknya adalah seorang penutur jangjawokan ngaleungit, sebuah mantra masyarakat Sunda yang digunakan untuk menghilang. Kalimat mantra itu pendek, ada campuran bahasa Sunda Cirebon dan Jawa, serta bernuansa Islami. (Kajian mahasiswa ini membuat saya berpikir untuk menjadikannya novel kedua.)