Catatan Kecil untuk Farewell My School

20140508-160923.jpg

Waktu yang pas untuk menonton film semestinya bisa membuat makna film jadi lebih kena di hati. Itu yang terjadi pada saya ketika menonton film dokumenter Farewell My School di ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia, Sabtu 26 April 2014. Sabtu itu, pagi harinya saya menghadiri wisuda sekolah. Saya menangis di sana, ketika bersalaman dengan murid-murid yang sudah bersama saya selama tiga tahun di SMA. Ada murid yang bertanya, “kenapa menangis?” Jawabnya, karena pengalaman bersama membentuk sebuah perasaan sentimentil. Saya rasa itu juga yang dialami Lintang, tokoh sentral dalam film dokumenter 13 menit ini. Dia murid Rawinala, sebuah sekolah pendidikan dwituna. Lintang menyandang low vision blind, tidak buta total, melainkan bisa melihat meski samar. Penonton diberi kesempatan melihat seperti apa cara Lintang membaca. Sebuah proses belajar yang mengiris hati. Semakin menyayat hati ketika Lintang mesti menghadapi perpisahan dengan temannya. Acara yang disuguhkan begitu baik sebab menampilkan kemampuan siswa, hasil yang telah dicapai selama sekolah. Lintang bermain drum, menunjukkan keahliannya bermusik. Teman lain bermain keyboard dan bernyanyi. Penampilan hebat yang memancing air mata dan membuat saya banjir tangis juga.

Ucu Agustin mengambil sudut tokoh anak dan persahabatannya. Perpisahan dengan teman yang senasib jadi lebih terasa mengharukan untuk Lintang. Bagaimana jika sudut yang diambil adalah guru? Atau orangtua Lintang? Tentu tangis dan penceritaan yang keluar akan berbeda. Bisa jadi mungkin lebih mengena untuk orang yang merasa perpisahan bagi anak adalah hal yang biasa saja.

Cerpen dan Ilustrasi

“Mengapa gambarnya begitu?”

Murid sering menanyakan ini kepada saya ketika membaca buku kumpulan cerpen. Tentu saya lemparkan balik pertanyaan itu kepada mereka, “menurutmu kenapa?” Jawaban mereka bermacam-macam, kebanyakan tentu saja merujuk pada kedekatan hubungan isi cerpen. Kadang mereka mengajukan ide gambar lain yang menurutnya lebih baik.

Pertanyaan itu juga sempat terucap ketika saya bersama murid kelas 10 membaca cerpen “Ayat Keempat” karya Joni Syahputra di buku Cerpen KOMPAS Pilihan 2009. Di sana ada ilustrasi karya Budi Kustarto yang melukiskan seorang lelaki berkepala buntung. Kepalanya dipegang sendiri di tangan kiri, sementara tangan kanan memegang keris. Beberapa murid mengatakan gambar itu persis betul dengan tokoh Johan yang dibicarakan dalam cerpen. Galak dan tegas.

Image

 

Setelah membaca cerpen, saya ajak murid untuk menganalisis unsur intrinsik cerpen. Sebelumnya, saya minta murid untuk membuat ilustrasi sederhana untuk latar kejadian. Peristiwa dalam cerita terjadi di daerah Solok, Sumatera Barat. Tepatnya, di sebuah rumah gadang. Maka, murid-murid pun menggambar rumah gadang di kertas analisis mereka. Dengan menggambar, mereka jadi sadar betul seperti apa lokasi kejadian dalam cerpen.

Image

Setelah itu, murid menganalisis tokoh protagonis dan antagonis serta mencari karakternya. Namun, sebelumnya saya minta mereka menggambar ilustrasi tokoh. Beberapa anak membayangkan rupa tokoh dengan begitu baik, beberapa lainnya menyerah hanya menggambar stick-man saja. Tidak masalah, yang penting murid telah coba membayangkan tokoh. Ini juga cara yang menyenangkan untuk anak-anak yang punya kesukaan menggambar. Hasilnya bisa mereka pamerkan ke teman sebangku atau sekelas. Atau minimal, kertas analisis mereka jadi lebih menarik sebab ada ilustrasi buatan mereka sendiri.

Image